Saksi
Saksi
Kami sedang dalam perjalanan ke rumah Opa. Aku tahu dia merasa kesal walau terlihat sangat tenang. Aku terus menggenggam tangannya sepanjang jalan, juga sesekali mengelusnya dalam diam karena tak suka melihatnya kesal. Entah kenapa saat melihatnya kesal, aku pun bisa merasakan kekesalan yang sama.
Sebelum kami berangkat ke rumah pohon, Opa menyarankan kami melakukan perjanjian di rumah Opa karena lebih aman. Saat Astro mengutarakannya pada Donny di perjalanan di tengah sawah sebelum menyusuri hutan, Donny menyanggupinya.
Mereka membahas tentang tombak yang seharusnya menjadi rahasia dan sepakat tak akan membahasnya dengan Opa atau Pak Bambang (pengacara kepercayaan Opa). Mereka akan menggunakan alasan masalah keluarga alih-alih membahas tentang tombak Baru Klinthing di surat perjanjian.
Namun saat melangkahkan kaki ke halaman sepulang dari rumah pohon, selain hanya melihat kendaraan Donny dan Pak Bambang, aku juga menemukan motor Zen dan mobil Kakek Arya. Aku menoleh pada Astro sebelum mengajaknya menghampiri ruang tamu dengan langkah lebih cepat.
Kami menyalami semua orang sebelum mencium tangan Opa dan Kakek bergantian. Oma tak terlihat di sini, hingga membuatku berpikir mungkin Oma lebih memilih untuk tak mengambil bagian dalam perjanjian kali ini.
Aku dan Astro duduk bersisian, dengan tangan kami saling menggenggam. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku. Kuharap dia tahu aku juga sedang berusaha meredakan rasa cemburunya.
Donny baru saja menyatakan perasaannya padaku beberapa hari lalu sebelum kami membuat kesepakatan. Sedangkan Zen sudah terang-terangan menyatakan rasa sukanya padaku sejak dua setengah tahun lalu. Aku yakin sekali Astro hanya sedang berusaha mengendalikan diri di depan Opa dan Kakek.
"Bisa kita mulai?" Pak Bambang bertanya.
Kami semua mengangguk tanda setuju. Aku memberi Astro sebuah elusan di jarinya. Aku hampir saja berbisik untuk mengutarakan rasa cintaku padanya, tapi membatalkannya saat Opa menatap ke arah kami.
"Dua perjanjian yang akan kita buat ini bersifat rahasia. Antara Faza dan Donny, juga antara Donny dan Zen. Begitu ya?" Pak Bambang memulai percakapan.
"Betul. Bisa dimulai sekarang?" Opa bertanya.
Pak Bambang mengangguk, "Kita mulai dari perjanjian antara Faza dan Donny."
Aku dan Donny mengangguk. Zen dipersilakan menunggu di teras depan demi menjaga kerahasiaan perjanjian. Kemudian kami semua berpindah ke ruang tengah dan mulai membicarakan tentang syarat dan benefit yang berlaku di surat perjanjian.
Di antaranya; aku akan bekerja untuk Donny sebagai desainer rahasia, yang akan bekerja sama dengan Zen, tanpa pembayaran berupa uang selama satu setengah tahun. Dengan imbalan lain berupa; Donny akan melepaskan semua masalah keluarganya dengan Astro, juga akan memberitahu segala rencana keluarganya yang berusaha untuk menjatuhkan keluarga Astro secara rahasia. Namun Donny tetap akan bertindak netral pada keluarganya sejak perjanjian ini terjalin.
Aku dan Donny menandatangi surat perjanjian itu dengan dibubuhi tanda tangan Opa, Kakek, dan Astro sebagai saksi. Terasa ada satu beban di dadaku yang melayang pergi setelah surat perjanjian itu kutandatangani.
"Kamu harus benar-benar menjalankan perjanjian itu dengan baik." ujar Kakek pada Donny.
"Tenang, Kek. Aku pebisnis. Sekarang udah ga jaman jatuh-jatuhin rival. Cara itu udah kuno."
Aku tahu mereka memiliki sejarah keluarga yang panjang dan aku bersyukur mereka mengakhirinya dengan baik dengan menggunakan cara yang semestinya. Kami akan memiliki payung hukum yang jelas untuk melindungi kesepakatan. Yang harus kami pikirkan selanjutnya hanyalah bagaimana kami akan bertindak pada kasus Zenatta dan rencana yang akan Donny beritahukan.
