Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Lancar



Lancar

0Ibu menemaniku mengantar aksesoris gaun milik Teana pagi-pagi sekali. Kemudian kami pergi ke sebuah pasar yang hanya berjarak setengah jam perjalanan dari sana.     

Kemarin Ibu berpesan padaku untuk memakai pakaian yang biasa saja agar tak menarik perhatian siapapun, maka aku memakai celana jogger belel dan kaos tua yang sebetulnya nyaman sekali. Rambutku terikat dengan topi hijau lumut favoritku yang sudah tua. Aku juga sengaja memakai sneakers tua yang sudah berumur lebih dari dua tahun.     

Kami meninggalkan mobil di parkiran pasar. Aku hanya membawa handphone, beberapa lembar uang tunai dan sebuah kartu debit yang kumasukkan di saku celana.     

Aku mengikuti Ibu menyusuri pasar dalam diam. Beberapa hari lalu Ibu berkata padaku ingin mengajakku membuat sebuah eksperimen. Mungkin sekarang adalah saat eksperimen itu akan kami kerjakan. Aku hanya tak tahu eksperimen semacam apa yang akan kami praktekkan.     

Ibu mengajakku menghampiri seorang penjual kerupuk yang sudah tua. Sepertinya dia tak bisa melihat karena sebelah pupil matanya rusak dan sebelah matanya hampir terpejam. Dia duduk di tepi trotoar dengan kacamata hitam terlipat di kerah kemeja lusuh.     

Ibu membeli satu plastik kerupuk dengan harga sesuai yang diberikan oleh penjual itu. Ibu tidak menawarnya, tapi justru meletakkan uang seratus ribu rupiah ke tas kecil di pinggang si penjual tanpa mengambil kembaliannya. Sepertinya penjual itu mengandalkan kepercayaan pembeli untuk transaksi.     

Kami pergi meninggalkannya, lalu menyeberang jalan. Tepat di seberang penjual kerupuk itu duduk, ada penjual soto dengan gerobak dan tenda terpal beserta meja kursi panjang. Ibu memesan dua porsi soto dan nasi, lalu mengajakku duduk di kursi panjang di bawah lembaran terpal yang melindungi kami dari panas matahari.     

Aku melirik jam di lengan, pukul 10.23. Aku memang sudah sarapan dua potong sandwich ayam sebelum berangkat, tapi tak akan menolak untuk makan lagi karena perutku mulai terasa lapar.     

Penjual soto mengantarkan pesanan sesaat kemudian dan kami langsung memakannya. Sebetulnya aku penasaran dengan tindakan ibu, tapi aku akan diam dulu. Mungkin ibu akan menjelaskan sendiri jika waktunya tiba untukku mendapatkan penjelasan.     

"Sotonya enak ya? Kapan-kapan bisa ajak ayah sama Astro ke sini." ujar ibu tiba-tiba di sela-sela aktivitas makan.     

Aku mengangguk sambil mengambil sebuah kerupuk yang sesaat lalu dibeli untuk menemani soto yang sedang kumakan. Aku tahu ibu adalah wanita dengan selera tinggi, tapi tak pernah malu untuk membeli makanan atau benda apapun di pinggir jalan seperti ini. Aku mengetahui hal ini sejak mengikuti keluarga Astro pergi ke berbagai destinasi. Kami hanya semakin jarang melakukannya bersama karena berbagai pekerjaan yang harus diselesaikan.     

"Ibu kamis sama jumat di rumah?"     

"Ibu di rumah. Oma udah bilang katanya Faza mau nginep. Nanti Faza bisa tidur di kamar Astro kalau Faza mau."     

Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya. Aku memang tak akan keberatan untuk tidur di kamar Astro. Aku merindukannya dan dia sedang tak ada di rumah. Seharusnya akan aman bagiku tidur di kamarnya, bukan?     

Tiba-tiba tatapan Ibu terpaku pada penjual kerupuk yang beberapa saat lalu kami tinggalkan. Penjual itu sedang mengeluarkan uang dari tas kecil di pinggangnya. Ternyata dia bisa menghitung uang dengan melihat.     

Aku terkejut sekali. Saat aku melihatnya tadi, sebelah matanya sepertinya tak dapat berfungsi. Namun aku lupa dengan sebelah matanya yang setengah tertutup. Mata yang setengah tertutup tadi sekarang terlihat baik-baik saja.     

Dia menghitung pendapatannya dengan cepat dan segera bangkit membawa semua kerupuknya pergi. Dia berjalan dengan tongkat sambil menepuk-nepuk tongkatnya ke aspal yang membuat kesan seolah dia memang tak dapat melihat dengan baik.     

Aku menoleh ke arah Ibu. Ekspresinya terlihat biasa saja. Ibu bahkan melanjutkan makan seperti tak ada sesuatu yang terjadi. Ibu mengajakku bangkit setelah makanan kami habis dan membayar soto dengan uang seratus ribu.     

"Sebentar ya, Bu, saya cari kembalian dulu ke sebelah." ujar penjual soto saat akan pergi ke toko buah di belakangnya.     

"Kembaliannya buat Mas aja." ujar Ibu.     

