Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Belalang



Belalang

1Menatap hujan dari balik jendela galeri membuat hatiku terasa sepi. Tiba-tiba aku mengingat saat aku dan Astro masih kecil, kami sering menghabiskan waktu di teras belakang dengan saling bermain tebak-tebakan.     

"Kamu tau kenapa belalang sembah disebut belalang sembah?" Astro bertanya saat itu.     

"Karena bahasa inggrisnya 'praying mantis'?"     

"Bukan."     

"Karena kakinya kayak lagi doa?"     

"Bukan, Faza. Tebak lagi."     

Aku berpikir sebelum menjawab, "Karena dia mau minta betinanya ga bunuh dia abis mereka kawin?"     

Astro menatapku tak percaya, "Apa hubungannya coba?"     

Aku menaikkan bahu, "Mohon biar ga dimakan?"     

"Bukan. Coba tebak lagi."     

"Aku ga tau. Kasih tau aku, kenapa?"     

"Aah, payah!"     

Aku menatapnya sebal, "Ya udah kalau ga mau ngasih tau."     

"Tukang ngambek."     

"Biarin."     

Hening di antara kami. Kami hanya menatapi air hujan yang menetes melalui genteng teras belakang yang tampiasnya sedikit mengenai tubuh kami.     

"Kamu tau kalau belalang sembah bisa makan otak burung?" Astro bertanya tiba-tiba.     

Aku menoleh padanya, "Ga mungkin."     

"Dia juga bisa mangsa ular."     

"Itu lebih ga mungkin."     

"Kenapa sih ga percayaan banget? Itu ada penelitiannya. Nanti aku kasih liat ke kamu bukunya. Bukunya ada di rumah."     

Aku menatapnya dalam diam. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tahu belalang sembah memang hewan karnivora, tapi bisa memangsa hewan lain yang memiliki tubuh lebih besar darinya tetap terasa mustahil untukku. Jika dia memang benar, itu menakjubkan sekali, bukan?     

"Kenapa di sini disebut walang kekek?" pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dariku.     

Astro menaikkan bahu, "Padahal bukan kakek-kakek ya? Kan serem kalau dia punya rambut putih kayak opa."     

Aku menatapnya tak percaya, "Aku bilangin ke Opa ya kamu nanti."     

"Hei, aku kan bercanda. Aku ga bermaksud gitu."     

Seingatku setelah itu kami hanya diam menunggu hujan reda. Kami tak mengatakan apapun lagi dan aku masih tak tahu jawaban dari pertanyaan Astro sampai sekarang. Kami konyol sekali saat itu. Saling mendiamkan satu sama lain hanya karena berdebat tentang belalang. Kurasa kami pun masih saling berdebat sampai sekarang.     

"Ngayal apa kamu?" pertanyan Zen membuyarkan lamunanku.     

Aku hanya menggeleng, lalu melanjutkan lukisan yang kutinggalkan sesaat lalu. Aku sedang melukis pantai berwarna pink. Aku ingat Bunda pernah menulis tentang Bonaire. Aku memang hanya melihatnya dari berbagai foto di mesin peramban, tapi di Bonaire, pantainya berwarna pink.     

"Mama bilang apa ke kamu waktu ngasih kanzashi?"     

Aku menoleh padanya, "Katanya Kak Liana ga mau pakai, jadi dikasih ke aku."     

Zen terkejut, "Itu aja?"     

"Mama kamu juga minta aku manggil pakai sebutan 'Mama'."     

Zen menatapku dalam diam. Aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku, tapi aku tak akan bertanya. Zen mengalihkan tatapan kembali ke lukisannya. Dia sedang melukis sebuah danau. Entah danau apa dan di mana, tapi terlihat bagus sekali.     

Sejak kami melukis gugusan pulau di tengah laut dua tahun lalu, aku tahu dia memiliki bakat melukis alami. Mungkin sama sepertiku. Jika dipikir kembali, aku lupa bagaimana aku bisa melukis. Aku hanya tahu aku menyukainya. Perasaan saat melukis membuat hatiku terasa lebih lepas. Mungkin dia pun sama.     

"Kamu belajar ngelukis dari siapa?" aku bertanya.     

"Dari kakek, tapi kakekku udah ga ada. Sekarang kalau ngelukis rasanya aku kayak lagi ngobrol sama kakek."     

Entah kenapa dia memberitahukannya padaku. Mungkinkah dia sedang merasa rindu?     

"Sorry, aku ga tau kalau kakek kamu udah ga ada. Aku ikut berduka."     

"Ga masalah kok. Lagian udah lama. Kamu tuh harus ngurangin minta maaf kalau ga salah."     

Dia memang selalu memaksudkan setiap kata dalam kalimatnya. Sepertinya aku bisa mulai menghargai ketulusannya lagi mulai sekarang. Selama ini aku merasa dia menyebalkan karena tak pernah menyerah padaku. Aku merasa terganggu dengan sikapnya itu hingga semua sifat baiknya terasa tak berarti.     

"Kayaknya udah ga ada yang ganggu kamu lagi belakangan ini."     

