Sandal
Sandal
Aku mengelus jarinya yang sejak tadi kugenggam. Dia memang terlihat tenang sekali, tapi aku tak akan mengambil risiko untuk membuatnya menjadi semakin kesal hari ini. Aku bahkan bisa membayangkan dia tak akan melepasku dengan mudah.
Pak Basri memperkenalkanku pada empat orang perajin yang sudah dia kenal dan mereka semua sedang berkutat membuat cincin dengan desain pilihan mereka sendiri. Aku meminjam semua peralatan milik adik Pak Basri yang ternyata dulunya pernah ingin mencoba merambah pasar perhiasan, tapi membatalkan niatnya karena memilih untuk membuka sebuah restoran di Gili Trawangan.
Semua peralatan ini adalah peralatan lama yang membutuhkan usaha lebih untuk membuat satu perhiasan. Peralatan ini juga membuat mereka membutuhkan waktu lebih lama karena tak ada alat-alat pendukung lainnya. Berbeda dengan saat aku memilih calon partner kerja di rumah mahar beberapa waktu lalu, aku ingin melihat interaksi mereka padaku menjadi lebih natural karena aku mungkin saja salah menilai bila hanya mengajak mereka bercakap tanpa melihat mereka berinteraksi seperti biasanya.
Sejauh ini mereka terlihat fokus dan bisa menyesuaikan diri dengan semua peralatan yang ada, walau mereka akan menyelesaikannya dengan lebih baik jika ada peralatan yang lebih memadai. Namun aku bisa melihat kesungguhan hati mereka saat membuatnya.
Aku sengaja mengajak Astro keluar ruangan dan membiarkan mereka bekerja tanpa diawasi saat menyadari salah seorang di antara mereka terlihat gelisah. Mungkin kehadiran kami membuatnya gugup.
Aku melepas sandal sebelum memeluk lengan Astro dengan erat sambil mengajaknya berjalan menuju bibir pantai. Sensasi hangat pasir di kakiku membuatku merasa nyaman.
"Udah nemu yang kamu cari?" Astro bertanya.
Aku menggeleng, "Ada yang kamu suka?"
"Aku mau liat hasilnya dulu."
Sepertinya kami memiliki keputusan yang sama. Aku juga ingin melihat bagaimana hasil cincin buatan mereka. Aku tak akan begitu mementingkan desain karena bisa mengarahkan desain yang kuinginkan pada mereka setelah bekerja bersamaku. Aku hanya ingin melihat bagaimana mereka berjuang membuat sebuah cincin dengan peralatan seadanya.
Aku mengecup bahu Astro sambil menatapnya, "Aku tau kamu masih kesel."
"Coba aja bikin aku kesel lagi." ujarnya dengan tatapan tajam.
Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Dia terlihat menggemaskan walau tatapan matanya seolah sedang memberiku peringatan.
Astro mencubit pipiku, "Ga denger ya aku ngomong apa? Kenapa senyum-senyum begitu?"
"Kamu imut."
Ada rona merah menyebar di wajahnya. Dia baru saja sengaja memberiku peringatan, tapi mungkin dia sebetulnya sedang merasa gemas padaku.
"Risiko kamu ngajarin aku tadi pagi. Aku ga bodoh, kamu tau?" ujarku sambil tersenyum manis.
Astro menatapku dengan tatapan sebal walau melepas cubitannya di pipiku, "Kalau gitu kamu tau gimana sifat calon partner kamu yang tadi?"
"Aku belum yakin. Aku mau liat dulu kalau mereka udah selesai."
"Kamu harus hati-hati sama prasangka, kamu tau? Kamu bisa tau aku karena kita udah kenal lama, tapi nilai sifat orang yang baru ketemu lebih susah dari yang kamu pikir. Bisa jelek akibatnya kalau kamu salah nilai."
"Aku tau, Pangeran."
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Kalau gitu aku bisa kasih liat diriku yang asli ke kamu sekarang kan? Capek juga mancing-mancing kamu terus."
