51.CINTA TAK SEMESTINYA
51.CINTA TAK SEMESTINYA
Makassar.
Beberapa tahun yang lalu aku berada di Makassar. Kurang lebih 5 tahun aku di sana. Majikanku berpindah tugas. Sehingga aku juga mengikuti kepindahannya. Pada saat itu sedang terjadi perang konflik perbatasan di Timor-timir. Memang di perbatasan sana sering terjadi konflik.
Anak dari majikanku menjadi seorang tentara. Mengikuti jejak ayahnya. Ia pun menjadi seorang tentara. Aku yang menjadi pengasuhnya sejak saat itu, aku diajaknya untuk ikut menjadi oerawat di sana. Aku memang sedekat itu dengannya. Aku pun menyanggupinya. Dia menyuruhku menjadi perawat saat di tendanya.
Tanpa tahu apa yang akan aku hadapi kelak. Aku bersiap untuk berangkat bersamanya menggunakan hely. Itulah pertama kalinya aku menaiki kendaraan udara. Ku kira naik hely akan lebih menyenangkan daripada naik mobil. Ternyata lebih tidak menyenangkan dari naik traktor milik pak Bayan. Ketika hely melewati sebuah awan hitam. Seluruh awak akan bergetar hebat dan membuat seisinya juga ikut bergoyang menikmati getarannya.
Sampailah aku di Barak. Anakku membantuku turun dari hely. Dia yang memberiku seragam perawat terlihat senang aku menemaninya. Ku lihat tenda itu berwarna hijau tua. Terlihat kecil namun ternyata begitu besar. Saat memasukinya aku di pertemukan dengan perawat-perawat lain. Mereka terlihat cantik-cantik dan profesional.
Dengan suara keras majikanku itu memerintahkan aku untuk hanya merawatnya. Tak boleh Ia merawat pasien mana pun. Semua orang di sana terlihat diam tak membantah. Aku lalu duduk di sisi yang lain dengan kikuk. Mereka terlihat berusaha ramah kepadaku. Aku menimpalinya.
Di sana aku melihat orang-orang berseragam loreng di mana-mana. Mereka berdiri tegap di antara rerumputan dengan membawa senjata. Wajahnya dicoret-coret. Tanda mereka siap berperang kapan pun juga.
Tiba-tiba aku mendengar sebuah tembakan yang sangat keras. Itu adalah suara dari tempat yang tidak jauh. Lalu setiap dari mereka mulai riuh memberi aba-aba dan komando. Para perawat pun bersikap siaga. Sementara aku, tanpa sadar jemariku bergetar. Aku tidak tahu bahwa aku akan mempunyai serangan panik dalam keadaan seperti ini. Tak ada yang menyadari memang. Aku tak ingin membuat keributan.
Suara tembakan terdengar lagi. Dan sekarang tembakan itu terdengar berulang-ulang. Namun dengan jeda yang tak bisa di perhitungkan. Kemudian tembakan demi tembakan tak bisa di perhitungkan lagi. Dengan cepat terus berbunyi. Desingan demi desingan menimbulkan hati siapa pun yang mendengar akan mencelos panik. Dan tiba-tiba suara itu pun padam.
Suara gedebuk terdengar berbunyi. Salah seorang perawat membuka pintu tenda. Iaa berteriak ada korban. Dengan cepat mereka membuka peralatan. Suara gedebuk itu semakin dekat. Ternyata seseorang di papah dengan tandu ke arah kami. Aku mengenali wajah itu. Itu adalah majikanku.
Tanganku bergetar hebat melihat darah di mana-mana. Aku bahkan meneteskan air mata tanpa aku sadari. Seseorang yang melihatku. Langsung menarikku dari perawat-perawat itu. Ia menutupiku dengan tubuhnya agar aku tak melihat darah itu lagi. Dia memelukku. Terasa tubuh kekar itu mendekap tubuhku yang bergetar hebat.
Aku bahkan tidak berpikir untuk menanyakan apa yang sedang di lakukan laki-laki ini kepadaku. Tidak tahu wajahnya dan tidak tahu namanya. Aku kehilangan kendali atas diriku sendiri. Entah berapa lama aku terbangun dari tidurku. Ku lihat anak majikanku sudah duduk di sampingku. Aku berusaha duduk tegap namun kepalaku terasa pusing. Ia juga mencegahku.
