PERNIKAHAN TANPA RENCANA

87



87

0Sementara mayat-mayat itu semua sudah tumbang. Tersisa tiga wanita yang tertawa-tawa dan terkikik hingga membuat siapa pun yang mendengarnya akan merinding. Ayah segera berdiri. Ia yang semula kakinya lemas tiba-tiba bisa di gerakkan. Iya pun berlari ke arah pintu keluar namun tiga wanita tanpa tubuh itu terus membuntutinya.     

Ayah memutuskan untuk memukulnya. Namun mereka malah terbang lebih tinggi. Mempermainkan ayah. Dengan kikikan yang tak pernah berhenti. Hal itu malah membuat ayah semakin naik pitam. Lalu ayah pun berniat untuk menuju keramaian agar tiga wanita itu tak mengikutinya. Namun keramaian yang Ia temui sebelumnya ternyata sudah musnah. Tak ada yang tersisa kecuali rerumputan di pinggir sungai.     

Ayah kelimpungan. Tiga wanita itu terus mengejarnya. Kikikkan mereka lama kelamaan membuat telinga ayah pekak. Ayah terjatuh lagi dan lagi. Di pinggir sungai tak seorang pun yang melihatnya. Hal terakhir yang bisa ayah lakukan adalah mengambil segenggam kerikil dan melemparkan kepada mereka sekuat tenaga.     

SATU     

DUA     

TIGA     

Mereka terlambat menghindar dan terkena lemparan segenggam batu kerikil dari ayah. Ayah yang sudah terjatuh pun merebahkan tubuhnya setelah mereka menghilang. Nafasnya yang masih tersengal-sengal itu pun di aturnya sehingga menjadi normal kembali. Angin bertiup sepoi, gemericik sungai bersenandung mencoba menidurkan ayah yang sedang kelelahan.     

Tiba-tiba ayah terbangun dan berada di atas pasir. Deburan ombak saling kejar mengejar menimbulkan suara desiran yang begitu keras. Ayah yang kebingungan pun melangkahkan kakinya. Ia hanya berjalan maju tanpa arah dan tak tahu harus ke mana. Matahari telah berada di sisi barat. Artinya senja segera tiba.     

Ia tak menemukan siapa pun di sekitarnya. Tiba-tiba saja ia berpikir untuk menoleh ke belakang. Ia terkejut melihat bekas langkah kakinya di pasir. Cetakan telapak kakinya berubah menjadi kecil. Ia laku melihat ke arah telapak tangannya. Dan benar saja, Ia telah berubah mengecil. Ia sangat terkejut. Dan saking terkejutnya ia pun berlari mundur dan akhirnya terjatuh juga.     

Seseorang memegang lengannya dari belakang. Ayah menoleh ke arah belakangnya. Dan ternyata adalah tiga saudara yang bertemu dengan ayah di mimpinya sebelum ritual kemarin siang. Ayah tersenyum riang. Begitu pun mereka juga tersenyum kepada ayah. Kemudian mereka pun membantu ayah berdiri.     

Ayah kecil pun ikut berlari bersama mereka ke arah timur. Sementara ada yang memanggil ayah dari arah barat. Dan dia seolah meminta tolong. Ayah yang kebingungan harus menolong atau mengikuti mereka pun berhenti dan bergantian menoleh ke arah mereka.     

Ayah memutuskan untuk menolong ke arah barat. Ayah pun menatap ke arah timur berniat untuk meminta ijin kepada mereka. Namun mereka malah sewot dan terus berjalan meninggalkan ayah. Ayah pun yang sudah bertekad tak peduli. Ia akan menyusul mereka nanti.     

Ayah lalu berlari ke arah orang itu. Orang yang nampak meminta tolong terlihat berpakaian hitam dan tubuhnya tak terlihat karena ia memakai jubah. Ayah kecil yang masih polis benar-benar tak mempunyai rasa takut. Sehingga Ia mendekati orang itu. Ternyata orang itu adalah nenek tua. Namun ayah tak menemukan kesulitan apa yang di hadapi oleh nenek itu. Selain itu penglihatannya juga sudah mulai gelap karena hari yang mulai petang.     

Ayah pun bertanya kepadanya.     

"Nenek kenapa?" tanya ayah kecil dengan polos.     

