Cubit
Cubit
Kami sedang terhubung melalui telepon karena Astro memintaku untuk tak memberinya panggilan video call untuk sementara. Semalam sepertinya dia tak melanjutkan pekerjaannya karena beberapa teleponku tidak diterima.
"Kamu baru bangun?" aku bertanya karena suaranya yang biasanya ceria saat menerima telepon dariku entah kenapa berubah berat dan lambat.
Astro menggumam mengiyakan, "Kamu jadi ke Jogja hari ini?"
"Jadi." ujarku yang memang sedang dalam perjalanan menuju Jogja untuk melakukan pengecekan fisik cabang baru. "Kamu kenapa? Kok suaranya beda?"
"Aku ga pa-pa. Erm, cuma pusing sedikit."
"Yakin ga pa-pa?" aku bertanya untuk memastikan. Seingatku dia jarang sekali sakit. Namun dengan kasus yang dihadapinya beberapa waktu belakangan ini, proyeknya dengan Opa yang entah apa dan entah di mana, juga dengan segala deadline. Dia pasti kelelahan.
"Aku cuma butuh istirahat."
"Kamu udah ke dokter?"
"Udah kemarin."
"Kamu udah sarapan? Udah minum obat belum?"
"Aku udah sarapan. Tadi minta ojek delivery. Udah minum obat juga."
"Dokter bilang kamu sakit apa?"
"Aku cuma butuh istirahat kok."
"Serius, Astro."
"Aku ga pa-pa. Kamu ga perlu khawatir. Aku cuma perlu istirahat sebentar. Nanti juga sembuh."
"Astro, dokter bilang kamu sakit apa?" aku bertanya untuk memastikan keterangannya lebih dulu.
Astro terdiam sebelum menjawab, "Dokter bilang aku kena typhus, tapi aku ga pa-pa kok."
Sakit thypus bukanlah sakit yang bisa disepelekan. Bisa-bisanya dia merahasiakannya dariku. Ayah dan Ibu juga sedang berbulan madu ke Korea saat ini. Dia pasti tak memberitahu keduanya.
"Aku istirahat sebentar ya. Nanti kabarin aku kalau kamu udah sampai Jogja."
"Okay."
"I love you, Honey."
"I love you too, Astro." ujarku sambil mematikan sambungan telepon.
Aku melirik jam di lengan, pukul 07.48. Aku akan membatalkan kunjunganku ke cabang toko kain di Jogja. Aku menepikan mobil untuk memberi pesan untuk kepala toko dan memintanya mengirimkan email laporan untuk sementara. Aku akan ke sana besok saja.
Aku mencari alamat apartemen yang Astro pernah berikan padaku saat dia memintaku mengirimkan berkas berbulan-bulan lalu dan mengecek GPS. Perjalanan dari sini ke apartemennya berjarak empat jam lebih. Jika aku mempercepat laju mobil, mungkin aku akan sampai lebih cepat. Aku menaruh handphone kembali di holder dekat kemudi dan melanjutkan perjalanan menuju apartemennya.
Aku menyalakan radio untuk menemani perjalanan. Jalanan yang kulewati adalah jalanan yang dipilihkan oleh GPS untuk menghindari area padat dan macet. Kuharap aku bisa sampai di apartemen sebelum tengah hari.
Aku menyempatkan diri untuk berbelanja berbagai bahan makanan, juga makanan siap saji yang bisa disimpan selama beberapa hari untuk Astro. Untunglah tak ada yang begitu memperhatikanku dan mengajakku bicara. Atau mungkin aku memang tak terlalu dikenali di daerah lain.
Aku melapor di meja resepsionis yang memberitahu jalur menuju unit apartemen Astro sebelum menaiki lift ke lantai 26. Aku melirik jam di lengan, pukul 10.26.
Dengan ransel di punggungku, dua kantong berisi berbagai macam di tangan kiriku, aku sampai di depan unit kamar Astro yang ternyata diberi kunci pintu digital yang hanya bisa dibuka dengan memasukkan angka sandi. Aku tak tahu apa sandi yang dia pakai.
Aku mencoba memberinya panggilan telepon. Astro menerimanya.
