Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Putus



Putus

2"Kamu beneran ga mau makan?" Mayang bertanya padaku.     

Aku dan Denada sudah sampai di rumah Mayang satu jam yang lalu. Rumah Mayang adalah rumah peninggalan kakeknya. Bangunannya sudah sedikit tua seperti rumah Opa, tapi bangunannya lebih luas, dengan halaman luas dan sebuah pohon belimbing besar di teras tengah rumahnya. Sekarang kami sedang duduk di kursi kayu panjang di bawah pohon belimbing besar tersebut.     

Aku menatapi dahan yang bergerak oleh semilir angin yang lembut. Mungkin akan lebih baik jika aku menjadi angin saja. Aku bisa pergi ke manapun aku menginginkannya.     

"Faza." ujar Denada sambil menepuk lenganku.     

Aku hanya menggumam untuk menanggapi.     

"Kamu yakin ga mau makan siang?"     

"Aku ga laper." ujarku sambil mengalihkan tatapan ke arah kedua sahabatku.     

Denada dan Mayang saling bertatapan. Aku tahu mereka khawatir padaku. Aku pun tahu seharusnya aku lebih bisa menjaga sikap.     

"Refleksi aja yuk. Eh, kamu masih 'dapet'?" Mayang bertanya padaku.     

Aku menggeleng. Tadi pagi saat mandi, menstruasiku sudah berhenti.     

"Kalau gitu bisa dong kita refleksi?" Mayang bertanya dengan binar di matanya.     

"Ayo deh. Yuk, biar beteku ilang. Sebel juga ngeliatin orang bad mood dari tadi." ujar Denada.     

Sepertinya aku tahu apa maksudnya. Aku tersenyum pada mereka untuk mencairkan suasana. Walau hatiku masih terasa hampa.     

"Yuk, refleksi, tapi aku ga mau nyetir. Pikiranku lagi ngaco banget. Aku ga mau bikin kita nyasar di jalan." ujarku.     

Aku mengatakan yang sejujurnya. Saat aku dalam perjalanan ke rumah Denada tadi, aku salah mengambil rute hingga harus memutar balik sepanjang lima kilometer. Aku beruntung saat kami berangkat ke rumah Mayang, ada Denada bersamaku. Denada lah yang menunjukkan rute saat aku hampir saja membuat kami berdua tersesat.     

"Pak Toha bisa nganter ga?" Denada bertanya pada Mayang.     

"Pakai mobilku." ujarku.     

"Harusnya bisa sih soalnya mama ga ada jadwal seminar sore ini. Sebentar aku tanya dulu." ujar Mayang yang segera berlalu.     

Aku menghela napas dan menatap Denada, "Sorry, aku bikin kamu bete."     

"Janji ya abis refleksi kamu ga bad mood gitu lagi? Aku sebel liatnya."     

"I'll try."     

Denada mendengkus pelan, "Gimana kalau kamu jadi aku? Berbulan-bulan ga dapet kabar dari Astro? Udah setengah mati kamu nyariin dia keliling dunia kayaknya."     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Mungkin Denada benar, tapi mungkin saja aku hanya bersikap panik karena akan menikah sebentar lagi. Sepertinya hal itu memberikan tekanan tersendiri padaku.     

"Sorry, aku bikin kamu nunda berangkat ke Aussie."     

Denada menghela napas, "Sebenernya kamu ga perlu minta maaf soal itu. Petra pasti ngehubungin aku kalau dia ada waktu. Mungkin sekarang dia lagi sibuk bikin project film buat kampusnya. Lagian mau gimanapun kamu lebih penting dibanding Petra. Kamu sahabatku."     

Aku terharu mendengarnya mengatakan itu. Entah bagaimana aku akan membalas ketulusan hatinya. Aku mengamit tangannya dan menggenggamnya, "Thank you. Petra bodoh banget kalau biarin pacar pengertian begini lepas dari dia."     

"Lepas dari dia?" Denada bertanya dengan tatapan bingung yang jelas sekali.     

"Kamu tuh cantik banget. Kalau kamu putus dari Petra aku yakin banyak yang mau gantiin dia."     

"Astaga, Faza. Kamu ngedoain aku putus dari Petra?"     

"Bukan gitu. Maksudku kamu bisa cepet dapet ganti kalau aja kalian putus."     

Denada mencubit hidungku, "Ga ada yang lebih baik dari Petra buatku, Faza. Jahat kamu doain kita putus."     

"Duh, ampun. Aku ga maksud gitu."     

"Astro bakal minta ganti rugi ke kamu kalau bikin Faza lecet." ujar Mayang yang tiba-tiba datang.     

"Uugh, belakangan ini anak ini nyebelin banget kayak calon suaminya." ujar Denada sambil melepas cubitannya di hidungku.     

Aku mengusap hidungku yang masih terasa perih. Aku tak akan merasa keberatan jika hidungku bertambah mancung sedikit, tapi aku khawatir hidungku justru akan bengkok karena kerasnya cubitan Denada sesaat lalu.     

