PERNIKAHAN TANPA RENCANA

52.BAHAN TERTAWAAN



52.BAHAN TERTAWAAN

2"Iya. Lalu kenapa? Apa yang salah dari mba Santi. Dia baik. Dia merawatku dengan tulus selama ini. Sementara mamah sama papah, kalian hanya memikirkan pekerjaan, kolega, sosial. Kalian hanya pintar mengaturku ini dan itu. Memaksaku harus begini harus begitu. Kalian tidak tahu apa yang aku butuhkan."     

Tadi aku terkejut dengan ucapan Bapak mengenai statusku sebagai pembantu. Dan sekarang aku lebih terkejut dengan jawaban Mas Aden. Tidak mungkin. Tidak boleh. Apa pun yang terjadi aku dan mas Aden tidak boleh lebih dari pembantu dan majikan. Aku mengusap air mataku dan segera berlari ke dapur. Kudengar pintu kamar di buka. Mas Aden pasti bergegas pergi setelah perdebatan itu.     

Aku datang ke rumah mereka saat di Jakarta dulu ketika usiaku lima belas tahun. Dalam usia itu aku telah merantau ke Jakarta. Di kampung, seusia itu sudah punya anak. Dan aku benar-benar tidak tergiur dengan pernikahan dini.     

Ketika itu Simbok memaksaku untuk menikah. Namun satu dan lain hal peristiwa yang menimpaku sehingga aku memutuskan untuk tidak menikah. Akhirnya aku pun memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dan aku berakhir di rumah Mas Aden.     

Saat itu Mas Aden berusia sepuluh tahun. Sementara aku berusia lima belas tahun. Selisih usia kami tidak terlali jauh. Namun aku yang di didik dengan mandiri sehingga sehala hal yang orang dewasa lakukan aku sudah terlatih dan paham. Hal itu lah yang membuat ibu dan bapak mengangkatku menjadi pembantu.     

Berjalan hampir sepuluh tahun tidak ku sangka harus mendengar penuturan menyedihkan dari mulut mereka senidiri. Hal itu membuatku begitu sakit hati. Dan ingin segera memutuskan hubungan kerja dengan rumah ini.     

Aku membuat segelas susu. Minuman yang rutin ku buatkan saat malam tiba untuk Mas Aden sebelum ia tidur. Terlihat punggungnya tertutup oleh sandaran kursi roda. Ia menatap langit malam dengan serius. Sampai tidak menyadari kedatanganku.     

"Mas..." Ucapku. Dia nampak terkejut. Lalu menoleh ke belakang. Ke arahku.     

Dia terlihat diam namun kemudian mendekatiku.     

Dia memelukku tanpa turun dari kursi roda. Aku berusaha melepaskan pelukannya. Ia terkejut. Mungkin ia menyadari, tidak biasanya aku seperti ini. Sikap baikku kepadanya di salah artikan. Sehingga aku harus memperjelas semuanya agar Mas Aden tidak jatuh terlalu jauh.     

"Mas .." Aku menunduk menatapnya. Aku menjadi teringat dia adalah bocah yang dahulu ku rawat. Aku tak mungkin memiliki perasaan semacam perasaannya sekarang padaku.     

Aku memegang kepalanya lalu mengusapnya dengan lembut. Kuusap pipinya, kuusap telinganya dan kuusap rambutnya yang halus. Dia hanya diam menikmati setiap sentuhan dari tanganku.     

"Mas inget nggak dulu mba pas pertama dateng ke sini?" tanyaku. Ia mengangguk.     

"Mas kaya ndak mau kenal ya sama Mba..." ucapku sambil tertawa kecil.     

"Kan malu mba.. "Jawabnya polos.     

Aku mengangguk. "iya aku tahu."     

"Tahu ndak Mas kalau dulu mba kesini ndak bawa apa-apa. Cuma badan doang." Dia terlihat menggeleng. "Iya. Tapi tahu ndak? Mamah sama papah Mas tetep nerima Mba dengan senang hati dan tulus. Kalau di suruh ganti kebaikan mereka itu aku ndak mampu mas." Ucapku panjang membuat Mas Aden mengerutkan dahi.     

"Mba Santi ini mau ngomong apa sih sebenernya." Tukas Mas Aden kesal.     

"Sampai kapan pun Mas Aden itu tetap menjadi majikan mba, bocah yang dulu mba rawat dan kinj sudah pintar melindungi negaranya. Mba bangga sama mas. Jadi jangan bikin mba kecewa ya.." ucap ku sambil mengusap rambutnya sekali lagi.     

