Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Lima Minggu



Lima Minggu

0Aku baru selesai menelepon Ayah. Ayah berkata hanyalah sebuah kebetulan saat Om Hanum memiliki keinginan untuk membuka galeri di Surabaya saat aku akan pindah ke sana. Namun aku tahu tak ada yang kebetulan di dunia ini. Entah apapun alasannya, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.     

Aku mengecek kalender di meja. Ini adalah hari pertama aku menstruasi. Sepertinya jadwal menstruasiku benar-benar sedang kacau. Jika di tanggal menikah aku sedang menstruasi, aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Astro nanti.     

Aku mengingat Astro memintaku untuk memberitahukan padanya kapan aku menstruasi, tapi bagaimana aku harus memberitahukan padanya? Akan terasa canggung dan memalukan sekali bukan?     

Aku membalik kalender ke bulan berikutnya. Aku lupa memberi tanda pada hari pernikahanku sendiri. Dua hari sebelum Astro masuk kuliah lagi berarti ..., tunggu sebentar ... tepat lima minggu lagi!     

Jantungku berdetak kencang melihat tanggal pernikahan. Entah kenapa tiba-tiba membuatku merasa canggung hingga menaruh pulpen yang kupegang ke atas meja. Aku mengamit handphone dan memberi Astro panggilan video call, tapi dia tidak menerimanya.     

Bodohnya aku. Dia pasti sedang mengecek proyeknya sekarang.     

Lima minggu lagi ..., dan otakku terasa berhenti berfungsi.     

Aku bangkit dan berjalan menuju dapur. Aku menemukan siluet Oma dan Opa sedang berbincang di teras belakang melalui jendela. Aku menghampiri mereka dan duduk di antara keduanya.     

"Faza nikah lima minggu lagi?" tiba-tiba saja aku bertanya dan menatap keduanya bergantian.     

Ada raut terkejut di wajah keduanya. Sepertinya aku baru menyadari akulah yang sedang bersikap berlebihan. Aku bodoh sekali karena baru menyadarinya.     

"Mafaza kenapa?" Opa bertanya.     

"Mm, ga pa-pa, Opa. Faza cuma baru sadar."     

Oma menatapku dengan tatapan khawatir, "Faza yakin ga pa-pa?"     

Aku mengangguk, "Ga pa-pa, Oma. Faza cuma kaget."     

Oma dan Opa saling bertatapan dan membuatku merasa buruk dengan diriku sendiri.     

"Faza ke kamar ya. Faza ga pa-pa kok." ujarku sambil bangkit.     

Aku meninggalkan Opa dan Oma yang masih terlihat khawatir. Kemudian melangkahkan kaki menuju kamar, tapi langkahku terhenti tepat di depan pintu. Aku mengalihkan langkah kakiku kembali ke teras belakang, lalu memeluk Opa.     

"Faza sayang Opa." ujarku sambil mengecup pipi Opa. Aku melepas pelukanku pada Opa, lalu memeluk Oma dan mengecup pipinya. "Faza juga sayang Oma."     

Aku memberi mereka berdua senyum yang lebar sekali walau mereka menatapku dengan tatapan terkejut dan senang di saat yang sama. Sepertinya aku memang sedang bertingkah aneh saat ini.     

Aku melepas pelukanku pada Oma, "Faza mau ke toko Lavender's Craft ya. Kalau ada apa-apa telpon Faza."     

Aku meninggalkan mereka yang masih menatapku dengan tatapan bingung. Kemudian kembali ke kamar untuk mengambil jaket, topi, scarf, dompet dan handphone, lalu berjalan dengan langkah cepat menuju mobil.     

Aku menutup hidung dan mulut dengan scarf, lalu menaruh handphone di holder dekat kemudi. Aku mencoba menelepon Astro. Dia baru menerima teleponku setelah tujuh kali aku mencoba menghubunginya.     

"Something wrong (Ada sesuatu)?"     

"Hai, Calon Suami." aku mengatakannya tepat saat dia bertanya. Aku bisa mendengar suara angin di ujung sana, tapi aku tak akan bertanya.     

"Kenapa kamu? Kok tiba-tiba?"     

"Aku kangen. Aku video call ga diangkat, jadi aku telpon kamu terus."     

Astro tertawa, "Kamu kesambet ya?"     

Aku menggumam walau tak yakin apa yang kugumamkan. Namun aku tersenyum lebar sekali, senyum tak tak akan dilihat oleh siapapun karena tertutup oleh scarf yang kupakai. Aku melirik jam di dashboard, pukul 10.48. Di sana pasti sudah jam makan siang.     

"Udah waktunya kamu makan siang kan sekarang?" aku bertanya.     

"Iya. Aku sebentar lagi makan."     

"Ga boleh telat, Astro. Kamu udah janji."     

"Iya, Honey. Kamu kenapa sih?"     

Entah bagaimana aku harus menjelaskannya padanya. Jantungku masih berdetak tanpa irama, tapi aku merasa mungkin akan mampu ke Surabaya sekarang juga andai saja dia sedang berada di apartemennya.     

"Kamu lagi 'dapet'?"     

Uugh, bagaimana dia bisa tahu? Begitu mudahkah aku terbaca olehnya?     