Mayang tertawa, "Maklumin aja. Bentar lagi mau nikah."     

Denada masih memberiku tatapan sebal, tapi sepertinya tatapannya melunak. Aku tersenyum manis untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.     

"Yuk, jalan sekarang. Pak Toha bisa nganter kita ke tempat refleksi."     

"Sebentar aku ambil ransel dulu." ujarku.     

Denada mengamit tanganku, "Ga usah bawa ransel. Kamu tuh mau diajakin refleksi biar rileks. Bukan buat lanjut kerja."     

Denada benar. Di ranselku ada laptop dan berbagai file pekerjaan yang kubawa andai saja aku memiliki waktu untuk mengerjakannya.     

"Baik, Nona Denada. Ayo jalan." ujarku sambil tersenyum manis.     

Denada terlihat kesal dengan tingkahku, tapi dia tersenyum. Sepertinya aku harus bersikap lebih baik padanya. Aku tak akan menemukan sahabat seperti dia lagi di manapun, bukan?     

Kami bertiga duduk di kursi tengah sementara Pak Toha mengemudikan mobilku. Kami bercerita banyak hal yang terjadi selama setengah tahun ini kami lewati.     

Saat aku berkenalan dengan mereka bertahun lalu, aku hanyalah seorang anak perempuan pendiam yang mencoba memahami perubahan drastis dalam diriku sendiri. Selama ini aku selalu berpikir Astro lebih banyak membantuku menghilangkan trauma, tapi sepertinya aku lupa ada dua sahabat yang membantuku mengelola emosi.     

Aku menjadi jauh lebih terbuka sejak berkenalan dengan mereka. Setidaknya aku bukanlah anak perempuan murung yang mengurung diri berbulan-bulan di kamar untuk meratapi keluargaku. Kurasa aku melakukan tindakan tepat dengan menghabiskan waktu bersama mereka seminggu ke depan.     

Aku akan melupakan Astro sejenak. Lagi pula, aku akan memiliki waktu seumur hidup untuk bersamanya nanti.     

"Ada sesuatu yang kalian mau?" aku bertanya.     

Denada dan Mayang saling bertatapan.     

"Mm, barang apa aja. Aku mau kabulin satu permintaan dari kalian masing-masing." ujarku.     

Mayang tersenyum lebar yang terlihat manis sekali, "Kalau bukan barang, bisa?"     

"Apa?"     

"Aku mau kamu tetep bisa luangin waktu buat ketemu kita lagi walau udah pindah ke Surabaya."     

Aku terdiam.     

"Aku ngerasain banget gimana susahnya luangin waktu sejak kuliah di Bandung. Aku kangen sama kalian, tapi ga bisa sering pulang. Kalau bisa, kamu luangin waktu buat ketemu kita lagi. Itu jauh lebih berharga dari barang apapun."     

Aku tersenyum lebar dan memeluk Mayang, "Aku usahain, tapi mungkin ada Astro yang nemenin. Dia ga akan biarin aku keluyuran sendirian."     

Mayang mengelus punggungku pelan, "Ga masalah, yang penting kita bisa terus ketemu."     

Aku mengangguk. Betapa aku beruntung memilikinya menjadi sahabatku. Aku melepas pelukan dari Mayang saat merasa puas melepas rasa haru dan menatap Denada, "Kamu mau apa?"     

Denada memberiku tatapan sebal, "Jangan doain aku putus sama Petra. Aku mau sama dia terus sampai nikah. Punya anak, punya cucu. Kan bukan cuma kamu yang pengen nikah."     

Aku tertawa, "Aku ga pernah doain kamu putus sama Petra. Aku cuma ngasih tau kalau kamu putus nanti pasti kamu cepet dapet ganti."     

"Tuh kan. Kamu jahat." ujar Denada sambil memukul lenganku.     

"Tapi Faza bener." ujar Mayang yang membuat kami berdua menoleh padanya. "Menurutku ga masuk akal banget berbulan-bulan ga ngabarin. Kalau emang kamu penting buat dia, harusnya dia bisa nyempetin waktu."     

Denada menatapnya sendu, "Trus aku harus gimana?"     

Mayang menoleh ke arahku, "Kita temenin anak ini melepas masa lajang dulu. Kamu ga usah mikirin Petra. Kamu juga, Za. Ga usah mikirin Astro. Seminggu ini cuma ada kita bertiga."     

Kami semua saling bertatapan dalam diam. Aku tahu Mayang benar. Aku hanya tak tega mengatakannya pada Denada, tapi melihat Denada mengangguk membuatku merasa lega.     

Sepertinya memang hanya ada kami bertiga selama seminggu ini. Aku akan menuruti apapun keinginan mereka. Bahkan hal yang aneh dan mustahil sekalipun.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSI.F & TAMAT di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.