Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Bakar



Bakar

0Astro menatapku dengan kekesalan di matanya yang berusaha kuabaikan, "Yang di depan itu lukisan dari Zen semuanya?"     

Aku menggumam mengiyakan. Aku tahu sejak dia sampai tadi dia sudah berniat bertanya tentang banyaknya lukisan di ruang tamu, "Kak Liana bilang Zen banyak ngelukis aku, jadi aku minta aja dari pada dia simpen sendiri. Kalau dia tiba-tiba baper trus susah lepasin aku kan repot."     

"Lukisannya mau kamu bawa ke Surabaya?" dia bertanya dengan tatapan tak rela.     

Aku menggeleng, "Mau aku taruh di loteng."     

Astro terdiam sebelum bicara, "Kasih semua ke aku. Nanti aku yang ngurus."     

"Mau kamu apain?" aku bertanya karena mendapatkan firasat buruk.     

"Aku bakar semuanya."     

Aku menatapnya tak percaya. Aku tahu dia bisa saja melakukannya jika dia menginginkannya, tapi akan sayang sekali, bukan? Menghancurkan karya yang sangat bagus dan dibuat dengan perasaan hanya karena dia tidak menyukainya?     

Sepertinya aku baru menyadari, mungkin perasaan saat membuat lukisan itulah yang ingin dia tolak. Aku yang harus kulakukan sekarang?     

"Kamu serius?" aku bertanya. Aku masih berharap dia hanya bercanda.     

Astro hanya menatapku dalam diam. Sepertinya dia cemburu sekali.     

"Aku taruh loteng juga ga pa-pa kan? Aku ga mungkin sering liat kan aku ikut kamu ke Surabaya kalau kita nikah."     

"Kamu pasti seneng banget ya dibikinin lukisan banyak begitu?"     

"Bohong kalau aku bilang ga suka. Lukisan di depan itu ada lebih dari dua puluh, tapi aku minta itu cuma biar dia bisa lepasin aku."     

"Iya, tapi kamu seneng."     

"Kamu pulang juga bikin aku seneng. Trus masalahnya di mana?"     

"Aku ga suka."     

Aku menghela napas dan menepuk bahuku, "Sini. Kamu boleh nyender kalau mau, tapi ga boleh peluk."     

Ada rona merah menyebar di wajahnya. Aku tahu dia menginginkannya, tapi entah kenapa dia menggeleng.     

"Aku mau tepatin janji ga sentuh kamu. Aku ga akan kepancing kamu lagi mulai sekarang. Kamu curang."     

Aah, dia membuatku terharu.     

"I'm sorry. Aku cuma ga mau kamu kepikiran sama lukisan itu. Kita mau nikah, Astro. Kamu ga perlu cemburu sama Zen lagi."     

"Aku tau."     

Sepertinya yang membuatnya kesal adalah sikapku yang tiba-tiba dingin padanya sebelum menaruh laptop di kamar. Aku pun bertanya-tanya kenapa aku bersikap seperti itu. Mungkinkah keisenganku sedang kambuh?     

"Aku minta maaf tadi aku tiba-tiba ngambek. Kamu jangan ikut-ikutan ngambek juga dong." ujarku.     

"Sini." ujarnya sambil menepuk bahunya. "Kamu boleh nyender kalau mau, tapi ga boleh peluk."     

Aah, laki-laki ini benar-benar ....     

"Bukannya kamu yang barusan bilang ga mau kepancing sama aku?"     

"Iya, tapi aku ga keberatan kamu nyender sebentar."     

Aku menatapnya tak percaya, "Dasar bucin."     

Astro terlihat salah tingkah dengan rona merah di wajahnya yang semakin merah. Dia hampir terlihat seperti kepiting rebus.     

Aku akan menggodanya sebentar, "Kamu pasti belum pulang ke rumah. Kalau Ibu tau bisa ngomel lagi, kamu tau?"     

"Ibu lagi di rumah Kakek, jadi ga bakal nyariin aku sekarang. Ibu minta nanti sore kita nyusul ke butik buat fitting kebaya."     

Informasi ini baru untukku. Bahkan sepertinya dia tahu aku sedang berusaha menggodanya. Coba lihat senyumnya yang menyebalkan itu.     

