PERNIKAHAN TANPA RENCANA

111



111

1Kecewa? Iya. Apakah harapan bisa membawa manusia untuk berhalusinasi?. Lalu meyakini kenyataan-kenyataan palsu yang Ia anggap benar. Dan Lisa terbawa oleh skenario yang Ia ciptakan sendiri.     

Lisa sulit mengerti dirinya sendiri. Kenapa Ia menunggu sesuatu yang tak pasti. Kenapa Ia biarkan dirinya terkungkung untuk waktu yang begitu lama.     

Rendi kemudian berdiri dan duduk di tempat semula Lisa duduk. Sementara Ardi masih sibuk mengeringkan rambutnya. Jaketnya sedang ada di jemuran belakang. Lisa yang telah membawanya tadi. Hanya tersisa sedikit basah ditubuh Rendi. Paling parah memang sekitar kepala.     

"Jadi nama Lo Ardi. Gapapa dong gue casual gini ke Lo..? Kayaknya umur kita juga enggak jauh beda." Rendi menopang dagu di atas meja.     

"Gue 25."     

"Hah!"     

Rendi hampir berdiri karena kaget. Dia tahun ini saja baru akan 23. Kuliahnya saja baru semester pertama. Bagi laki-laki usia lebih dewasa adalah kebanggaan. Karena jiwa mereka adalah senioritas. Meskipun sebaliknya bagi perempuan.     

"Lo?." Tanya Ardi.     

"Apa?." Jawab Rendi.     

"Ya umur lah." Timpal Ardi lalu berdiri dan mengibaskan handuk yang total basah.     

"23. Satu bulan lagi." Jawab Rendi kesal dan sambil ekspresi sedih juga malu.     

"Oh..." hanya itu jawaban Ardi. Lalu ia berjalan menuju ruangan Lisa.     

Rendi mengekor dan merajuk.     

"Gue enggak mau panggil Lo kak, bang atau apalah. Gue tetep panggil nama Lo. Lagian muka Lo tuh enggak cocok sama umur Lo itu. Menyebalkan. Bikin orang salah paham aja." racau Rendi pada Ardi.     

Ardi menghentikan langkahnya sebelum sampai di depan pintu.     

Dia berbisik pada Rendi. "Panggil Gue Lufi aja."     

Lalu pintu terbuka. Ternyata Lisa hendak keluar.     

"saya mau ambil jaket." Kata Ardi.     

"ah jaketmu.. sebentar lagi pasti kering." Kata Lisa.     

"tapi saya harus pergi. Karena ada janji 30 menit lagi."     

"kalau begitu apa kamu akan memakai jaket basah saat ketemuan?".     

"Ah iya benar." Jawab Ardi membenarkan ucapan Lisa.     

"Kalau begitu lebih baik aku beli jaket diluar. Sepertinya hujan juga sudah reda. Terima kasih atas tehnya." Ardi bergegas setelah menyerahkan handuk basah itu pada Lisa.     

Lisa menatap punggung lelaki itu yang ternyata bernama Ardi. Lisa sedikit menyungging senyum sekalipun matanya sembab. Dia menatap handuk yang telah basah bekas Ardan lalu masuk ke ruangannya.     

Mencebik, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Berharap hal-hal mustahil datang kepada dirinya. Termasuk, si pembaca halaman 25 itu. Orang yang tidak bertanggung jawab dan pergi meninggalkan halaman bukunya hingga usang tak terbaca.     

Rendi mencium bau-bau mencurigakan dari sikap Lisa. Aneh sekali Lisa menahan barang milik orang lain di sini. Atau lebih tepatnya Lisa ingin Ardi datang kembali ke sini. Apa Lisa pikir Ardi adalah Lufi? Itu jelas tidak mungkin. Ardi dan Lufi adalah dua orang yang berbeda. Karakter mereka aja berbeda. Lufi tidak menyebalkan seperti Ardi.     

