Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Sisir



Sisir

1Lantai dua galeri memiliki berbagai fungsi ruangan. Kami masuk ke sebuah ruangan besar sebagai tempat semua karya seni di galeri ini dibersihkan dan dirawat. Ada banyak karya seni sedang berada dalam tahap pemeliharaan di ruangan besar ini. Juga ada sebuah ruangan membuat keramik, dengan banyak perkakas pendukung dan sebuah jadwal tertempel di dinding ruangan. Ruangan ini aktif digunakan setiap hari senin.     

Pak Kamto mengajak kami ke ruangan di sebelah ruang keramik, sebuah ruangan melukis. Ruangan ini jauh lebih kecil dibanding ruangan melukis di galeri yang beberapa bulan lalu kudatangi setiap kamis, tapi cukup untuk berkumpul sekitar sepuluh orang dengan berbagai perkakas dan alat pendukung lainnya.      

Aku menghampiri sebuah easel yang berada dekat dengan jendela. Matahari menghilang di antara berbagai bangunan, tapi sinar senjanya menerobos memasuki jendela dan memberi sensasi hangat di tubuhku. Andai kami tak perlu pindah, aku akan memastikan tempat ini menjadi tempatku melukis setiap aku memiliki kesempatan.     

"Boleh aku ngelukis sebentar?" aku bertanya sambil duduk menghadap easel.     

"Kita ga punya banyak waktu, Honey." ujar Astro yang entah sejak kapan sudah berada di sebelahku, sedang mengelus puncak kepalaku.     

Aku menatapnya dengan tatapan memelas. Aku tahu dia benar, maka aku bangkit dan kami keluar dari ruangan ini. Aku sempat menatapinya dengan tatapan sendu sebelum Pak Kamto menutup pintu.      

Aah aku tahu aku bisa melukis di mana pun aku menginginkannya, tapi kenapa hatiku terasa tak rela?     

Pak Kamto mengajak kami menghampiri satu ruangan paling ujung, dengan sebuah pintu yang paling sederhana. Kupikir ruangan itu adalah sebuah ruang kecil yang berfungsi sebagai tempat menyimpan perkakas, tapi yang terlihat di depan mataku adalah sebuah ruangan besar yang sepertinya berfungsi sebagai ruang kerja.      

Ruangan ini tak memiliki jendela. Ada banyak lukisan dan patung tersebar di berbagai sudut, juga furniture unik dan antik, dipadu dengan tiga rak buku yang terletak terpisah.     

"Ini ruangan khusus milik tuan Hanum. Saya cuma sekali ini dipercaya masuk sini karena ada titipan dari tuan buat Non Faza. Silakan duduk." ujar Pak Kamto pada kami sambil menunjuk ke arah kumpulan kursi kayu berukir unik di satu sudut.      

Pak Kamto memang terlihat salah tingkah saat memasuki ruangan ini. Sepertinya benar jika dia baru kali ini masuk ke ruangan ini karena dia juga terlihat gamang dengan apa yang akan dilakukannya.      

Aku dan Astro duduk bersisian di dua kursi kayu yang terpisah. Kami memperhatikan Pak Kamto membuka kunci sebuah laci dengan sangat hati-hati, lalu mengeluarkan sebuah kotak dari dalam laci tersebut. Pak Kamto menghampiri kami setelah mengunci laci itu kembali dan duduk di seberang kami.      

Pak Kamto meletakkan kotak itu di meja dan menyodorkan kotak itu padaku, "Titipan dari tuan Hanum buat Non Faza."     

Aku ragu-ragu melihat sebuah kotak kayu berwarna merah dengan ukiran khas di hadapanku ini. Entah aku harus merasa bagaimana, yang aku tahu aku tak menginginkan apapun saat ini.     

Pak Kamto terlihat gelisah. Entah apakah karena dia tak merasa nyaman berada di ruangan ini atau mungkin karena aku tak memberikan reaksi apapun.     

Astro mengambil kotak di hadapanku dan membukanya. Ada sebuah sisir perak dengan aksen khas Eropa tergeletak di atas bantalan beludru berwarna putih. Cantik sekali.      

Aku tahu aku tak dapat menolak apapun yang diberikan Om Hanum. Terlebih saat Om Hanum tak ada di sini. Pak Kamto pasti akan merasa canggung jika saja aku menolak hadiah itu. Bagaimana aku harus memutuskan ini sekarang?      

Aku berniat datang ke sini hanya untuk melihat-lihat, bukan untuk diperlakukan istimewa. Perlakuan Pak Kamto sejak kami datang saja sudah sangat berlebihan bagiku. Terlebih jika aku harus menerima sebuah hadiah.     

"Titip salam buat om Hanum ya Pak. Makasih hadiahnya." ujar Astro dengan senyum terkembang di bibirnya.     

Aku menatap Astro tak percaya. Aku bahkan sedang memikirkan cara untuk menolak hadiah itu dengan halus, tapi dia justru menerimanya tanpa kesulitan.      

"Nanti saya sampaikan." ujar Pak Kamto dengan ekspresi yang terlihat lebih tenang.      

"Ada yang mau Bapak bahas?" Astro bertanya.      