"Nanti aku bawa semua lukisannya. Mau aku taruh di tempat rahasia. Kamu ga perlu simpen lukisan itu sendiri. Aku ga mau ambil risiko kamu liatin lukisan dia lama-lama. Aku ga suka."     

Aku akan setuju saja padanya, maka aku mengangguk. Disimpan jauh lebih baik dari pada dibakar, bukan?     

"Udah kan ngambeknya?" aku bertanya.     

"Aku ga ngambek. Aku cemburu."     

Aku tertawa. Percakapan kami selama duduk di teras belakang hanya berputar-putar sejak tadi. Entah sejak kapan sikap kami menjadi konyol seperti ini.     

"Okay, Tuan Astro yang Cemburuan, udah ga cemburu kan?" ujarku setelah berhasil menguasai diriku kembali.     

"Kapan ya aku bisa bikin kamu cemburu begini juga?"     

"Jangan macem-macem, Astro. Aku mungkin lebih milih nyerah kalau kamu emang jatuh cinta sama perempuan lain."     

Astro terkejut, "Ga ada yang lain kok. Percaya sama aku."     

Aku akan mengabaikannya. Entah kenapa pambahasan ini meninggalkan sensasi berat di dadaku, seolah baru saja keluar dari air yang dalam.     

"Kita ke depan aja dari pada bahas yang aneh-aneh di sini. Aku ga mau punya masalah sama kamu di waktu begini." ujarnya sambil bangkit dari duduk. Mungkin memang lebih baik jika kami ke ruang tamu. Bergabung bersama Opa dan Oma sepertinya lebih aman untuk kami saat ini.     

Aku bangkit dan baru saja akan mengamit tangan Astro saat dia menarik tangannya menjauh dariku.     

"Mau ngapain kamu?" dia bertanya.     

Aah, dia membuatku malu.     

"Sorry ... refleks."     

Astro memberiku tatapan tajam, tapi aku tersenyum manis sebagai balasan. Kenapa kami saling bertukar sikap sekarang?     

"Ga ada sentuh-sentuh lagi sampai nikah, Honey." ujarnya.     

"Iya, aku tau. Bawel."     

"Siapa yang bawel?"     

"Kamu."     

Andai saja kami belum sampai di ruang tamu, mungkin kami masih akan saling berdebat. Namun melihat Opa, Oma dan Zen membuat kami lebih menjaga sikap. Aku memilih duduk di sebelah Oma sedangkan Astro berdiri di belakang Opa. Astro terlihat serius sekali menatap papan catur yang sedang dimainkan.     

"Astro bisa bantu Opa?"     

Astro menggerakkan satu biduk dan tiba-tiba suasana berubah seolah waktu baru saja berhenti bergerak. Aku tak tahu apa yang Astro lakukan, tapi sepertinya dia membuat Opa memenangkan permainan.     

Zen menatapnya tak percaya, sedangkan Opa mengangguk sambil tersenyum singkat. Astro menoleh untuk menatapku dan memberiku senyum menggodanya yang biasa.     

Opa bangkit, "Astro bisa temani Zen main ya. Opa istirahat dulu."     

"Iya, Opa." ujar Astro sambil duduk di kursi yang ditinggalkan Opa.     

Astro membereskan biduk catur dengan tenang seolah tak ada apapun yang terjadi. Padahal Zen terlihat cukup terpukul dengan kekalahannya sesaat lalu. Zen menoleh padaku dan menatapku dalam diam.     

"Kamu bisa duluan kalau mau." ujar Astro.     

Sepertinya Zen tak memiliki pilihan lain selain menuruti perkataan Astro. Kemampuan kalimat persuasifnya memang harus diwaspadai.     

Opa duduk di sisiku dan memberi isyarat agar aku memeluk lengannya. Aku tersenyum manis pada Opa sambil memeluk lengan seperti yang diminta.     

"Nanti jika Mafaza sudah menikah pasti akan jarang sekali memeluk Opa." ujar Opa dengan nada pelan, tapi cukup jelas untuk bisa didengar semua orang. Membuat Astro dan Zen menoleh ke arah kami.     

Oma menggeleng, "Jangan ganggu konsentrasi."     

"Jika konsentrasinya baik ga akan terganggu hanya karena pembahasan ringan semacam ini." ujar Opa.     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Ternyata Opa juga bisa bersikap kekanakan.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.