Batin Rendi meracau lalu Ia masuk ke ruangan Lisa.     

Terlihat di sana Lisa sedang menjemur handuk basah bekas Ardi.     

"Lis.. Gue enggak salah kan?.." Lisa bergeming dengan ucapan Rendi.     

"Maksud Lo?" Lisa tampak bingung dengan ucapan Rendi.     

"Ya mungkin aja Lo pikir dia adalah Lufi beneran jadi Lo kaya ngelewatin prinsip Lo?" Jawab Rendi memastikan.     

Lisa berbalik menghadap Rendi.     

"Lo pikir Gue bego?" Jawab Lisa lalu pergi menuju perpustakaan.     

"ya terus kenapa Lo melanggar prinsip Lo?" Tanya Rendi kekeuh.     

"prinsip yang mana sih..." Jawab Lisa sebal.     

"Ya Lo itu ya Lis.. pertama sosiopat sejak Lufi pergi. Kedua Lo anti buat ngebantuin orang karena itu bukan urusan Lo. Ketiga Lo enggak bakal menahan orang asing atau tepatnya Lo suruh dia dateng lagi kesini... kenapa.?" tanya Rendi panjang lebar.     

"Lo tahu apa sih Ren.. tentang prinsip hidup Gue." jawab Lisa sambil membolak-balikkan halaman buku yang tadi Ia baca.     

"Ya tapi kan...."     

"Lo bikin halaman baca buku gue hilang." Lisa memotong pembicaraan Rendi.     

Membuat Rendi sebal saja. Tapi tidak ada yang bisa Rendi lakukan karena ini adalah waktunya Lisa membaca. Kalau diganggu bisa-bisa perang dunia lagi.     

Akhirnya Lisa menemukan halaman bacanya. Ia mulai menjadi Ratu lagi bagi Rendi. Ia tidak tersentuh, anggun dan dalam. Yang Rendi lakukan hanya menatapnya dan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Membuat Lisa sesekali memelototinya.     

Tiba-tiba sebuah gawai terdengar berdering. Sebelum itu hampir saja Lisa mengenai kulit mulus Rendi sebagai sasaran cubitan jari-jarinya. Sudah ribuan kali Lisa mengingatkan Rendi untuk men-silent mode kan gawainya saat di dalam toko bukunya. Tapi selalu dilanggar.     

Rendi memang manusia dengan tipe degil mode akut.     

Dia tidak bisa disetir oleh siapa pun. Itulah yang membuat Ia bertahan di samping Lisa bertahun tahun setelah kepergian Lufi.     

Namun Lisa juga sama, adalah manusia degil. Ia menunggu meski tahu Ia tak akan kembali. Bagaimana caranya Lisa bertahan selama ini, memupuk pikirannya dengan harapan-harapan kosong. Mengunci dirinya dari dunia luar. Membiarkan Ia berada pada keterpurukan yang abadi.     

Tawa-tawa di antara tumpukan buku yang tersusun rapi dalam rak. Akan selalu ingat dia.. Bagaimana mungkin Lisa manusia yang punya ingatan ini bisa melupakan yang mustahil dilupakan. Bahkan jika harus menunggu tahun ke 20 ia mungkin akan tetap menunggu. Untuk mendengar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengikatnya untuk menjadi zombi. Manusia setengah hidup.     

Kenapa Ia tiba-tiba pergi, kenapa nomornya tak bisa dihubungi, kenapa dengan wanita yang mengaku adiknya itu mendatanginya dan marah-marah, kenapa ia tak pernah datang lagi di musim hujan. Semua pertanyaan mengungkung Lisa hingga kini.     

Bahkan Rendi yang setia menemaninya pun tak mampu membuka gembok yang Ia simpan entah di mana kuncinya. Seharusnya Lisa tahu rumah yang ditinggal terlalu lama akan usang dan enggan untuk ditempati.     

