PERNIKAHAN TANPA RENCANA

57.SEBUAH ALASAN



57.SEBUAH ALASAN

2Aku terbangun tengah malam. Kukira semua orang sudah tidur. Ternyata Mas Sardi masih asik dengan     

cerutunya. Menatap kosong ke arah pintu yang tertutup. Aku berusaha menyapanya untuk basa     

basi.     

"Belum tidur mas." Dia hanya menoleh ke arahku. Aku pun tidak begitu peduli dengan     

tanggapannya. Aku hanya membutuhkan segelas air lalu kembali tidur.     

Setelah kubasahi tenggorokanku aku bergegas ke kamar lagi. Malasnya harus lewat di depan kak     

Mas Sardi lagi. Namun apa boleh buat. Aku melewatinya tanpa sepatah katapun. Namun tiba-tiba hal tak     

terduga muncul. Suara bariton Mas Sardi terdengar oleh telingaku.     

"San. Duduk dulu sini." Titahnya.     

Aku menghentikan langkahku. Ia nampak mematikan cerutunya. Wajahnya berubah menjadi serius.     

Aku menghampiri bangku didepannya. Ku tatap dia dalam remang-remang lampu sentir. Dia semakin     

serius. Tiba-tiba kata-kata keluar dari mulutnya. Kata-kata paling tidak masuk akal ku terima oleh     

telingaku.     

"Menikahlah. Umurmu itu tak mau lagi menunggu." Ucap Mas Sardi.     

Menikah adalah urusanku. Dan todak pernah mungkin menjadi urusan Mas Sardi. Kenapa tiba-tiba     

dia begini. Dia tidak pernah mau andil dalam urusan hidupku. Kenapa tiba-tiba dia mau ikut campur     

dengan siapa jodohku. Ini pasti pertanda buruk. Batinku terus mengatakan bahwa ini pertanda     

buruk.     

"Kenapa tiba-tiba mas membicarakan masalah pernikahan." Tanyaku baik-baik.     

"Apa aneh?" Tanyanya.     

"Ya. Sangat sangat aneh sekali." Jawabku sSantokit khawatir.     

"Seorang kakak yang kelak menjadi walimu aneh ketika ingin menjodohkanmu?"     

Seketika aku mendongakkan kepala. Aku menatapnya lekat-lekat. Marah. Kalimat yang barusan Ia     

ucapkan itu mengusikku. Aku benar-benar tidak menyukainya.     

"Jodoh? Kenapa tiba-tiba mas ikut campur tentang siapa jodohku." Tanyaku geram.     

"Aku ini walimu. Ingat? Aku yang nanti bersalaman dengan calon suamimu saat menikahimu." Cerca     

Mas Sardi.     

"Aku tahu. Tapi bukan berati Mas bisa mengatur dengan siapa aku harus menikah kelak." Ucapku     

membantahnya.     

"Kenapa tidak?"     

"Sampai kapanpun mas tidak berhak mengatur pernikahanku."     

Aku berlalu menuju kamarku dan meninggalkan Mas Sardi.     

Malam pun berlalu.     

"Pokoknya aku enggak mau di jodohin Mbok!. Nggak mau." Ucapku pada Simbok yang sedang masak     

untuk sarapan.     

"Kan belum lihat orangnya Nti. Kok buru-buru enggak mau." Jawab Simbokku santai.     

"Ya mau sudah lihat atau belum, Aku enggak mau diatur-atur sama Mas Mas Sardi." Ucapku kekeh.     

"Memangnya kenapa? Itukan mas sulungmu. Artinya walimu kelak. Masmu itu ibarat pengganti     

bapakmu. Kamu ini ya kenapa?" Jawab Simbok lagi.     

"Mbok Santi ini curiga ada sesuatu dibaliknya." Aku melirik mbak Mba Ranti yang ada di sebelah dia pasti     

dengar dengan jelas percakapan kami. Tapi aku berusaha tisak memedulikannya.     

"Curiga apa to Nti. Kamu itu ada-ada aja pikirannya."     

"Hlah siapa tahu mas itu udah nggak mau lihat santi di sini makan enak, jadi enggak mau nanggung     

Santi lagi." Sontak pernyataanku ini membuat mbak Mba Ranti berdehm dan Simbok menatapku dengaan     

heran. Lalu keduanya menggeleng.     

"sudah-sudah. Masih pagi sudah rSimbokt saja. Itu atur meja makan." Suruh Simbok.     

Aku pun menghela nafas dengan malas. Dan meninggalkan mereka.     

Berbulan-bulan berlalu. Mas Sardi tak pernah lagi membahas tentang perjodohan. Tapi Dia tidak     

pernah sepatah kata pun mengucap kepadaku. Lebih tepatnya Dia bungkam. Dia tidak pernah     

melihat keberadaanku sekalipun aku berusaha menjalankan tugasku.     

Aku membanting sapu. Simbok yang sedang mengupas singkong pun ikut terkejut.     