"Saya denger kalian mau ke Jerman. Sebelumnya saya minta maaf kalau saya lancang, tapi saya denger banyak soal kalian dari beberapa staf sejak kemarin." ujar Pak Kamto ragu-ragu dan menatap kami bergantian sebelum kembali bicara. "Sejak kalian sampai di galeri ini saya tau kalian anak baik, tapi ada banyak gosip jelek soal kalian. Saya mau tanya satu hal kalau boleh."     

"Silakan." ujar Astro.     

"Kenapa kalian keliatan tenang-tenang aja?"     

Aku dan Astro saling bertatapan dalam diam. Aku tak tahu apa yang sedang Astro pikirkan sekarang. Aku pun tak yakin bagaimana kami harus menjawabnya.     

"Menurut Bapak kita harusnya gimana?" tiba-tiba saja Astro bertanya sambil menutup kotak yang berada di tangannya.     

Pak Kamto terkejut walau segera menguasai diri, "Maksud saya ... saya ga liat kalian khawatir sama apapun. Saya pikir saya akan ketemu sama anak muda yang hyper reaction (bereaksi berlebihan) atau ngerasa keganggu ada di area publik seperti di galeri ini."     

Aku tersenyum, "Karena kita berdua di sini. Itu aja udah lebih dari cukup."     

Pak Kamto terdiam.     

"Asal kita berdua, kita ga perlu khawatir apa-apa." ujar Astro sambil menatapku lekat.      

Aku hanya mengangguk dengan sebuah senyum manis untuknya. Untuk suamiku. Aku menoleh untuk menatap Pak Kamto. Dia sedang menatap kami bergantian dengan tatapan yang entah apa artinya, tapi sepertinya dia sudah mendapatkan jawaban yang dia butuhkan.      

"Bapak ada urusan kan?" Astro bertanya pada Pak Kamto sambil menggenggam tanganku dan mengajakku bangkit.      

Pak Kamto bangkit sambil melirik jam tangan di lengannya dan menatap kami bergantian, "Masih ada setengah jam sebelum jam tujuh."     

"Ga pa-pa. Biar Bapak bisa siap-siap. Kita juga ga mau ngerepotin."     

Pak Kamto mengangguk, lalu mempersilakan kami keluar ruangan lebih dulu. Dia mengunci ruangan dan mengajak kami menyusuri semua ruangan yang kami masuki tadi dalam diam.      

Aku sempat menambatkan tatapan pada pintu ruangan melukis sebelum terpaksa mengikuti langkah kaki Pak Kamto dan Astro yang menjauh. Aku bisa merasakan elusan lembut di jariku yang digenggam oleh Astro. Aku membalas elusan jarinya dalam diam sambil menatapnya lekat.      

Kotak yang dipeluk olehnya terlihat mencolok karena berwarna merah menyala. Aku masih bisa membayangkan dengan jelas sisir di dalamnya, entah sisir itu berasal dari tahun berapa. Aku merasa cukup yakin jika sisir itu berusia lebih tua dari usia kami sekarang.     

Pak Kamto menghentikan langkahnya di lobi dekat pintu masuk dan menatap kami berdua bergantian dengan senyum mengembang di bibirnya, "Saya dapet pelajaran dari kalian hari ini. Terima kasih."     

Bagaimana pula aku harus menjawabnya? Aku hanya tersenyum singkat dan mengangguk pada Pak Kamto. Kuharap reaksiku cukup untuknya.     

"Bapak yang banyak ngasih informasi buat kita. Saya ga akan sanggup nginget semua karya seni yang Bapak sebutin tadi." ujar Astro dengan senyum tipis, tapi aku tahu dia hanya sedang berbasa-basi.      

Seorang Astro yang brilian akan sanggup mengingat apapun yang dijelaskan oleh Pak Kamto pada kami walau dia tak menyukainya. Mungkin dia akan melupakan beberapa detail kecil, dia akan sanggup mengingat sebagian besar penjelasan yang Pak Kamto berikan.      

"Saya cuma bisa nganter sampai sini. Hati-hati ya, Den, Non." ujar Pak Kamto sambil menundukkan bahu pada kami.      

Astro mengangguk dan mengajakku keluar dari galeri. Kami menghampiri motor yang berada di parkiran. Sudah gelap sekarang.      

Aku mengamit helm dan memakainya sambil menatap kotak merah yang berada di pelukan Astro, "Padahal aku mau nolak itu."     

Alih-alih menanggapi kalimatku, Astro justru menyodorkan kotak itu padaku dalam diam. Aku menerimanya dengan enggan sambil menatapnya yang sedang memakai helm. Astro memberiku isyarat untuk segera menaiki motor dan kami berkendara sesaat setelahnya. Kotak di tanganku membuatku tak bisa memeluknya dengan leluasa. Entah kenapa ini terasa menyebalkan.     

"Kamu tau ga sisir itu berapa harganya?" tiba-tiba saja dia bertanya.      

Aku hanya diam. Walau aku memiliki taksiran harga yang entah benar atau tidak.     

"Kalau aku bilang harganya sekitar empat puluh juta, kamu percaya?"     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.