"Bener?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Tapi bukan itu. Aku nelpon kamu karena baru nyadar kita nikah lima minggu lagi."     

"Ke mana aja kamu baru nyadar?"     

"No idea?"     

"Seneng banget ya?"     

Aku bisa membayangkan ada senyum menggoda di bibirnya saat ini. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa malu. Bahkan sepertinya wajahku memerah.     

"Aku ganggu kamu kerja ya?" aku bertanya hanya untuk mengalihkan pembicaraan.     

"Iya kamu ganggu. Aku pikir ada apa sampai kamu nelpon berkali-kali."     

"I'm sorry. Aku tutup ya."     

"Hei, tunggu!"     

"Katanya aku ganggu?"     

"Aku mau istirahat, jadi kta bisa ngobrol sebentar."     

"Mau ngobrol apa?" aku bertanya karena benar-benar tak tahu apa yang akan kubicarakan dengannya. Aku meneleponnya tiba-tiba karena ingin mendengar suaranya.     

"Soal galeri om Hanum di Surabaya."     

"Aku udah nelpon Ayah tadi. Kenapa?"     

Astro berdeham, "Aku ga ngelarang kok."     

Aku akan menggodanya sebentar, "Emangnya siapa kamu ngelarang-larang? Suamiku juga belum."     

"Rrgh, kamu tau maksudku."     

"Kamu ga akan berani ngelarang juga sih. Soalnya ini hadiah dari Ayah buat aku. Aku kan anak kesayangan Ayah."     

"Kamu bukan anak ayah. Belum. Kalau kita nikah kamu baru resmi jadi anak ayah."     

"Cemburu ya Ayah lebih sayang aku?"     

"Aku lebih sayang sama kamu dibanding ayah, kamu tau?"     

Andai saja kami sedang melakukan sambungan video call, sepertinya wajahnya sedang memerah sekarang. Entah kenapa menggodanya seperti ini terasa menyenangkan.     

"Astro." aku memanggilnya.     

Astro hanya menggumam tanpa mengatakan apapun.     

"Kayaknya aku belum pernah bilang ini sama kamu, tapi ... kalau suatu hari kamu kecewa sama aku, bisa kamu kasih tau aku alasannya?" aku sengaja mengatakannya karena dia selalu mendiamkanku jika sedang merasa kesal. Aku tahu selama ini kami selalu baik-baik saja, tapi mengantisipasi segala kemungkinan akan jauh lebih baik, bukan?     

"Sure, if you said so (kalau itu mau kamu). Anything else (Ada yang lain)?"     

Aku menggeleng, lalu menyadari kami sedang melakukan sambungan telepon dan dia tak akan bisa melihatnya, "Itu aja. Kalau aku punya permintaan lain nanti aku bilang kamu."     

"Aku boleh minta tolong juga?"     

"Apa?"     

"Kalau kita punya masalah nanti, aku mau kita selesaiin sendiri. Kamu ga boleh ngadu sama siapa pun."     

"Gimana kalau kita ga dapet solusi?"     

"We can try it first (Kita bisa coba cari solusinya sendiri dulu), Honey. Aku laki-laki. Percaya sama aku. Bisa?"     

"I'll try."     

Astro terdiam sebelum bicara, "Thank you."     

Aku sampai di toko Lavender's Craft. Aku mengambil handphone dari holder sebelum keluar dari mobil, "Aku udah sampai toko. Kamu makan dulu sana. Jangan telat makan terus."     

"Kamu ke toko sendiri?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Deket kok. Ga perlu dianter. Lagian pasti ada Lyra sama Rommy."     

"Hati-hati ya. Kamu harus waspada, Honey."     

"Aku tau. Aku tutup ya."     

Aku memutus sambungan video call dan berjalan memasuki toko. Ada sekitar delapan orang sedang melihat-lihat etalase. Gon tersenyum saat melihatku, menghampiriku dan menemaniku ke lantai dua.     

Aku melepas scarf dan menarik napas panjang, "Ramai ya hari ini?"     

"Jadi lebih ramai gara-gara desain kalung baruku. Ga nyangka ternyata pada suka."     

"Bagus kan kamu jadi bisa ngembangin bakat. Kalau kamu punya desain baru lagi nanti bisa email aku."     

"Siap. Ada yang lain yang bisa aku bantu?"     

"Itu aja. Thank you udah nganter."     

Gon mengangguk, "Aku turun lagi ya. Oh ya, Putri lagi ke ekspedisi."     

"Okay."     

Aku menatap Gon menuruni tangga hingga sosoknya menghilang dari pandanganku, lalu mengambil handphone dari saku. Ada pesan dari Astro.     

Astro : Kamu mau? (mengirim foto seporsi lobster, seporsi cumi-cumi dan seporsi nasi)     

Aku : Nanti aku masak sendiri kalau aku mau. Kamu abisin semuanya sendiri? Itu banyak banget     

Astro : Kalau ada kamu kita bisa abisin berdua     

Aku : Mau aku masakin itu kalau kamu pulang?     

Astro : Aku belum tau kapan bisa pulang, Honey     

Aku : Kasihan banget aku. Lima minggu lagi nikah, tapi ga bisa ketemu calon suami     

Astro : Hei, proyek ini kan buat kamu     

Aku : I love you, Honey     

Astro : Aku pulang     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.