Dia Berbeda Dengan Fang Yaqing (4)
Dia Berbeda Dengan Fang Yaqing (4)
"Apa kamu masih memikirkannya di dalam hatimu?" tanya Ji Jinchuan, yang kemudian makan sesendok bubur dengan anggun.
Ji Shaoheng membeku sejenak. Kemudian, dia tersenyum sinis dan berkata, "Aku hanya ingin ikut berbela sungkawa. Jadi, aku pergi melayat kemarin."
Ji Jinchuan mengabaikan penjelasan adiknya itu dan berkata, "Sayang sekali aku tidak pergi ke sana untuk melihatnya kemarin."
Ji Shaoheng tidak bisa tertawa karena ucapan kakaknya. Ji Jinchuan lalu mengangkat pandangan matanya. Raut wajahnya masih tampak dingin dan juga penuh keragu-raguan.
"Shaoheng, dia berbeda dengan Fang Yaqing. Aku tidak akan pernah memberikannya kepada siapa pun, apa kamu mengerti?"
"Aku mengerti," jawab Ji Shaoheng sambil mengangguk. Bagaimana sikap dan kondisi Ji Jinchuan selama beberapa tahun terakhir ini, dia sangat tahu itu. Dia tidak buta.
Setelah selesai sarapan, Ji Jinchuan pergi ke perusahaan, sementara Ji Shaoheng tinggal di rumah sakit bersama Ji Nuo. Sekitar pukul 10 pagi, pintu kamar pasien diketuk dua kali dengan sangat lembut. Ji Shaoheng pun berteriak dengan keras, mengatakan agar orang yang mengetuk pintu masuk. Namun, bukan dokter ataupun perawat yang membuka pintu, melainkan Su Ke.
Su Ke melirik sekeliling kamar pasien. Tidak ada seorang pun di ruangan itu, kecuali Ji Shaoheng. Dia juga melihat ke balkon.
Saat ini Ji Nuo sedang tidur. Jadi, Ji Shaoheng merendahkan suaranya, meletakkan tangannya di sandaran kursi dan menopang dagunya dengan satu tangan, "Siapa yang kamu cari?"
"Tidak, tidak ada." Su Ke dengan cepat melambaikan tangannya. Dengan senyum manis di wajahnya dan lesung pipinya yang dangkal, dia menyapa, "Halo, Tuan Muda Kedua…"
"Nona Su, apa yang kamu lakukan di sini?" Ji Shaoheng berkata dengan malas.
Su Ke memiliki wajah yang masih menggemaskan, dengan rambut pendek dan poni di dahinya. Dia terlihat imut dan masih seperti anak kecil. Dia menjawab, "Aku ingin melihat Nuonuo…"
"Ketika kakakmu yang datang ke rumah sakit dengan alasan itu, aku masih bisa memahaminya. Tapi, kamu… kenapa kamu ingin melihat Nuonuo?" Ji Shaoheng memandang Su Ke dari atas hingga ke bawah, jari-jarinya mengusap rahangnya. "Apa yang kamu cari?"
Mata Su Ke menunjukkan kebingungan. Kemudian, dia menjawab dengan sangat halus, "Kakakku tidak punya waktu hari ini, jadi aku tidak mengajaknya untuk menjenguk Nuonuo."
Mata tajam Ji Shaoheng menyipit. Tatapannya sangat menawan, seolah-olah matanya dipenuhi dengan bunga persik yang bermekaran. Dengan sikap genit, dia berkata, "Oh, benarkah?"
Su Ke mengangguk. Wajahnya yang bulat terlihat seperti roti kukus, lembut dan menyenangkan. Dia berkata, "Apa Tuan Muda Kedua tidak menerima atas kehadiranku?"
"Apa kamu tidak membawa sesuatu kalau ingin datang untuk menemui pasien?" ujar Ji Shaoheng yang menatap tangan kosong Su Ke.
Su Ke menjawab dengan ragu-ragu, "Aku… lupa membawanya. Aku akan menggantinya untuk lain kali."
Ji Shaoheng tidak melanjutkan untuk mempermalukannya lagi. Dia takut jika dia mengatakan lebih banyak, Su Ke akan menangis dengan bibir berkerut.
Setelah itu, Su Ke menutup pintu kamar pasien dan memastikan bahwa Ji Jinchuan tidak ada di sana. Dia menundukkan kepalanya dengan frustrasi dan meletakkan kedua tangannya di depan dadanya. Ji Nuo sedang tidur saat ini, sementara Ji Shaoheng sedang bermain game di ponselnya. Tidak ada yang memperhatikannya saat ini. Dia berdiri sejenak lalu berjalan perlahan dan duduk di sofa.
Su Ke melihat sekeliling dengan bosan. Dia melihat beberapa dokumen dan dompet hitam mewah di atas meja. Apa ini milik Ji Jinchuan? Batinnya.
Su Ke ingin melihat dan mengetahui selera Ji Jinchuan. Begitu tangannya menyentuh dompet, dia mendengar suara jahat Ji Shaoheng tiba-tiba menggema.
"Nona Su, apa yang kamu lakukan?"
Suara yang tidak ringan, tapi juga tidak berat itu membuat tubuh Su Ke menggigil. Dia menarik kembali tangannya, mendongak, dan melihat Ji Shaoheng menyipitkan matanya. Kemudian, dia buru-buru menjelaskan, "Aku hanya ingin melihat-lihat, tidak ada maksud lain."
Ji Shaoheng mendengus dan tersenyum. Matanya yang tajam dipenuhi dengan lapisan kesuraman. Dia bertanya, "Apa ada orang yang pernah berani menyentuh barang kakakku dengan sesuka hati?"
Wajah Su Ke memucat. Dia mencoba menjelaskan, "Aku hanya ingin melihat-lihat."