Mas Aden mendorongku. Aku hanya pasrah. Sudah ku perkirakan ini yang akan terjadi.     

"JADI MBA SANTI BERPIKIR AKU INI MASIH BOCAH? BERPIKIR KALAU AKU NGGAK BISA JADI LAKI-LAKI YANG SEPADAN!" dia mulai marah dan meninggikan suaranya.     

"Bukan begitu Mas." Jawabku lemah.     

"AH SUDAHLAH! AKU NDAK MAU DENGAR APA-APA. KELUAR SANA!" Mas Aden mengusirku. Dan aku hanya menuruti semua perintahnya. Keluar dari kamarnya aku menghela nafas. Kemudian aku kembali ke dapur untuk mempersiapkan acara untuk besok.     

Besok adalah acara syukuran untuk Mas Aden. Ya kira-kira tamu yang akan datang bukanlah tamu sembarangan. Tetapi tamu dengan seragam loreng.     

Pagi sekali semua masakan sudah siap. Gelas dan piring juga sendok sudah tertata di atas mejanya. Kudapan-kudapan juga menghiasi atas meja. Dan yang paling penting adalah minuman beralkohol yang tampak mewah dengan gelas cantiknya.     

Ibu mengatur semua tata letaknya. Ia mengabaikan permasalahan yang terjadi di antara kami. Sebenarnya perang dingin sedang terjadi pada masing-masing hati kami. Namun aku hanyalah abdi yang harus terus patuh pada majikannya.     

Datanglah tamu satu persatu. Aku menunggu aba-aba dari ibu untuk mengeluarkan teh saat tea time tiba. Ibu memberiku aba-aba waktunya telah tiba. Aku pun keluar dengan membawa nampan berisi cangkir-cangkir teh. Seperti yang diinstruksikan aku harus menaruhnya di atas meja. Di tengah-tengah mereka duduk.     

Aku menunduk karena malu dan tentu saja grogi. Seolah semua mata memandangku. Tiba-tiba saja tatapanku beradu dengan seseorang berbadan sangat besar dan berkulit gelap. Sangat gelap serta matanya yang membelalak lebar. Hidungnya yang besar serta bibirnya yang begitu tebal.     

Saat itu juga tanganku gemetaran dan nampan yang ku pegang menjadi tak seimbang. Semuanya menjadi kacau dan terjatuh ke lantai. PRAANKKKK...     

Semua mata memandang ke arahku. Aku terduduk. Dan tak tahu mengapa air mata mengalir dengan mudahnya. Aku malu sekaligus ketakutan. Ibu segera menghampiriku. Ia memelukku. Mengusap-usap kepalaku dan bertanya sebenarnya apa hang terjadi padaku. Namun aku masih terus menangis seolah lidahku kelu untuk menjelaskan kepadanya.     

Bapak pun ikut menghampiriku. Ia lalu berjongkok. Dan bertanya kepadaku juga. Aku menatapnya ku pikir tangis ku sudah reda. Aku lalu menjelaskan alasanku dengan berbisik. Terbukti, dsri semula tidak apa-apa tiba-tiba saja tanganku beegetar dan pikiranku kacau. Beruntung mereka begitu ramah dan baik hati. Sehingga tak merasa terbebani dengan peeilaku memalukanku tadi.     

"Aku takutttt Pak... sama mereka.." Wuahahhahaha sontak tawa Bapak menggelegar ke seluruh ruangan yang semula hening. Semuanya pun merasa penasaran. Tanpa aba-aba Bapak pun lalu semakin menggodaku.     

"OALAH SANTIIII, Kamu itu hidul kok tahunya Cuma cabe sama beras ya ketemu sama orang luar takut." Ucap Bapak.     

"Oh jadi gemeteran melihat kami?" Ucap salah satu dari mereka sontak semua orang pun tertawa. Dan suasana pun menjadi riuh kembali. Ibu mengantarku masuk ke kamar. Ia lalu menawariku untuk lanjut atau tidak. Aku menggelengkan kepala. Kubilang aku kana menyelesaikan semuanya saat mereka semua pulang. Ibu pun mengangguk. Ia mudah mengerti apa yang ku alami saat ini.     

Baru kali ini aku melihat ada orang semengerikan itu. Meski tak bermaksud menghina, namun fisikku tetap lebih jujur berkata ketimbang mulutku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.