Aku mengangguk dan menggumam mengiyakan. Beberapa hari ini memang tak ada lagi yang mengajakku bicara tentang kasus Astro menghamili Dissa atau kasus pelanggaran hak ciptanya. Bahkan tak ada yang bertanya apakah kami benar-benar bertunangan.     

Sebetulnya aku merasa lega, tapi berita yang menguap secara tiba-tiba juga membuatku merasa takut. Begitu mudahnya manusia menghujat kesalahan yang bahkan tidak dilakukan manusia lainnya dan menganggapnya biasa saja saat kebenaran akhirnya terungkap. Seolah berita kebenaran memang sudah seharusnya terjadi dan tak membutuhkan perhatian sebesar berita keburukan yang tersebar.     

"Mau udahin sesi hari ini? Tapi masih ujan sih di luar." ujar Kak Sendy.     

"Aku udah ya. Ada latihan band sebentar lagi." ujar Reno.     

"Aku juga. Ada tugas presentasi besok." ujar Tari.     

Aku melirik jam di lengan, pukul 16.55. Kemudian menoleh ke jendela, gelap sekali. Senja yang biasanya terlihat cantik dengan matahari yang menggantung rendah sekarang tak nampak.     

Teman-temanku yang lain sepertinya juga memutuskan untuk pulang. Mereka saling membereskan barang masing-masing. Aku bangkit untuk menyalami mereka sebelum kembali duduk. Mereka berpamitan dan keluar dari ruangan bergantian.     

"Kamu ga pulang?" kak Sendy bertanya padaku sambil membereskan barang-barangnya.     

"Sebentar lagi. Ga pa-pa kan?"     

Zen menoleh padaku. Sepertinya dia membatalkan niatnya untuk pulang karena menghentikan gerakan tangannya yang sedang membereskan ransel.     

"Ga pa-pa sih. Asal nanti di Surabaya kamu ga nginep di galeri aja. Astro bisa ngamuk nanti." ujar Kak Sendy dengan tawa di ujung kalimatnya.     

Aku tersenyum, "Bisa dijamin dia yang maksa aku pulang."     

Kak Sendy tertawa lepas sekali yang membuatku menoleh ke arah Zen. Ada tatapan yang sulit kumengerti.     

"Kamu ga pulang?" aku bertanya.     

"Aku tungguin kamu sebentar. Ga baik perempuan sendirian." ujar Zen.     

"Aku duluan ya kalau gitu. Ada janji." ujar Kak Sendy.     

Aku mengangguk sebelum dia pergi, lalu melanjutkan lukisanku. Zen kembali duduk dan menatapku dalam diam. Aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan dan aku tak ingin mengetahuinya. Aku merasakan firasat buruk jika bertanya kenapa dia menungguku.     

"Kamu ga mikir jelek tentangku, Za?" tiba-tiba saja dia bertanya.     

Aku menoleh padanya, "Maksud kamu?"     

"Aku tau dua tahun ini aku ganggu kamu. Aku pikir kamu bakal mikir jelek abis aku kasih kamu lukisanku."     

Aku menatapnya gamang, "Kenapa aku harus mikir begitu?"     

Zen menaikkan bahu, "Bisa aja kan kamu mikir aku nyeremin? Ngelukis kamu segitu banyak kayak maniak?"     

"Kamu maniak?" aku bertanya dengan tawa di ujung kalimatku.     

"Bisa aja kan kamu mikir aku begitu."     

"Tapi aku ga mikir kamu begitu."     

Zen terdiam sebelum bicara, "Kamu udah buka kanzashi dari mama?"     

"Belum. Aku sayang bukanya. Teknik furoshikinya bagus. Aku ga yakin bisa bungkus kayak gitu lagi kalau aku buka." ujarku dengan jujur. Aku memang berniat akan membukanya jika bertemu Astro, karena kurasa Astro akan bisa membantuku membungkusnya kembali setelah kami membukanya.     

"Kanzashi yang mama kasih buat kamu itu benda turun temurun. Dikasih ke pengantin perempuan keluargaku. Mamaku keturunan ke delapan yang nyimpen kanzashi itu."     

"Kenapa mama kamu kasih ke aku?" aku bertanya sambil menatapnya tak percaya. Aku memang sudah menebak kanzashi itu adalah benda penting, tapi aku tak mengira kanzashi yang diberikan padaku ternyata sepenting itu.     

Zen hanya diam.     

"Besok aku bawa. Kamu aja yang simpen."     

"Ga bisa. Itu cuma boleh disimpen perempuan."     

"Kamu bisa kasih ke Kak Liana."     

"Kak Liana yang minta mama ngasih itu ke kamu."     

Ada apa dengan keluarganya? Kanzashi itu tak mengandung guna-guna, bukan? Kenapa percakapan ini membuatku berpikiran buruk seperti ini?     

Aku menarik napas panjang, "Aku akan simpen kanzashi-nya buat kamu. Kamu kan nanti bakal nikah. Aku bisa kasih itu ke istri kamu nanti."     

Zen hanya menatapku dalam diam. Entah apa yang dia pikirkan.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.