"Duh jangan, Bu. Sebentar ya, ga lama kok."     

"Udah ga usah. Beneran. Sotonya enak banget. Semoga bisnisnya lancar ya." ujar Ibu sambil mengamit lenganku.     

Penjual soto itu terlihat terharu, "Aamiin. Makasih ya, Bu. Semoga semua usaha Ibu dilancarin sama Yang Maha Kuasa."     

"Aamiin. Mari, Pak." ujar Ibu sambil menggiringku pergi menyusuri sisi pasar yang lain.     

Kami berjalan melewati toko demi toko, dengan tangan Ibu memeluk lenganku. Entah kenapa terasa seperti sedang berjalan bersama Fara andai saja dia masih ada.     

"Faza tau kenapa Ibu cuma punya anak satu?" Ibu tiba-tiba bertanya.     

Aku menoleh dan menggeleng. Tiba-tiba saja rasa keingintahuanku muncul.     

"Karena Ibu ga pede ngurus anak banyak." ujarnya dengan senyum tipis yang terlihat cantik, walau ada semburat kesendirian yang tersembunyi.     

Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya. Mungkin akan lebih baik jika aku diam dan menunggu.     

"Waktu Astro lahir dulu Ibu selalu ngerasa sendirian. Padahal ada yang bantu buat ngurus rumah, tapi ... ga ada yang ngerti galaunya Ibu waktu jadi Ibu baru. Ibu jadi kayak punya trauma. Ibu pikir kalau punya anak lagi, apa Ibu bisa ngurusnya?"     

"Ibu ngalamin baby blues*?" aku bertanya ragu-ragu karena tak ingin menyakiti perasaan Ibu. Bagaimanapun, sindrom itu mungkin meninggalkan kesan buruk tersendiri bagi pengidapnya.     

"Mungkin, tapi jaman Ibu dulu kan informasi ga sebagus sekarang jadi Ibu taunya Ibu lagi galau. Ibu bingung setiap hari karena ga ngerasa pede sama tindakan sendiri."     

Tiba-tiba aku mengingat Bunda. Dengan tiga orang anak yang selalu berisik setiap hari, bagaimana Bunda mengelola emosinya? Entah kenapa sekarang hal itu terasa menakjubkan bagiku.     

"Sebenernya akan lebih gampang ngasih contoh ke Faza tentang gimana caranya takdir bekerja kalau Faza udah punya anak, tapi karena belum ... kita coba cari contoh lain ya."     

Aku terdiam sebelum bicara, "Faza pikir yang tadi itu Ibu udah mulai eksperimen."     

"Maksud Faza yang jual kerupuk itu?"     

Aku mengangguk, "Sama pas kita makan soto tadi. Ternyata bukan ya?"     

Ibu tertawa lepas dengan suara jernih yang membuat beberapa orang menoleh terpesona padanya. Entah kenapa terasa seperti aku yang sedang menjaga seorang primadona.     

"Itu sih Ibu emang lagi pengen ngasih aja. Kita ga perlu banyak mikir buat ngasih sesuatu kalau emang udah niat kan?"     

"Maksud Ibu, banyak mikir juga ga selalu bagus?"     

Ibu tersenyum lebar padaku, "Kayaknya udah siap jadi istri nih."     

Entah apa hubungannya, tapi aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Mungkin jika Bunda masih ada, kami akan sering berjalan-jalan seperti ini.     

"Tapi mumpung Faza tadi merhatiin. Menurut Faza gimana bedanya yang jual kerupuk sama yang jual soto?"     

Aku berpikir sebelum bicara, "Faza jelas lebih suka sama sikap yang jual soto. Dia jujur dan bilang terima kasih. Bahkan sempet doain Ibu."     

"Padahal kembalian lebihan buat dia nilainya lebih sedikit dibanding yang jual kerupuk ya?"     

Aku menggumam mengiyakan. Harga dua porsi soto dan nasi memang lebih mahal dibandingkan harga seplastik kerupuk.     

"Tapi jangan mikir negatif ya. Mungkin kita aja yang ga ngerti kenapa dia bisa punya sikap begitu. Walau udah pasti berkahnya beda."     

Aku setuju dengan pendapat ibu. Aku sendiri sering melakukan hal tanpa kupikirkan dengan matang. Aku tak akan suka jika ada orang lain yang berpikir negatif padaku hanya karena aku sedang tak mampu berpikir jernih dan mengambil keputusan terbaik.     

"Bersikap hati-hati boleh, tapi ga perlu terlalu banyak dipikirin kalau cuma buang waktu." ujar Ibu sambil mengelus puncak kepalaku.     

Aku tersenyum. Sepertinya kali ini aku sedang ditegur karena terlalu banyak berpikir yang tak perlu.     

_____     

*Baby blues juga dikenal sebagai postpartum blues atau postpartum distress syndrome, ini adalah perasaan emosional yang dirasakan wanita setelah melahirkan. Jika seorang wanita baru saja melahirkan merasa mudah menangis, mudah tersinggung, dan sedikit tertekan, kemungkinan wanita itu mengalami sindrom ini.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.