Nenek itu terlihat menangis kesakitan.     

Ayah pun semakin dekat kepadanya dan hendak memegang tangannya. Namun dengan cepat nenek itu meraih tangan ayah kecil yang membuatnya terkejut lalu berteriak. Nenek itu mencengkeram pergelangan tangan ayah dengan kuat. Ia lalu membuka jubahnya. Ternyata Ia adalah jenglot yang ada di mimpi ayah sebelumnya. Namun kali ini ia menyerupai manusia berukuran besar dan dapat berbicara.     

Nenek itu tertawa terbahak-bahak dan sangat mengerikan. Ayah kecil pun ketakutan bukan main. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan nenek itu namun tak berhasil. Sementara di sisi timur saudara-saudaranya juga meminta tolong.     

Ayah memaksa untuk berlari ke arah timur. Namun tak bisa. Nenek itu mencengkeram tangannya dengan sangat kuat. Ayah menangis. Ia harus segera menyelamatkan saudara-saudaranya. Saudaranya itu terlihat terjebak di dalam pasir hisab mereka terus terhisab ke dalam sedikit demi sedikit. Ayah yang tahu bahwa pasir hisab tidak boleh di hadapi dengan meronta pun terus berteriak.     

"JANGAN BANYAK GERAK! TUNGGU AKU! JANGAN BANYAK GERAK. KUMOHON!" NAamun mereka terlihat tak mengindahkan ucapan ayah. Mereka terus saja meronta dan memaksa ayah untuk datang menolongnya. Ayah pun kehilangan kesabarannya. Ia pun terus menarik-narik tangannya agar terlepas dari nenek tua itu. Namun lagi-lagi gagal. Nenek itu terus tertawa meremehkan ayah.     

Tiba-tiba saja nenek itu melepaskan cengkeramannya. Di saat ayah sedang sekuat tenaga untuk kabur darinya. Ayah pun tersungkur hingga seluruh tubuhnya penuh dengan pasir. Ia tak menghiraukan kondisinya. Ia pun lalu berlari sekencang mungkin ke arah saudaranya namun ia tetap mendapati kegagalan untuk menyelamatkan mereka bertiga.     

Untuk kedua kalinya ayah mengalami hal memilukan ini. Meski ini tak nyata. Namun hati ayah bergetar hingga di dunia nyata. Ia terbangun dari tidurnya. Terik yang sudah beralu sejak tadi menyisakan pantulan-pantulan sinar jingga di permukaan air. Riak air menjadi tenang dari sebelumnya.     

Ayah bangun dari tidurnya. Ia kemudian duduk dan berusaha menyadarkan diri. Misinya belum berakhir. Akan semakin lama akan semakin banyak waktu yang ia habiskan di dunia nyata. Ia yang kini terlihat lesu dan compang-camping karena telah mengalami banyak hal tetap memaksakan tubuhnya untuk berdiri. Ia harus menemukan batu itu sesegera mungkin.     

Ayah terus berjalan. Langkahnya lemah tak bersemangat seperti semula. Ia kehabisan tenaga. Seolah segalanya sudah terkuras sejak tadi. Ayah pun berpikir untuk mencari makanan sejenak. Ia yang tak membawa apa pun selain belati kecil pun berpikir untuk memasang jebakan hewan di tengah hutan.     

Ia melangkahkan kaki ke tengah hutan. Sesampainya di sana ia menaruh jebakan yang sudah ia buat di sebuah lubang. Karena hari sudah gelap tepat sekali. Tidak lama Ia mendapatkan seekor rusa. Rusa itu terlihat meronta-ronta kesakitan. Tanpa ayah sadari. Rusa itu meneteskan air matanya. Ayah yang menemukan tangkapan besar pun merasa bahagia. Ia lalu menyembelih rusa itu dan membawanya ke pinggir sungai.     

Dengan ukuran rusa yang besar sedikit menghambat perjalanannya. Namun akhirnya Ia pun sampai di pinggir sungai. Sayangnya ia harus mencari kayu untuk membuat api. Ia pergi lagi ke hutan untuk mencari ranting-ranting yang berjatuhan. Bunyi Kreseek-kresek tiba-tiba terdengar dari sisi sampingnya. Karena suasananya sudah malam ayah tak terlalu melihat apa yang berisik itu. Namun sudah pasti ayah terkejut dan was-was. Meski demikian ayah tak mengambil pusing asal Ia tak mulai menyerang terlebih dahulu.     