Maka Lisalah rumah itu. Rumah yang usang sekali. Bertahun tahun pemiliknya tak memberi kejelasan apakah pergi atau akan kembali. Ia membawa serta seisi rumah dan kuncinya. Tanpa pernah peduli bahwa rumah yang semula kokoh pada akhirnya akan roboh.     

Namun rumah itu kini kedatangan seorang pengunjung yang tak sengaja bernaung di teras halaman rumah. Sang pengunjung tertarik untuk masuk ke dalam karena Ia tahu akan sangat dingin jika terlalu lama di luar. Anehnya , rumah yang semula terkunci kini mampu terbuka kembali tanpa sang kunci.     

Sang tamu pun mengucapkan salam, dia mengira di dalam terdapat penghuninya. Nyatanya kosong. Tak ada seorang pun menjawab setiap pertanyaan yang Ia lontarkan. Ia bermaksud tinggal hingga hujan reda, Ia membersihkan debu-debu lalu berbaring pada sebuah kursi dalam rumah tersebut. Yang mengagumkan adalah, sang tamu ini sama sekali tidak risi dengan kondisi rumah tersebut.     

JP, 10 mei 2020.     

Yoso berlari secepat yang Ia bisa. Dalam pikirannya hanya di selimuti kekalutan dan ketakutan. Ia tak menyangka pada apa yang ada di hadapannya tadi. Sebuah tubuh molek gadis yang sangat Ia cintai.     

Tubuh yang lemas dan membiru. Tergeletak di atas rumput bersandarkan akar dari pohon asem. Sementara pikiran Yoso buyar, tak satu pun kejadian sebelumnya Ia ingat.     

Yoso kocar kacir ingin menyembunyikan diri. Rasa bersalahnya menggunung sehingga tak mampu di sembunyikan di mana pun. Dalam malam yang gelap sehabis hujan reda pun, tak mampu membuatnya lebih tenang.     

Larinya pun terhenti oleh rasa lelah kakinya yang hampir lemas. Nafas ngos-ngosan memburu dalam rongga dadanya.     

Tiba-tiba Ia terpikirkan sesuatu. Pikiran liciknya mulai berjalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.     

Keringat mengucur dari seluruh celah pori-pori kulitnya. Ia mengambil nafas panjang. Udara dingin dini hari itu, tak mampu mengalahkan panas hatinya karena gelisah ketakutan. Meski demikian Ia sudah sampai tahap mengalahkannya.     

Ia mulai berjalan perlahan ke arah rumahnya. Bukan. Bukan ke arah pintu depan. Namun ke arah pintu belakang.      

Suasana dini hari yang sepi dan gelap. Tak membawanya kepada rasa takut. Tubuhnya menggigil dan sesekali mencuat melalui getaran bibirnya.      

Derit pintu menyadarkan Ibunya dari tidurnya. Ibunya yang tersadar itu langsung menuju ke sumber suara. Belakang. Ia terkejut mendapati anaknya, Yoso basah kuyup.     

Namun ketika ibunya ingin mendekati Yoso. Yoso malah berteriak marah. Ia lalu pergi berlari menjauh membawa cangkul bahunya.     

Ibunya kebingungan. Ada apa dengan anaknya sebenarnya. Pikirannya di penuhi rasa khawatir. Ia pun menunggu kepulangan Yoso hingga pagi menjelang. Ia masih tertidur di ruang tamu.     

Yoso telah kembali dengan wajah yang segar. Ia juga sudah mandi. Lalu menyapa ibunya.      

Ibunya terkejut. Semalam anaknya berada di belakang rumah dengan tubuh yang menggigil. Semua menjadi serasa mimpi. Apakah sebenarnya memang mimpi? Pikirnya ragu.     

"Kamu yang semalam di belakang itu Le?"     

Dahi Yoso nampak berkerut. Kebingungan.     

"Ngapain buk aku di belakang? Justru aku mau tanya kenapa ibu berada di ruang tamu pagi ini." Tanya Yoso pada Ibunya.     