"Mbok. Ayo kita pulang ke Jawa." Ucapku kesal.     

"Kenapa lagi San.." tanya Simbok yang sudah hafal gelagatku.     

"Enggak betah aku di sini. Hidup sama keluarga bisu."     

"Mulutmu itu kanapa to San!" Simbok tiba-tiba membentakku.     

"Lah memang iya mbok. Enggak tahu ya rasanya didiemin sampe sebulan." Ucapku.     

"Ya seharusnya kamu intropeksi diri. Salahmu apa."     

Aku terdiam. Mungkin gara-gara malam itu. Sehingga Mas Sardi kecewa dan tidak menegurku sama     

sekali hingga kini.     

"Ya apa salahku. Wong Cuma nggak mau dijodohin." Ucapku.     

"Ya bukan kamu yang salah. Mas mu malah merasa bersalah. Mungkin saja. Jadi terlihat ndak guna     

jadi pengganti bapakmu."     

Sontak kalimat Simbok membuatku tertegun. Apa benar sampai sedalam itu perasaan Mas Sardi. Sehingga     

dia benar-benar kecewa sama dirinya sendiri.     

Sore ini pekerjaan sudah selesai. Aku seperti biasa merapikan peralatan lalu membersihkan bekas-     

bekas sawit yang tercecer. Sementara Mas Sardi nampak serius berbicara dengan Santo di bangku.     

Mereka tak menghiraukan aku sama sekali.     

Selesai semuanya aku segera menuju ke belakang. Ku dengar sayup-sayup bahagia dari Simbok dan Mba     

Mba Ranti. Aku menghampiri mereka. Mba Mba Ranti yang semula bahagia nampak menjadi diam ketika aku     

datang. Dia pun segera pergi. Itulah yang aku alami hampir sebulan ini.     

Aku yang mendapat perlakuannya mulai terbiasa. Tiba-tiba Simbok menghampiriku.     

"Bejo katanya di terima di kedokteran di jakarta." Ucap Simbok padaku sambil tersenyum bahagia.     

Dahiku mengernyit.     

Tentu saja aku bahagia sepupuku akan menjadi dokter. Tapi bukankah itu akan memakan biaya     

banyak? Puluhan bahkan ratusan juta.     

Dari mana Mas Sardi akan mendapatkan uang sebanyak itu.     

Kecuali jika harus jual tanah. Tapi itu tidak mungkin untuk menutupi. Sebab harga tanah saja sedang     

murah-murahnya. Aku ikut tersenyum dengan kabar gembira itu. Akhirnya anak satu-satunya Kak     

Mas Sardi sukses juga. Aku memandang wajah Mas Sardi dari jauh. Nampak raut tak biasa, antara senang     

dan khawatir.     

Malam ini aku sengaja menghampiri Mas Sardi. Aku tahu mungkin Simbok dan Mba Ranti belum tidur.     

Tapi aku benar-benar penasaran dengan kabar si Bejo sepupuku itu. Dan aku juga penasaran dengan     

raut wajah Mas Sardi sore tadi.     

"Mas." Sapaku lalu duduk di kursi hadapannya.     

Dia tidak menjawab namun menatapku. Masih sSimbokk dengan cerutunya.     

"Aku ikut seneng mendengar kabar Bejo. Tapi kenapa Mas malah terlihat khawatir." Tanyaku.     

Mas Sardi membuang asap ke udara. Ia lalu menaruh cerutunya ke asbak di meja. Ia masih diam.     

Tatapan dalamnya terkadang membuatku susah bernafas. Sesak sekali jika dia menatap tanpa arti     

begini.     

"Iya. Tapi kamu pasti tahu biaya kedokteran itu nggak murah." Jawab Mas Sardi.     

Aku mengangguk. Benar sekali tebakanku.     

"Lalu apa rencana Mas." Tanyaku lagi.     

Namun Mas Sardi bungkam dan kembali menyesap cerutunya. Aku masih menatapnya penuh harap     

akan jawabannya.     

"Satu-satunya yang bisa membantuku ya kamu dek." Ucap Mas Sardi pelan.     

Membuatku terbungkam antara tidak terima dan rasa bersalah. Aku yakin Mas Sardi tidak berusaha     

memanfaatkan keadaan. Tapi karena memang Ia sedang terdesak kali ini. Namun, jika harus     

mengorbankan hidupku bukankah itu berlebihan?     

"Bejo itu ingin sekali menjadi dokter. Dia rela meninggalkan Simboknya dan sekarang selangkah lagi     

hampir berhasil. Tapi karena uang, aku mungkin menghancurkan cita-citanya." Ucap Mas Sardi.     

Aku melihat raut wajah kakak sulungku itu nampak menyesal yang dalam. Sebelumnya Ia tidak     

pernah terlihat seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja aku merasa iba.     

"Baik aku akan memikirkan kembali perihal itu Mas." Ucapku. Dan ku yakin sSantokit menenangkan     

kekhawatirannya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.