Aku Tahu di Dalam Hatimu Hanya Ada Aku
Aku Tahu di Dalam Hatimu Hanya Ada Aku
Setelah menunggu beberapa menit, Ji Jinchuan masih belum menjawab juga. Chen Youran pun bertanya lagi, "Apa yang kamu tahu?"
Ji Jinchuan mengangkat kepalanya dan menatap wajah Chen Youran yang masih memerah. Ibu jarinya dengan lembut mengusap kedua pipi istrinya, mata hitamnya menyala dan tatapannya sangat lembut. Dia berkata, "Aku tahu di dalam hatimu hanya ada aku."
"Apa kamu tidak mengetahuinya sejak lama?" Chen Youran berkata dengan marah.
Ji Jinchuan menutup matanya, seolah terdapat senyum di bagian bawah alis dan ujung matanya. Bibir tipisnya terbuka dengan lembut dan dia mengeluarkan dua kata, "Iya, iya..."
Ji Jinchuan tidak menyangka bahwa pikiran Chen Youran lebih awal dari itu.
Keduanya tinggal di kamar selama lebih dari dua jam. Ketika Fang Yaqing mengetuk pintu, mereka pun keluar dari ruangan itu. Dibandingkan dengan ekspresi tenang Ji Jinchuan, wajah Chen Youran tampak merah, begitu pula dengan bibirnya, seolah baru saja ada yang menciumnya. Dia lalu melirik Ji Jinchuan dan menatap Chen Youran yang wajahnya memerah. Hatinya terasa rumit dan masam. Dia berkata, "Kakak, kakak ipar… Ibu meminta kalian untuk keluar."
Chen Youran berdeham dan berkata dengan tenang, "Oke, kita akan segera keluar."
Setelah itu, Chen Youran dan Ji Jinchuan berjalan di depan, sementara Fang Yaqing mengikuti mereka dari belakang. Dia melihat dua pria tampan dan wanita cantik yang tampak serasi di depannya. Dia mengencangkan jari-jarinya yang berada di kedua sisi tubuhnya.
Ketiganya akhirnya sampai di Paviliun Sutra. Tempat yang disebut Paviliun Sutra adalah tempat penyimpanan sutra, (Di dalam agama Buddha, istilah 'sutra' kebanyakan merujuk kepada kitab suci keagamaan, yang banyak dianggap sebagai salinan akan pengajaran lisan dari Gautama Buddha). Sutra-sutra yang rapi itu ditempatkan di rak yang berada di dalamnya. Setiap sudut ruangan itu tampak sangat bersih. Xie Suling sendiri kembali menyalin kitab suci Buddha. Mereka pun berjalan mendekat ke meja, lalu Chen Youran segera mengambil batu tinta dan terus menggilingnya.
Xie Suling mengganti pakaiannya dengan jubah biksu wanita. Setelah itu, dia membakar dupa dan membersihkan tangannya sebelum kembali menyalin kitab suci Buddha. Dia tetap terlihat anggun dalam balutan jubah biksu wanita itu. Ketika mereka bertiga datang, dia menghentikan gerakannya dan berkata, "Aku meminta kalian untuk datang ke sini untuk membiarkan kalian masing-masing menyalin kitab suci Buddha dan membiarkan Sang Buddha melihat pikiran kalian untuk melindungi kalian dari masalah."
Chen Youran dan Fang Yaqing tidak memiliki pendapat. Mereka kemudian mengambil kuas dan tinta, mengeluarkan sutra Buddha dari rak buku, menyebarkan kertas, dan mulai menyalin. Hanya Ji Jinchuan yang berdiri diam di sana. Dia memandang Xie Suling dan berkata padanya, "Salinlah… Aku selalu percaya kalau meminta kepada Tuhan akan jauh lebih baik daripada meminta kepada diri sendiri."
"Jangan bicara omong kosong di depan Buddha!" Xie Suling mencela dengan ringan.
Puncak alis halus Ji Jinchuan sedikit mengerut. Jika bukan Xie Suling, ibunya sendiri, yang mengatakan itu, dia pasti akan merasa gugup.
Xie Suling melanjutkan, "Ketulusan adalah semangat. Itu seharusnya menjadi ketenangan pikiran."
Melihat hal itu, Chen Youran khawatir suaminya akan terus berdebat dengan Xie Suling, dia pun buru-buru menyiapkan kuas dan tinta, lalu mengambil sutra Buddha lain, dan menarik Ji Jinchuan ke meja. Kemudian, dia mencelupkan kuas ke dalam tinta dan menyerahkannya kepada suaminya itu.
Ji Jinchuan meliriknya. Chen Youran mengangkat tangannya dan memberi isyarat padanya untuk mengambilnya. Dia pun mengambil kuas dan menulis perlahan di kertasnya.
Posisi Chen Youran ada di sebelah Ji Jinchuan, dia juga mengambil kuas untuk dirinya sendiri. Dia jarang menulis dengan kuas, jadi sulit untuk menulis dan dia hanya bisa membacanya.
Setelah menyalin satu baris, Ji Jinchuan mendongak dan meliriknya. Dia melihat bahwa tulisan tangan Chen Youran sedikit miring. Kemudian, dia meletakkan kuasnya di atas batu tinta, memeluk pinggang istrinya dari belakang, dan memegang tangannya, "Perhatikan kekuatan pergelangan tangan, jangan terlalu kaku. Gerakan tangan harus fleksibel saat menulis ..."