Opa dan Kakek saling menatap, lalu mengangguk singkat sesaat setelahnya. Sepertinya mereka akan berbincang panjang mengenai berbagai strategi setelah Donny dan Zen menyelesaikan urusannya di rumah ini.
"Kita lanjutkan ke perjanjian antara Donny dan Zen." ujar Pak Bambang setelah kami kembali ke ruang tamu dan mempersilakan Zen kembali berada di antara kami. Pak Bambang menjelaskan pasal perjanjian mereka dengan jelas. Termasuk pasal kerahasiaan yang harus mereka patuhi.
Berbeda denganku yang tak menggunakan pasal pembayaran dengan uang, Zen mendapatkan pembayaran berupa uang sejumlah puluhan juta per desain yang disepakati akan diproduksi. Opa dan aku membubuhkan tanda tangan sebagai saksi. Sepertinya aku baru menyadari Opa meminta Zen datang untuk melindunginya, hingga aku berpendapat Opa mungkin benar-benar sudah menganggap Zen seperti cucunya sendiri.
"Ada yang lain yang bisa saya bantu?" Pak Bambang bertanya setelah membereskan semua berkas.
"Cukup. Itu saja." ujar Opa.
"Kalau begitu saya pamit. Tuan bisa telepon kalau Tuan butuh bantuan saya lagi."
Opa mengangguk, "Terima kasih."
Pak Bambang mengangguk dan beranjak dari duduknya. Aku baru saja akan ikut bangkit dan mengantar Pak Bambang ke halaman saat Astro menahanku di sisinya. Mungkin akan lebih baik jika aku menurutinya saja.
"Kalian bener-bener tau apa yang kalian lakuin ini kan?" Kakek bertanya sambil mengedarkan pandangan.
"Faza tau, Kek." ujarku.
"Bagus. Kakek berterima kasih karena masalah keluarga Kakek dan Donny selesai di sini, tapi Faza harus pintar membagi waktu. Faza bisa minta tolong sama Kakek kalau butuh bantuan."
"Faza ngerti. Makasih, Kek."
Kakek mengangguk, "Faza masih punya satu permintaan ke Kakek. Faza belum pakai permintaan yang Kakek kasih waktu kalian tunangan dulu kan?"
Aku baru mengingatnya karena ada begitu banyak hal yang terjadi. Aku sama sekali lupa tentang hal itu.
"Mafaza juga masih memiliki satu permintaan yang belum Mafaza pakai dari Opa." ujar Opa.
Opa benar. Aku akan memikirkannya setelah kembali ke Surabaya, maka aku mengangguk.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Kami semua menoleh dan menemukan Pak Deri sedang berdiri di ambang pintu.
"Maaf mengganggu. Den Astro sama Non Faza udah ditunggu di rumah." ujar Pak Deri.
Aku dan Astro saling menatap dan mengangguk. Aku melirik jam di lengan, pukul 14.51. Aku tahu kami sebetulnya masih memiliki waktu, tapi aku akan menyetujuinya saja. Mungkin Ayah dan Ibu memiliki hal penting yang ingin mereka bicarakan.
"Tunggu sebentar ya, Pak. Faza pamit sama Oma dulu." ujarku sambil bangkit dan mengajak Astro mengikutiku.
"Saya tunggu di depan ya."
Aku mengangguk dan berjalan cepat menuju dapur untuk mencari Oma. Astro mengikuti irama langkah kakiku dalam diam.
"Perjanjiannya udah?" Oma bertanya saat kami sampai di sisinya. Oma sedang merajut di meja makan dan bertanya pada kami seolah penjanjian seperti ini adalah hal biasa saja baginya.
Aku melepas genggaman tanganku dari Astro dan memeluk lengan Oma, "Udah, Oma. Faza mau pamit soalnya Pak Deri udah jemput di depan. Kita mau ke rumah Astro."
Tatapan Oma berubah lebih sendu, "Besok ke sini dulu sebelum ke Surabaya kan?"
Aku mengangguk, "Iya, Oma. Maaf ya Faza ga bisa nginep di sini malem ini."
Oma mengelus puncak kepalaku, "Ga pa-pa. Faza kan pulang lagi bulan depan. Nanti nginep di sini."
Aku menoleh untuk menatap Astro, "Bulan depan nginep di sini, Honey."
Astro memberi kami senyum menggodanya yang biasa, "Iya, Nona-Nona Cantik."
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-