Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Data



Data

2"Semua data peninggalan Ana udah Ayah pindah ke sini." ujar Ayah sambil membuka satu folder berisi berbagai sub folder lain di dalamnya.     

Kami sedang duduk di atas karpet di lantai dua. Dekat dengan jendela lebar yang mengarah ke balkon, tapi jendela itu tertutup gorden tebal untuk memantulkan gambar dari proyektor yang sedang kami operasikan.     

"Faza pasti pernah liat sebagian datanya karena ada data Faza juga yang Ayah pindah, tapi emang ada data yang disimpen Ana yang ga keliatan. Cuma beberapa, tapi kita dapet petunjuk dari sana." ujar Ayah sambil mengarahkan kursor yang terlihat di pantulan di gorden.     

Jantungku berdetak kencang saat Ayah membuka sebuah folder dan terbukalah berbagai dokumen tertulis di sana. Diary milik Bunda.     

"Faza bisa baca ini semuanya nanti kalau Faza mau. Ayah minta maaf, Ayah udah baca duluan." ujar Ayah sambil menoleh ke arahku.     

Aku hanya mampu mengangguk. Padahal di dalam pikiranku ada banyak sekali pertanyaan yang menuntut untuk segera dijawab. Selama aku memakai komputer dan laptop peninggalan Bunda, aku memang pernah mencoba mencari data peninggalan Bunda. Seperti resep dan tutorial craft. Aku memang menemukan beberapa, tapi aku sama sekali tak menyangka Bunda akan menulis diary di sana.     

"Ayah mau kasih liat kalian beberapa isi diary Ana. Ini waktu Faza umur setahun." ujar Ayah sambil membuka sebuah dokumen dan menunjuk sebuah paragraf yang terletak di halaman kedua. "Ana ketemu sama Hubert."     

Tiba-tiba saja jantungku terasa berhenti berdetak. Bundaku pernah bertemu dengan Om Hubert saat aku berusia satu tahun?     

Aku tak dapat mengingat apapun saat aku masih berusia satu tahun. Sepengetahuanku saat aku berusia sekitar satu tahun, bunda sedang hamil calon bayi Fara. Entah di pameran mana yang bunda sebutkan, tapi aku membaca paragraf itu dengan jelas. Nama Hubert di paragraf itu langsung memberiku sebuah sengatan yang sulit kumengerti.     

...     

Ana bertemu dengan Hubert di pameran. Dia tidak setampan kak Abbas, tapi Ana harus mengakui pilihan lukisannya bagus. Dia memiliki selera tinggi. Ana berharap bisa bertemu lagi dengannya lain waktu. Ana ingin bertukar pikiran sebagai sesama penikmat seni.     

...     

Aku menggigit bibir untuk menahan apapun yang akan keluar dari sana. Aku hampir saja mengumpat. Aku beruntung aku mendapatkan kembali kesadaranku tepat waktu. Jika tidak, aku pasti sudah bersikap tak sopan di depan kedua mertuaku.     

Astro mengelus jariku yang entah sejak kapan dia genggam, membuatku menoleh padanya. Dia sedang menatapku dengan tatapan khawatir yang jelas sekali. Aku harus menenangkan diri, maka aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan.     

"Bunda ketemu lagi sama ... Om Hubert setelah itu?" aku bertanya ragu-ragu.     

Ayah mengangguk sambil mencari dokumen lain dan membukanya, "Ini waktu Faza umur tiga tahun. Ana baru tau Hubert ternyata kolektor barang langka."     

Pandanganku terasa kabur hingga aku membutuhkan waktu untuk membaca paragraf yang Ayah tunjukkan pada kami. Entah kenapa hatiku terasa kebas, kepalaku juga berdenyut mengganggu.     

...     

Hubert hebat sekali. Di usia yang masih muda sudah menjadi kolektor. Andai kami bertemu saat Ana kabur dari rumah dulu, mungkin kami bisa keliling Indonesia bersama. Ada banyak tempat yang bisa kami kunjungi, yang lebih menyenangkan dibanding hanya bertemu di pameran seperti hari ini.     

...     

"Soal Hubert cuma ada itu." ujar Ayah sambil menyandarkan punggung pada sofa dan melipat kedua lengannya di dada.     

"Ga ada yang lain, Yah?" Astro bertanya.     

Ayah menggeleng dan menoleh pada Ibu, "Mungkin Ibu bener soal Ana yang ga akan nulis apapun yang ga perlu."     

"Ana emang selalu hati-hati." ujar Ibu untuk menimpali.     

Aku hanya bisa terdiam dengan berbagai pikiran berkelebat dalam kepalaku. Bagaimana jika dugaanku selama ini benar tentang keterlibatan keluarga Zenatta pada kecelakaan jembatan saat itu? Bagaimana jika entah bagaimana, keluarganya mengetahui bundaku adalah anak dari Opa, yang pernah tinggal dengan Kakek Arya saat mereka beranjak dewasa?     

"Ada data yang lain yang Ayah curigai?" aku bertanya setelah rasanya lama sekali aku berkutat dengan pikiranku sendiri.     