Ibunya pun semakin bingung tak tahu harus menjawab apa. Sementara dalam benaknya masih percaya bahwa yang Ia lihat semalam itu antara nyata dan tidak.     

Kemudian pembicaraan pun berakhir dengan tanda tanya dalam benak ibunya.     

Sanem yang semalam tak kembali ke rumah membuat keluarganya mencarinya. Terutama Karsin.      

Karsin terpuruk. Ia mencari ke mana-mana namun tak menemukan kekasih hatinya. Banyak yang bilang bahwa Sanem dibawa oleh lelembut. Sehingga jasadnya tak terlihat di mana pun. Namun hingga berbulan-bulan Karsin tak pernah berhenti mencarinya. Meski hanya mendapat nihil.     

Seseorang tak di kenal dengan blangkon di kepala dan berbaju lurik datang ke rumah Karsin. Ketika di tanyak nama Ia tak menjawab. Namun kemudian Ia memberikan informasi yang sedikit membuat tanda tanya untuk benak Karsin.     

"Datang ke gunung Peteng. Buat gubug di sana. Nanti kamu bisa bertemu dengannya." Ucap seseorang itu.     

Karsin yang mendengar ucapan itu pun langsung berdebar kencang. Ia tak sempat menjawab ucapan laki-laki berblangkon itu. Seribu pertanyaan berkumpul dalam benaknya. Dan setelah sadar ternyata laki-laki itu telah pergi entah kemana.     

Akhirnya Karsin pun memutuskan untuk mendatangi Gunung Peteng di pagi buta. Ia berjalan menebas semak demi semak untuk membuat jalan agar mudah ketika nanti pulang.      

Hingga tengah hari datang. Ia tak menemukan apapun. Kecuali pepohonan dan suara binatang-binatang yang saling bersautan.     

Di tengah hutan itu perasaan menyesal pun muncul. Seharusnya tak usah Ia percayai ucapan seseorang yang tidak ia kenal itu. Sehingga Ia tak perlu lelah-lelah datang jauh sampai ke sini.     

Ia merebahkan tubuhnya di rerumputan. Dahan-dahan membuatnya tertutupi dari panasnya sinar matahari. Rindang dan sejuk sekali. Angin silir berhembus sepoi-sepoi akhirnya membuatnya terlelap.     

"Mas.... Mas...Mas...!" Ucap suara gadis yang sangat Ia kenal membangunkannya.     

Karsin pun perlahan membuka matanya. Benarkah Sanem sudah kembali? Benarkah ini bukan mimpi?     

Karsin terperanjat. Tubuh Sanem benar-benar nyata berada di hadapannya sekarang. Sekejap langsung Ia memeluknya. Air matanya berlinang. Tak kuasa menahan rindu dan gelisah yang selama ini menyelimutinya.     

"Kamu dari mana saja sayang?" Tanya Karsin pada sosok Sanem yang kini Ia peluk.     

Karsin pun melepas pelukannya. Ia mengusap wajah cantik bidadari hatinya itu. Kerinduannya seketika tumpah ruah di hadapannya.     

Namun Sanem hanya terus tersenyum. Wajahnya sayu tak seperti biasanya yang ceria san tegas.     

"Kenapa San... apa kamu tidak merindukanku?" Tanya Karsin.     

Sanem menggeleng. Ia menunduk. Seolah ada ribuan kata yang tertahan dalam mulutnya. Air matanya mulai berlinang dari pipinya.     

"Ada apa sayang? Kamu sudah kembali. Aku akan melindungimu mulai sekarang.apa yang membuatmu takut?" Cerca Karsim sambil mengusap air mata di pipi Sanem.     

Sanem memalingkan muka.     

"Kita tidak bisa bersama Mas." Ucap Sanem tiba-tiba.     

"Maksud kamu? Maksud kamu apa?" Karsin tak mengerti dengan yang di maksudkan oleh Sanem.     

Sanem hanya terdiam.     

