Putri Dari Akkadia: Cinta Setinggi Langit Dan Bintang

Komandan The Dragonite



Komandan The Dragonite

1Xion membuka mata dan mendapati Therius duduk di sampingnya. Sang pangeran jelas terlihat sedang melamun.     

"Heii.... sudah berapa lama aku tertidur?" tanya Xion keheranan. Ia merasa tubuhnya segar dan rasa sakit di dadanya tidak terlalu mengganggunya. Ia menatap Therius lekat-lekat. "Bagaimana nasib The Coralia? Apakah Jenderal Moria datang tepat waktu?"     

Therius menoleh dan mengangguk. "Kau berhasil. Jenderal Moria tiba tepat waktu."     

Xion menarik napas lega. "Oh.. syukurlah. Aku mengeluarkan sangat banyak tenaga untuk pergi ke masa lalu dan memberitahumu apa yang terjadi. Kau segera menghubungi Jenderal Moria dengan mengirim kapal messenger dan meminta bantuan. Aku tidak dapat membayangkan kalau ia tidak tiba tepat waktu..."     

Therius mengangguk. "Aku juga tidak. Terima kasih, Xion."     

"Hei... aku kan melakukan ini untukku juga. Aku tidak mau mati muda ya..." cetus Xion sambil tertawa. Ia lalu duduk di pembaringan dan mengamat-amati tubuhnya. "Hmm... kupikir serangan Heron tadi cukup parah melukaiku. Ternyata aku merasa baik-baik saja."     

"Kau hanya lelah," kata Therius. "Beristirahatlah. Aku akan menemui Jenderal Moria. Mereka pasti sekarang sudah mendarat."     

"Hmm..." Xion mengangguk. Ia meregangkan tubuhnya dan kembali berbaring. "Ya, semua ketegangan hari ini membuatku sangat lelah. Aku mau tidur lagi."     

Therius menepuk tangan Xion dan kemudian beranjak keluar.     

***     

"Hei!"     

"Astaga..." Emma terlonjak kaget mendengar sapaan Xion yang tiba-tiba. Ia mengerutkan keningnya saat melihat pemuda itu tampak sehat-sehat saja. "Kau tidak apa-apa? Tadi kulihat kau terluka. Kupikir kau sudah hampir mati."     

Xion mengangkat bahu. "Enak saja. Aku tidak selemah itu ya. Aku ini sekuat kerbau."     

"Oh... syukurlah. Aku lega kau tidak kenapa-kenapa." Emma yang merasa sangat terharu segera memeluk Xion. Ia lalu memukul bahu pemuda itu keras-keras beberapa kali. "Kemana kau pergi waktu itu? Tega-teganya kau kabur meninggalkan aku sendirian! Guru macam apa kau ini? Untungnya aku berhasil bertahan menghadapi penjahat itu..."     

Xion tertawa-tawa. "Maaf.. tadi itu aku ada urusan darurat. Kan aku sudah bilang. Yang penting aku datang tepat waktu? Semuanya sekarang baik-baik saja."     

Emma mengangguk. Wajahnya terlihat lega sekali. "Aku tidak mengira Therius menyembunyikan informasi ini dari kita. Ternyata ia sudah tahu sepupu brengseknya akan menghadang kita di Daneria sehingga ia telah mengirim permintaan bantuan kepada Jenderal Moria. Tadi itu aku sudah kuatir setengah mati. Tega sekali dia membiarkan aku panik dan ketakutan seperti tadi tanpa memberitahuku apa-apa!"     

Xion mengangguk-angguk. "Iya. Dia memang tega.. haha. Ayo kita cari dan marahi dia."     

Xion menarik tangan Emma keluar dari klinik dengan riang. Gadis itu segera mengikutinya. Ia memang hendak memarahi Therius yang telah membuatnya kuatir setengah mati.     

***     

Seumur hidupnya, Emma belum pernah membayangkan ia akan dapat melihat sebuah kapal perang berukuran raksasa seperti The Dragonite ini. Kapalnya bisa dibilang berukuran seratus kali lipat The Coralia. Sungguh luar biasa besar dan sangat mengintimidasi!     

Emma semula tampak ragu-ragu mendekat ketika melihat kapal itu. Ia menarik lepas tangannya yang digenggam Xion erat-erat saat mengajaknya berlari keluar The Coralia untuk mencari Therius.     