Ayah kemudian kembali ke tempat di mana rusa itu terkulai lemah. Siap untuk di kuliti. Pertama-tama ayah membuat api terlebih dahulu sebagai media penerangan. Ia lalu menguliti rusa itu dengan belatinya yang sangat tajam meski kecil itu. Dengan lihai dan cepat akhirnya Ia pun selesai. Ia laku membuang bagian kaki dan kepala. Ia tak mau repot-repot memakan bagian yang keras. Saat ini ia hanya membutuhkan bagian dagingnya saja untuk mengisi perut kosongnya.     

Ia lalu meletakkan bagian keras itu di sisi api. Dan membawa dagingnya ke sungai untuk di cuci. Selesai mencuci ia lalu menusuk bagian tengahnya dengan sebilah bambu yang sudah di buatnya. Ia lalu memanggang daging rusa itu di atas api yang menyala-nyala. Menyulut sedikit demi sedikit daging berwarna merah itu menjadi kecoklatan.     

Setelah bau harum menguar. Ayah pun mengangkatnya. Daging itu tampak mengepulkan asap dan aroma sedap. Ayah yang sudah kelaparan tak sabar untuk segera melahapnya. Namun seekor Rusa tiba-tiba datang menghampirinya.     

Ayah yang hendak menyantap daging rusa itu pun lalu menaruhnya kembali. Ia menatap rusa yang menghampirinya. Nampak rusa itu meneteskan air mata. Terlihat melalui kilatan cahaya api yang menyala-nyala. Ayah yang merasa kasihan lalu mengelus kepalanya. Rusa itu pun tak beringas. Ia menerima elusan dari tangan ayah. Namun anehnya ia terus menatap tubuh saudaranya. Ayah kemudian mengikuti arah tatapannya. Dan Ia terkejut setengah mati.     

Bukan kaki rusa yang Ia lihat melainkan kaki dan tangan manusia. Yang paling mengerikan lagi adalah kepala rusa yang sudah berubah menjadi kepala manusia.     

Akhirnya ayah telah kembali kepada kesadarannya. Ia mendengar suara gemercik air. Kakinya yang sudah mati rasa itu masih bisa merasakan bahwa ia duduk di atas batu besar. Suara dukun kuring pu nampak nyaring seperti sedia kala saat pertama kali ritual ini di mulai. Nafas ayah pun tersengal-sengal.     

Dukun Kuring memerintahkan ayah untuk membuka matanya. Ia menatap ayah dalam-dalam. Sementara ayah sedang mengumpulkan kesadarannya. Ia bertanya-tanya apakah kali ini nyata? Atau hanya halusinasi batinnya saja. Ayah baru merasakan kini matanya begitu perih. Tangannnya tiba-tiba saja terkulai ke bawah hilang tenaga. Tubuhnya kini sudah hampir tumbang. Namun Dukun kuring terlihat menahannya dengan tenaga dalamnya.     

"Sadarkan dirimu. Kamu sudah kembali." Ucap dukun kuring.     

Ayah yang masih belum sadar sepenuhnya pun lalu mengerjapkan matanya sekali lagi. Ia lalu mengeraskan seluruh sendi-sendinya. Ia menggeliat tanpa malu di hadapan dukun kuring. Akhirnya ia sadar. Di depannya duduk dukun kuring di tepi sungai. Dengan pakaian yang masih sama. Tujuh pahatan batu juga masih berada di posisi semula dengan tampah di atasnya. Namun lampu minyak yang semula menyala kini berubah padam. Dan seisi tampah sudah berantakan tak berbentuk rupa.     

Ayah masih merasa cemas apakah hasil dari ritualnya. Ia menunggu dukun kuring mengatakan sesuatu padanya. Namun dukun kuring hanya berdiri dan tak mengatakan apa pun. Ayah pun langsung menanyakannya tanpa basa basi.     

"Bagaimana Ki, hasilnya.?" Tanya ayah pada dukun itu.     