Kulihat perban menempel di mana-mana pada tubuhnya. Di kepala, di lengan, di betis. Ya Tuhan. Aku meringis membayangkan betapa sakitnya yang ia rasakan saat itu.
"Aku tak apa-apa San." Ucapnya. Aku menunduk malu. Menyesal pada kondisiku.
"Seharusnya kamu bilang kalau kamu punya serangan panik." Ucapnya lagi. Dan aku masih terdiam.
"Aku menyesal membawamu kemari. Maafkan aku yang bodoh ini." Ia terlihat murung. Tentu saja aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Mas... aku yang minta maaf. Seharusnya dari awal ku katakan pada Mas Aden tentang kondisiku. Tapi aku bahkan tidak mempertimbangkan tempat seperti apa hang akan aku datangi. Aku terlalu ceroboh. Maafkan aku Mas. Sekali lagi." Aku merasa menyesal atas kebodohanku di hadapannya.
Meski pada akhirnya dia menggeleng tetap menyalahkan dirinya.
"Ibu sama Bapak pasti marah sama Aden." Ucapnya lagi.
"Ndak Mas, nanti Santi yang akan menjelaskan kepada mereka." Aku berusaha menghiburnya. Hanya itu yang aku bisa.
Sesampainya di rumah kedua majikanku memarahi anaknya yang kini pulang penuh luka itu.
Aku mendorong Mas Aden yang hanya mampu berjalan dengan kursi roda. Kaki, lengan dan kepalanya berbalut perban. Saat Ibu sapaku untuk ibunya membukakan pintu terlihat begitu khawatir menatap kondisinya. Namun kemudian Ia menatap lain ke arahku. Sementara Bapak, yaitu ayahnya hanya memperlihatkan ekspresi datar kepadaku.
Biasanya sikap mereka tak demikian. Mereka adalah orang non muslim pertama yang aku kenal. Dan bersikap sangat baik. Tak ada celah. Mereka mem0erlakukanku selama aku di sini bertahun-tahun seperti keluarga sendiri. Namun kemudian aku melihat sisi lain dari mereka kali ini.
Pintu kamar Mas Aden sedikit terbuka. Suara gema perdebatan terdengar semakin keras ketika aku semakin dekat dengan pintu kamarnya. Sebenarnya aku hendak menuju ruang tamu untuk membersihkan meja. Namun aku berhenti di sana.
Aku hanya melihat punggung ibu dari secuil pintu yang terbuka itu. Ia berdiri dengan meli0at tangannya. Lalu disisinya adalah Bapak. Dan yang pasti di depan mereka adalah Mas Aden. Mereka terdengar seperti memarahi anak bujangnya itu.
"Kamu membahayakan nyawa warga sipil Den!" ujar Bapak.
Tidak ada jawaban apa pun dari Mas Aden.
"Sebenarnya motivasi kamu itu apa! Kamu pikir medan perang itu area mainan? Kamu yang benar saja kamu itu." Tukas Bapak lagi.
"Kenapa kamu ajak si Mba sayang? Itu kan bahaya?" Ibu mulai menimpali.
"Ya karena aku ingin membawa Mba keluar. Enggak di rumah melulu pah mah" Jawab Mas Aden. Aku mengerutkan dahi. Kenapa juga Mas Aden memikirkanku sejauh itu. Pikir benkku.
"Kamu pikir alasan itu masuk akal?" Bentak ayahnya lagi.
"Kamu suka sama Mba?" tanya ibu tiba-tiba membuatku terkejut. Namun hanya mampu melotot dalam diam.
"Benar-benar kamu ya Den. Aku itu didik kamu tinggi-tinggi bukan untuk menyukai pembantu." Ucap Bapak. Yang dengan sadar hatiku begitu tergores. Ternyata selama ini strata begitu melekat di pikiran mereka. Dan hanya pikiran sepihakku saja yang merasa bahwa mereka adalah orang yang sejajar denganku.