"Berhenti di tempat!" Seorang prajurit berambut pendek dengan seragam militer berwarna biru segera mencegat mereka, diikuti sekelompok prajurit dengan seragam serupa. Ia berdiri menghadang dengan sikap garang di depan Emma dan Xion.     

"Kami hendak mencari Therius. Apakah kau bisa memberitahunya bahwa kami sedang mencarinya?" tanya Emma.     

Ia tidak tahu apakah para prajurit ini sudah mengetahui rahasia Pangeran Licht yang menyamar sebagai Therius Moria untuk datang ke Daneria atau tidak. Karena itulah ia sengaja tidak menyebut nama asli Therius.     

Emma juga tidak mau mengunakan telemancy untuk mempengaruhi para prajurit ini agar memberinya jalan karena ia tidak mau semakin banyak orang mengetahui ia adalah seorang telemancer. Ia sudah mengerti bahwa telemancer memiliki reputasi buruk di Akkadia.     

"Therius?" Prajurit itu menyipitkan matanya dengan gusar. "Tidak ada yang bernama itu di sini."     

Xion dan Emma saling pandang. Mereka berdua serempak mendesah.     

"Kita tunggu dia di The Coralia saja," kata Emma sambil mengerucutkan bibirnya. "Rupanya sekarang dia sudah menjadi orang sibuk. Lagipula, aku juga tidak nyaman masuk ke dalam kapal perang ini karena aku tidak familiar dengan isinya."     

Ia sebenarnya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa Therius merahasiakan rencananya dari mereka dengan melibatkan Jenderal Moria. Namun, Emma tidak mau memancing keributan.     

Xion mengangkat bahu. "Baiklah. Mungkin dia memang sibuk. Dia kan masih harus mengurus sepupunya yang brengsek itu dan berkoordinasi dengan Jenderal Moria. Karena sekarang identitasnya sudah terbuka, dia tidak bisa lagi seenaknya bermain bersama kita. Ayo kita pergi!"     

Keduanya berbalik hendak beranjak pergi dari situ, tetapi tiba-tiba prajurit yang tadi menghadang mereka segera memanggil keduanya.     

"Tuan, Nona..." Suaranya sekarang terdengar penuh hormat. Ia tadi mendengar Xion dan Emma membicarakan Therius dan dapat mengambil kesimpulan bahwa yang mereka maksud dengan Therius itu sebenarnya adalah Pangeran Licht. Ia tidak dungu dan segera mengubah sikapnya menjadi penuh hormat. "Anda ingin bertemu Pangeran Licht? Apakah Anda Tuan Putri Emma Stardust dan Tuan Xion Draconi?"     

Emma menoleh ke arah Xion. Ia baru mendengar nama lengkap Xion. Pemuda di sebelahnya mengangguk dengan wajah cerah.     

"Benar. Apakah Pangeran sedang sibuk? Kalau ia sibuk kami tidak akan menganggunya," kata Xion. "Kami bisa datang kembali."     

Prajurit itu kini tersenyum. Ia senang karena dugaannya benar dan tadi ia tidak sampai melakukan kesalahan fatal dengan mengusir teman-teman yang mulia Pangeran Licht.     

"Yang Mulia memang sedang sibuk, tetapi ia memerintahkan kami yang berjaga di depan untuk menerima Anda berdua dengan baik dan mengantar Anda masuk ke dalam." Ia lalu mengangkat tangannya dan melambai untuk mempersilakan Emma dan Xion masuk mengikutinya.     

Emma dan Xion berjalan ke dalam pesawat raksasa itu dengan pandangan wajah kagum. Walaupun mereka berusaha untuk terlihat santai dan acuh, tetap saja ekspresi mereka tidak dapat berbohong.     

Xion berasal dari gunung dan tidak terbiasa dengan kemegahan ibukota maupun kapal perang yang demikian besar. Sementara Emma berasal dari bumi dan ia tidak pernah membayangkan suatu hari nanti ia akan masuk ke kapal perang dari planet asing, apalagi kapal yang sangat berkelas seperti kapal The Dragonite ini.     

"Anda bisa menunggu di taman. Silakan ikut saya," kata si prajurit. "Saya akan menunjukkan jalannya."     

Emma mengangguk. Ia hampir tidak dapat bernapas melihat kemegahan kapal ini. Rasanya ia ingin terbang saja karena kakinya lelah berjalan. Lorong yang mereka lewati terasa bagai tidak berujung, saking luasnya kapal ini. Mereka berjalan hingga ke pertengahan lorong dan kemudian masuk ke dalam sebuah lift.     