"Apa ada yang datang meminangmu? Sehingga kamu memilih dia daripada aku?" Tanya Karsin pada Sanem.      

Namun Sanem tak memberinya jawaban. Sehingga Karsin pun berimajinasi sendiri.     

"Apa kamu merasa bersalah padaku? San. Aku akan melepaskanmu jika memang kamu memilih dia. Aku tidak ingin kamu seperti ini. Pergi dari rumah dan membiat semua orang khawatir. Aku tidak ingin kamu terbebani oleh perasaa ku. Pilihlah siapa yang orang tuamu pilihkan. Aku tahu banyak sekali yang lebih baik daripada aku yang biasa saja ini. Namun San, aku yang biasa saja ini begitu mencintaimu sampai tak ingin kamu merasa terbebani oleh besarnya cintaku padamu. Aku akan membiarkan mu bahagia dengan siapa pun. Asalkan dia bisa membahagiakanmu." Tutur Karsin panjang lebar berusaha membuat hati Sanem tenang.     

Namun Sanem malah tertawa terkikik.     

Membuat dahi Karsin pun berkerut. Apanya yang lucu?     

"Apanya yang lucu?" Ucap Karsin. Suara kikikan yang tak pernah Ia dengar sekalipun dari suara Sanem yang selama ini Ia kenal.     

"Bukan itu Mas. Seseorang telah memperkosaku malam itu." Sanem lalu terdiam. Sementara Karsin membelalakkan mata menunggu Sanem melanjutkan kata-katanya.     

"Dia adalah Yoso. Aku tidak bisa bersamamu karena aku telah berada di dunia lain. Kalian tak akan bisa menemukanku di dunia ini. Jadi hiduplah damai. Jangan mencariku lagi. Semua sudah berakhir. Aku tidak bisa membalasmu. Aku hanya bisa memandangmu dari tempat yang tak terlihat olehmu. Selamat tinggal Mas. Semoga kamu cepat mendapatkan gantiku." Ucap Sanem yang membuat Karsin ternganga tak mampu membalas ucapannya walau sekata. Tangannya mengepal. Ia inginmarah semarah-marahnya.     

Kemudian Sanem pun perlahan menghilang menjadi udara. Ia tak terlihat di mana pun. Karsin mulai panik. Ia mulai memanggil-manggil nama Sanem. Ia berteriak sekaras mungkin agar Sanem kembali. Ia menangis. Ia meronta. Ia merengek.Ia menginginkan kekasihnya kembali. Ia masih tak bisa mengerti dengan kejadian yang menimpanya saat ini.     

"SANEM! SANEM! SAN...! SAN! KAMU DIMANA? JANGAN PERGI! JANGAN PERGI SEPERTI INI! JELASKAN PADAKU. SAYANG KEMBALI! KUMOHON! SANEM!"     

Namun tak ada yang berubah kecuali akhirnya matanya terbuka. Dan seluruh pandangannya hampir berwarna hijau."Maksud mu dengan kata membunuh apa nak?" Tanya ayah Yoso pada Karsin.     

Nampak wajah cemas namun pasrah dari wajah kedua orang tua Yoso. Mereka mumgkin tak pernah menduga bahwa hari seperti ini akan tiba.     

"Apakah karena itu, sehingga anakku di buat menjadi gila?" Tanya ibu Yoso tiba-tiba.     

Dahi Karsin berkerut. Apa maksudnya gila? Ia sama sekali tak tahu menahu tentang kenyataan itu.     

"Apa kamu tidak tahu nak? Yoso anak kami menjadi tidak waras sudah hamir dua bulan ini." Tiba-tiba wanita tua di hadapan Karsin itu membuat pernyataan yang mengejutkan.      

"Maksud anda apa? Saya tidak mengerti." Ucap Karsin.     

"Semua orang kampung sudah tahu. Apa kamu pura-pura tidak tahu?"     