Aku menatapnya dengan tatapan sebal, "Coba aja, tapi kalau kamu kelewatan aku mau pulang ke rumah Opa."
Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Aku tahu dia akan tetap bersikap lembut, perhatian dan jinak padaku seperti biasanya. Aku hanya khawatir dia akan melepaskan semua perasaannya padaku jika aku tidak memberinya peringatan sejak dini.
Sebetulnya aku sudah menyadari sejak lama dia bisa saja menjadi lebih menyebalkan, lebih mengintimidasi, lebih posesif, lebih mendominasi dari biasanya andai saja dia tidak menahan diri.
Astro menatapku dalam diam sebelum bicara, "Aku ga suka kamu ngomong begitu."
"Aku tau, tapi aku serius."
Hening di antara kami. Sepertinya dia sedang mencoba menilaiku, sama seperti aku sedang mencoba menilainya.
Aku mengecup bahunya sambil menatapnya lekat, "Aku ga akan ngelarang kalau kamu mau ngelepas sifat-sifat kamu yang selama ini kamu tahan, tapi kamu pasti tau gimana risikonya. Itu sebabnya kamu nahan diri kan?"
Astro menatapku dalam diam, tapi aku bisa merasakan detakan jantungnya berubah lebih kencang. Menatapnya seperti ini membuatku baru saja menyadari betapa miripnya dia dengan Kakek.
Tatapan mereka terasa sama. Tenang sekali, tapi seperti ada satu sosok yang bisa saja membunuh siapapun. Aku tahu dia bisa mengendalikan diri dengan baik selama ini. Aku juga tahu dia akan membuat keputusan dengan berpikir panjang dan matang lebih dulu, tapi sekarang dia benar-benar membuatku berpikir dia memiliki satu monster yang disembunyikan dari hadapan semua orang.
Aku mengingat saat dia berkali-kali bertanya padaku apakah aku merasa takut, juga saat dia menembak salah satu pengawal Zenatta yang berusaha mengarahkan pistol padaku di resepsi. Dia berhasil menembak dengan mantap dan tenang sekali. Sepertinya itu bukan pertama kalinya dia menembak seseorang.
Astro meraih kepalaku dan mengecup dahiku lama sekali, "Kita harus balik liat calon partner kamu."
Aku tahu dia sedang menghindari menjawab pertanyaanku. Aku akan membiarkannya saja, maka aku mengangguk dan memakai sandalku kembali. Aku memeluk lengannya dan menyandarkan kepala di bahunya, "I trust you (Aku percaya sama kamu)."
Aku ingin dia tahu aku akan mengikuti ke manapun dia mengajakku melangkah. Aku sudah berkata aku akan menerima segala risikonya. Aku hanya perlu melihat bagaimana dia memanfaatkan kepercayaan yang kuberikan padanya.
Astro mengangguk, tapi tak mengatakan apapun. Mungkin dia sedang berpikir dan aku tak akan mengganggunya.
Ada sebuah jendela di samping pintu menuju ruangan yang kami tuju. Kami bisa melihat keempat orang perajin sedang melanjutkan pekerjaan mereka. Aku bisa merasakan sesuatu yang janggal walau mereka terlihat tenang. Aku menoleh untuk menatap Astro, alisnya terlihat mengernyit mengganggu. Sepertinya dia juga menyadarinya.
Aku mengelus bahunya untuk meminta perhatiannya. Astro menoleh padaku. Sepertinya dia menyadari aku juga merasakan hal sama seperti dirinya.
"Kamu mikir sama kayak yang aku pikirin?" dia bertanya dengan suara pelan.
"Mungkin."
Astro menatapku dalam diam sebelum bicara, "Apa yang mau kamu lakuin?"
"Kita ke Pak Basri dulu."
Astro mengangguk dan membimbingku untuk mencari Pak Basri. Sepertinya dia tak lagi menutupi perasaannya dariku. Dia terlihat kesal sekali.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-