Ayah melepas lipatan lengannya dan membuka sebuah folder lain. Di folder itu terdapat banyak sekali foto. Ayah memperlihatkan sebuah foto patung abstrak dengan Om Hubert di sebelahnya.     

"Hubert beli patung ini seharga 281 juta waktu itu. Ayah dapet informasi dari Hanum. Foto ini diambil waktu Ana ketemu Hubert pas Faza umur tiga tahun."     

Aku berusaha mengingat apa saja yang bisa kuingat saat aku berusia tiga tahun, tapi nihil. Kurasa aku tak dapat mengingat apapun, satu pun.     

Tunggu sebentar....     

"Jangan bilang Om Hubert deketin bunda karena suka?" tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibirku. Aku tak dapat menahannya.     

Astro dan kedua orang tuanya terlihat terkejut. Namun seolah mendapatkan pemahaman, yang sesaat kemudian segera ditolak, tapi tidak dengan Astro. Dia terlihat berpikir panjang dan dalam.     

"Ana udah punya suami sama anak. Buat apa Hubert ngincer Ana?" Ibu bertanya dengan tatapan tak percaya.     

"Faza ... ga ngerti." ujarku ragu-ragu.     

Aku tahu betul seseorang yang sedang berusaha merelakanku walau sulit. Dia bahkan tahu dengan jelas aku sudah menolaknya sejak pertama kali dia memberitahuku perasaannya. Dia pernah memintaku agar tak menyerah pada hubunganku dengan Astro, walau saat dia memiliki kesempatan dia tetap berusaha mendekatiku kembali.      

Bagaimana jika Om Hubert memang tidak menyukai bundaku, tapi hanya berniat berkenalan dan memanfaatkan kebersamaan mereka untuk sesuatu. Kami bahkan tak tahu apa saja yang mereka bicarakan.      

Bagaimana dengan ayahku saat itu? Apakah Ayah tahu? Apakah Bunda sengaja menyimpan foto itu di folder tersembunyi agar tak diketahui Ayah?     

Paragraf yang baru saja kubaca masih terpampang di depan kami. Bunda jelas-jelas menyebut Om Hubert hebat. Astaga ... yang benar saja?     

"Om Hubert nikah sama mamanya Gerard abis aku pindah kan?" aku bertanya sambil menatap Ayah. "Ayah bisa cari tau kira-kira kenapa?"     

"Bukannya karena mamanya Gerard cerai?"     

Entah apakah aku sudah gila, tapi aku baru saja membayangkan Om Hubert lah alasan kenapa orang tua Gerard bercerai. Aku hampir saja mengatakannya, tapi aku menahannya sebisaku. Bagaimana pun itu hanya sebuah dugaan.      

"Faza inget ga waktu laptop sama komputer bunda sampai di rumah, langsung dikasih ke Faza atau di cek sama opa dulu?" Ibu bertanya.      

"Waktu sampai langsung ditaruh di kamar, tapi Opa bisa aja nyuruh orang ngecek data waktu masih di Bogor kalau Opa mau."     

"Hmm ... itu bener." ujar Ibu sambil bertatapan dengan Ayah. "Gimana, Yah?"     

Ayah terdiam sambil menatapku lama sekali sebelum bicara, "Kalian ga berencana ke rumah di Bogor?"     

Aku menoleh pada Astro untuk meminta saran. Kurasa aku akan membiarkan Astro yang memutuskan.     

"Bulan depan?" Astro bertanya.      

"Terserah kamu. Kan kamu yang paling sibuk."     

"Okay, bulan depan. Nanti aku urus semuanya. Opa juga ga mungkin ngelarang kita ke sana."     

Aku hanya mampu mengangguk. Aku tahu Opa tak akan melarangnya. Lagi pula, kunci runah itu sudah menjadi milikku sejak Opa mempercayakan gerai kopi peninggalan ayahku padaku.     

"Ada yang mau Ayah minta kita cari di rumah itu?" aku bertanya.     

"Nanti Ayah kasih kalian alat deteksi. Mungkin opa udah pasang kamera di rumah itu. Mau gimanapun rumah itu cuma didatengin sama penjaga sesekali buat dibersihin."     

"Ga ikut aja, Yah?" Ibu bertanya.      

Ayah menggeleng, "Ga perlu. Kalau kita ikut, kita mungkin dicurigai."     

Ibu mengangguk dan menatapku lekat, "Nanti hati-hati ya. Barang-barang di sana udah tua. Kalau kalian mau geledah kalian harus pindahin barang pelan-pelan."     

"Hati-hati di sana mungkin ada setannya." ujar Ayah yang segera mendapatkan cubitan dari Ibu, tapi Ayah hanya tersenyum lebar.     

Tunggu sebentar....     

"Ibu bisa liat anak kec ..."     

Kata-kataku terpotong karena Astro menutup mulutku dengan tangannya. Entah apa yang terjadi, tapi aku sempat melihat tatapan mata tak percaya di mata Ayah dan tatapan kebingungan di mata Ibu.     

Apakah aku baru saja salah bicara?     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.