Tiba-tiba Karsin teringat dengan orang gila yang Ia temui saat menuju ke sini. Apakah sebenarnya itu adalah Yoso?      

Karsin menunduk. Ia tak bisa lagi menjelaskan apa pun. Dalam benaknya kacau. Apakah ini adalah perbuatan Sanem sebagai balas dendam. Dan Ia harus menukar kehidupannya dengan dunia lain? Tapi kenapa? Kenapa dia lebih memilih dunia lain? Bagaimana dengannya yang di tinggalkan. Sementara Karsin tidak.mengerahui kebenarannya bahwa Sanem sudah meninggal dunia.     

"Ceritakan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi nak,?" Bujuk Ayah Yoso kepada Karsin.     

Meski ibu Yoso terlihat ada sorot marah padanya. Namun berbeda dengan Ayah Yoso. Ia tampak lebih tenang dan bugar.     

Karsin kemudian menatap ayah dan Ibu Yoso secara bergantian.     

Ia lalu bercerita perjalanan panjang yang Ia lakukan selama dua bulan ini. Di waktu terakhir kali Ia bertemu dengan kekasihnya Sanem hingga pada akhirnya Sanem di nyatakan hilang oleh keluarganya.     

Ia mencari kemana pun tempat yang biasa Sanem datangi. Namun tak di yemukan satu pun tempat yanh di duduki Sanem saat itu. Ia juga menanyakan seluruh kerabat, baik dekat maupun jauh Sanem. Namun masih juga nihil. Kemudian Ia juga mencari di rumah teman-temannya. Namun tak satu pun mengatakan bertemu dengan Sanem. Beberapa hari atau bulan terakhir.      

Karsin tak putus asa. Ia juga menemui orang pintar. Sebagian mereka mengatakan Sanem masih hidup namun sebagian mereka mengatakan Sanem sudah mati. Sehingga kesimpulan dari semua jawaban adalah omong kosong menurut Karsin. Bukan membawa malah membawa keraguan.      

Sampai akhirnya Karsin di datangi oleh seorang laki-laki yang memakai blankon. Setidaknya itulah yang paling Karsin ingat.     

Laki-laki itu mengatakan bahwa Sanem berada di hutan Gunung Peteng. Karsin seebenarnya tidak benar-benar percaya. Namun tetap saja kakinya tidak berhenti melangkah untuk mencari Sanem, pujaan hatinya.     

Akhirnya Karsin pun sampai.di jantung hutan. Namun bukannya menemukan Sanem Ia malah kelelahan lalu tertidur di atas rerumputan. Di situlah akhirnya Ia bertemu dengan Sanem.     

Dalam dunia tidurnya.      

Ia bertemu dengan Sanem di alam bawah sadarnya. Sanem mengatakan Yoso lah pelakunya. Ia juga mengatakan tidak bisa kembali ke dunia ini karena Ia telah memilih dunianya yang sekarang.      

Awalnya Karsin juga tidak percaya jika mimpi itu benar adanya. Artinya sukma Sanem benar-benar datang ke mimpinya sampai pada saat Ia mendapatkan kesadaran dari tidurnya sebuah baju yang terakhir kali di pakai oleh sanem berada dalam genggamannya. Di situlah Karsin mulai percaya, Sanem benar-benar nyata berada dalam mimpinya.     

"Saya benar-benar tidak tahu kabar bahwa anak anda kehilangan kewarasannya. Saya terlalu sibuk mencari Sanem. Sampai saat saya tiba di sini perasaan saya masih hancur. Bagaimana mungkin kekasih saya bisa meninggalkan saya dengan cara seperti itu. Saya marah. Saya sangat ingin memukul anak anda. Saya ingin membalas dendam saya ingin tahu bagaimana caranya dia membunuh seorang wanita yang lemah. Tapi saya, saya tidak bisa melakukannya terhadap orang yang sudah kehilangan kewarasannya. Saya tidak tahu harus melampiaskan ke siapa kemarahan ini." Karsin menangis tersedu-sedu. Air mata mengucur dengan deras. Begitu pun kedua orang tua Yoso. Mereka tampak begitu dalam sedihnya. Semakin dalam mengetahui fakta mengerikan di balik peristiwa yang menimpa anaknya.     