Prajurit tadi memencet tombol dan menutup pintu lift. Mereka naik ke lantai tertinggi dan berjalan kembali mengikuti prajurit itu. Setelah melewati berbagai ruangan besar dan orang-orang yang terlihat sibuk, mereka tiba di sebuah lounge indah. Di dalamnya ada taman hijau yang sangat asri dan air terjun buatan yang cantik.     

Emma seketika merasa seolah ia berada di sebuah kebun Jepang yang asri dan mendamaikan jiwa. Ahh... tempat ini sangat mengesankan.     

"Saya permisi sebentar," kata prajurit tadi dengan sikap hormat. "Pangeran sedang berbincang-bincang dengan Jenderal Moria. Saya akan memberi tahu beliau bahwa Anda berdua sudah tiba."     

"Terima kasih," kata Xion dan Emma bersamaan.     

Kedua anak muda itu bagaikan orang udik yang tidak pernah melihat barang modern dan segera mengelilingi taman kecil di lounge itu dengan sukacita.     

Oh... di The Coralia tidak ada taman sama sekali!     

Memang kapal ini beda kelas, pikir mereka sepakat.     

Keduanya berjongkok di pinggir kolam cantik tempat air terjun buatan itu mengalir dan menyentuhkan tangan mereka untuk merasakan airnya.     

Ahh.. segar sekali. Mereka langsung teringat petualangan mereka di Daneria sebelum semua kekacauan ini terjadi.     

"Tempat ini bagus sekali," komentar Emma. "Tidak seperti di kapal luar angkasa. Kalau kita pulang dengan naik ini, pasti rasanya lebih nyaman."     

"Kalau itu yang kau inginkan, tentu aku akan dengan senang hati mengikutinya."     

Tiba-tiba terdengar suara tenang Therius dari belakang mereka, mengagetkan Emma. Ia dan Xion segera menoleh ke belakang dan, ketika mereka melihat Therius, keduanya bangkit berdiri menyambut teman mereka.     

"Kau ini bisa tidak sih kalau melangkah pakai bunyi sedikit? Jangan mengendap-endap begitu!" omel Emma. "Kau membuat jantungku hampir copot!"     

Ia hendak mengomeli Therius lebih lanjut, tetapi seketika membatalkan niatnya. Di samping Therius berdiri laki-laki separuh baya nan gagah yang tadi dilihatnya di layar dek observasi: Jenderal Moria.     

Emma tidak mau bersikap terlalu kasual di depan orang asing. Karena itu ia memilih diam. Therius yang menyadari sikap diam Emma lalu mengangguk ke sebelahnya. Ia memperkenalkan Jenderal Moria kepada Emma dan Xion.     

"Jenderal, ini sahabatku Xion Draconi, dan ini... calon istriku, Emma Stardust."     

Emma cegukan mendengar kata-kata terakhir Therius, tetapi ia berusaha menahan diri agar tidak batuk-batuk dan membuat Jenderal Moria curiga. Ia telah setuju untuk berperan sebagai calon istri Therius selama lima tahun ke depan. Maka ia harus menepati janjinya.     

Jenderal Moria yang sangat disegani ini mengangguk hormat kepada Emma dan Xion. Karena dirinyalah yang diperkenalkan kepada dua orang muda itu dan bukan sebaliknya, siapa pun dapat melihat siapa yang memiliki derajat lebih tinggi di kapal itu.     

"Yang Mulia," Jenderal Moria menyapa Emma sambil tersenyum.     

Namun demikian, sorot matanya terlihat seperti menyimpan gurat sendu ketika melihat Emma yang membuat gadis itu menjadi keheranan.     

Mengapa Jenderal ini menatapnya sedemikian rupa. Apakah Emma melakukan kesalahan?     

Akhirnya, Emma memutuskan untuk membaca pikirannya.     

Oh...     

Tanpa sadar Emma mundur selangkah dengan tubuh terhuyung. Untunglah Xion dan Therius dengan sigap menahan tubuhnya.     

Air mata menetes perlahan ke pipi Emma.     

Ia baru mengetahui bahwa ayahnya dulu adalah komandan kapal The Dragonite.     

Setelah Kaoshin Stardust melarikan diri bersama Arreya dan kemudian dipenjara atas kejahatan memberontak terhadap kerajaan Akkadia, Jenderal Moria pun diangkat sebagai penggantinya di kapal ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.