"Kamu udah ..."
"Aku di depan. Buka pintunya." ujarku sambil mengetuk pintu beberapa kali.
Terdengar suara jatuh entah apa di sana. Astro muncul tak lama kemudian, dengan dada telanjang dan celana boxer selutut. Wajahnya merah sekali dan matanya terlihat sayu. Sepertinya dia demam.
"Kamu ngapain di sini?"
"Ga bisa ya pakai baju dulu? Kalau ada perempuan liat kamu telanjang gitu gimana?" aku bertanya sambil berusaha menyelipkan diri untuk masuk, sementara Astro menggeser tubuhnya untuk memberiku ruang lebih lebar.
Aku membawa semua barang ke kitchen set. Suasana kamar apartemennya terasa familier untukku, dengan dinding maroon yang selalu kulihat selama berbulan-bulan ini.
Astro membuntutiku dengan tatapan tak percaya yang masih sama dengan saat aku sampai beberapa saat lalu. Dia hanya diam memperhatikanku seolah aku adalah perempuan yang baru saja dia kenal.
Aku menghela napas, "Ga bisa banget ya pakai baju dulu?"
Sepertinya Astro baru tersadar dan segera berlalu. Terdengar suara terbentur beberapa kali, tapi dia kembali dengan sebuah kaos yang masih menggantung di lehernya, yang memaksaku melihat beberapa kotak otot perutnya selama beberapa lama.
Aku menundukkan pandangan untuk menghindari menikmati tubuhnya yang terpampang tepat di hadapanku. Kurasa jantungku berdetak kencang sekarang.
"Aku ga lagi mimpi kan?" Astro bertanya.
Aku menatapnya kembali setelah dia selesai memakai kaos, "Mau aku cubit? Tapi aku jadi sentuh kamu."
Astro mengerjapkan mata beberapa kali dan tersenyum lebar yang membuatnya terlihat tampan sekali.
Aah, andai aku bisa memeluknya.
"Istirahat sana. Aku masak dulu sebentar." ujarku sambil membereskan barang-barang, tapi dia tetap bergeming. Dia menatapku seolah aku adalah spesies langka dan membuatku merasa canggung.
"Aku beneran ga lagi ngimpi kan?" dia bertanya dengan senyum menggodanya yang biasa. Sepertinya dia sudah benar-benar sadar sekarang.
Aku akan menggodanya sebentar, "Aku cuma bunga tidur kamu, Astro. Aku ga nyata."
Astro menatapku dengan tatapan sebal, tapi segera menyadari sesuatu. Dia baru saja akan mengamit pinggangku, tapi aku berhasil menghindar.
"Berani sentuh aku, aku langsung pulang. Kita beneran ga akan ketemu sampai nikah nanti."
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Hai, Cantik. Kamu beruntung aku bisa nahan diri. Kalau ga kita udah pindah tempat dari tadi."
Aku tahu apa maksudnya. Bahkan kurasa wajahku memerah sekarang.
"Jangan ngomong macem-macem. Kamu harus istirahat." ujarku sambil mengalihkan tatapan pada berbagai bahan belanjaan di atas kitchen set.
Astro menyandarkan tubuh di kulkas di sebelahku, menatapku lekat seolah tak rela satu ekspresi pun lepas darinya. Entah bagaimana, tapi sepertinya mata sayunya yang beberapa saat lalu kulihat sekarang lenyap. Berganti dengan binar bahagia.
"Aku ke sini cuma mau masak. Abis ini aku langsung pulang." ujarku sambil berkutat dengan berbagai bahan makanan.
"Kenapa ga nginep?"
Aku menoleh padanya, "Kamu bercanda ya?"
Entah kenapa, ada senyum kemenangan di bibirnya. Dia terlihat senang sekali, "Ini kamarku. Kamu ga akan bisa keluar kalau ga tau password-nya."
Sepertinya aku merasa aku bodoh sekali. Bagaimana mungkin aku tak menyangka hal ini akan terjadi? Aku baru saja masuk ke kamar laki-laki yang belum resmi menjadi suamiku. Dia bahkan bisa saja melakukan apapun saat kami hanya berdua seperti ini.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-