"Nak... kami benar-benar ikut berduka atas apa yang menimpa kekasihmu. Anak kami sudah menanggung dosanya. Kami bahkan merasa tidak berhak meminta maaf kepadamu." Ucap Bapak Yoso kepada Karsin.     

Sepulang Karsin pulang dari rumah Yoso Ia telah kehilangan semangat dan juga harapannya. Baginya hidup ini hanya datar saja. Tak ada harapan tak ada kemauan.      

Karsin kemudian memutuskan untuk hidup di hutan di mana Ia tertidur kemarin. Ia membangun sebuah gubug di sana sendirian. Sebelumnya tidak ada yang menegtahui. Namun lama ke lamaan dan hingga kini Ia tua, masyarakat telah hafal bahwa Karsin lah penghuni hutan gunung Peteng.      

Untuk memenuhi kehidupannya Ia hanya perlu bergantung kepada alam. Selebihnya Ia berburu ke hutan yang lebih dalam untuk mendapatkan hewan buruan yang laku Ia jual di pasar.     

Bertahun-tahun Karsim berhasil menjalani kehidupan sebatang karanya di hutan Gunung Peteng.      

Ayah merasa Iba mendengar seluruh cerita Mbah Karsin. Mbah Karsin yang kini sudah renta namun masih terlihat kuat itu harus menjalani  hidup sebatang kara karena pilihannya sendiri.     

"Apa tidak berniat untuk kembali Mbah. Mungkin sudah takdir Sanem harus mengalami dan memilih hidup demikian. Tapi bukankah yang hidup harus tetap melanjutkan hidup. Sanem pasti sedih jika melihat kehidupan Mbah sekarang."     

Mbah Karsin tampak terdiam dengan ucapanku.     

"Dia tidak berhak sedih setelah memilih hidupnya sendiri. Dia tidak berhak." Mbah Karsin lalu bergegas keluar dari gubuk.      

Angin malam berhembus kencang dari luar. Memasuki seluruh ruangan melalui pintu yang di buka oleh mbah Karsin. Mbah Karsin nampak menyalakan kretek yang tertancap di mulutnya. Ayah yang masih belum bisa menahan dingin pun tetap berdiam di ruangan yang terbuat dari papan itu.     

Tingkah Mbah Karsin mungkinadalah sebuah bentuk dari rasa kecewany pada pilihan Sanem. Sehingga pelampiasannya yang bisa melegakan hatinya hanyalah hidup seorang diri di tempat terakhir kli Ia bertemu dengannya.      

Keyakinan mbah Karsin akan keberadaan Sanem membuatnya memutuskan agar menetap dan hidup seolah berdampingan dengan makhluk tak kasat mata itu.     

Ayah bisa saja menghiburnya. Tapi dari pada menghiburnya, sepertinya Ia lebih butuh untuk di hibur. Jika perihal ketegaran. Mbah Karsin adalah manusia paling tegar yang Ia temui sepanjang hidupnya.     

Sementara dirinya berada di sini berkat rasa ke putus asaannya. Sehingga jalan ini lah yang ayah pilih. Berharap semuanya segera membaik dan kehidupan bisa lebih sedikit normal.     

Tiba-tiba Ia teringat dengan kepala rusa yang Ia butuhkan. Ia lalu memaksa diri untuk beranjak dari ranjang bambu itu. Bunyi reotnya pun terdengar nyaring.     

Ahh.. kakinya terasa kaku di sana sini. Ia meniup-niup jemarinya supaya sedikit lebih hangat. Ia menyusul Mbah Karsin keluar. Namun yang Ia temukan adalah sesuatu yang berdarah-darah.     

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.