Dukun kuring hanya berhenti lalu menggendong tangannya ke belakang. Ia setengah menoleh sejajar dengan pundaknya.     

"Masih hidup kan? Berati semuanya lancar." Ucap dukun kuring yang sebenarnya sangat bahagia karena hajatnya terpenuhi tanpa harus mengorbankan apa pun.     

Akhirnya ayah dapat menghembuskan nafas lega. Suasana senang hatinya mengembalikan seluruh kekuatan tubuhnya. Ia yang semula lemas kini telah bergas kembali. Ia lalu menjeburkan diri ke sungai. Padahal pagi itu udara benar-benar dingin. Ia lalu menepi. Ia membersihkan satu persatu tampah dan seisinya. Ia jadikan satu dan juga lampu minyak di atasnya.     

Ayah lalu membawanya ke bawah pohon besar. Ia lalu duduk sejenak sebelum nanti ia akan memutuskan untuk pulang. Ia teringat kepada istrinya Duminah. Terakhir kali Ia pergi begitu saja tanpa mendengarkan pembicaraannya sampai selesai. Ia khawatir istrinya itu akan benar-benar marah padanya.     

Namun ayah tetap harus pulang dan menyampaikan kabar gembira ini. Ia akan membuktikan kepada Duminah dan bapaknya itu tentang keberhasilan dan perjuangan yang telah ia lewati. Ia sudah melewati banyak sekali hal dan berkali-kali mempertaruhkan nyawanya demi untuk kembali dan membawa kabar baik untuk bayi mungilnya itu.     

Ayah bergegas merapikan sungai seperti semula. Tidak meninggalkan jejak apa pun di sana. Ia kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah. Satu hari setengah telah berlalu. Lebih cepat dari yang di perkirakan. Padahal yang terasa dalam dunia bawah sadarnya Ia merasa sudah berbulan-bukan berada di dunia lain.     

Ayah bertemu Duminah di dapur. Masih seperti biasa. Duminah menghampiri suaminya yang baru saja pulang entah dari mana. Meski berangkat dalam keadaan marah. Duminah tetap menyambut suaminya itu dengan senyuman.     

Meski sebenarnya senyuman itu terasa kecut. Air mata tiba-tiba mengalir dari pelupuk mata Duminah.     

Ayah yang sedang sibuk membuka bajunya pun lalu menoleh ke arah istrinya itu.     

"Dum... kamu kenapa?" dipegangnya kedua bahu simbok oleh ayah.     

Sejenak simbok terdiam. Ia menyelesaikan tangisnya lalu menarik nafas dalam-dalam.     

"Kenapa kamu ndak mau mendengarkanku lebih dulu sebelum pergi Mas?" Tanya Simbok dengan suara putus asa. Ayah melepaskan kedua tangannya dari bahu simbok. Ia lalu merubah ekspresi yang semula iba menjadi geram. Tangannya pun ikut mengepal. Namun kemudian Ia menarik napas kuat-kuat dan menghembuskannya pelan-pelan.     

"Aku ndak mau kamu mempengaruhi pikiranku Dum. Aku ndak mau ragu-ragu gara-gara apa yang mau kamu ucapkan." Tutur ayah.     

"Tapi Mas. Aku bukan ingin mempengaruhimu. Aku ingin menghentikanmu. Aku ingin kamu ndak melakukan itu. Aku ingin kamu berhenti." Duminah kini telah berurai air mata.     

"Apa Dum. Kamu mau menghentikan aku? Kamu ndak tahu apa yang sudah aku lewati. Aku hampir mati untuk sampai di titik ini. Kamu tahu. Aku mempertaruhkan nyawa Dum. Untuk kamu. Untuk anak kita." Ucap ayah menggebu-gebu pada Simbok. "Sekarang kamu ndak perlu khawatir. Semua sudah selesai. Sardi bayi mungil kita akan segera tumbuh normal. Kamu ndak perlu bangun tengah malam karena dia menangis hingga pagi. Kita sudah bisa hidup normal Dum..."     

Ayah begitu gembira mengatakan hal yang akan menjadi petaka bagi hidupnya kelak itu. Sementara Duminah menatap suaminya dengan tatapan penuh penyesalan.     

"Kamu tahu Le, Rusa yang kamu bawa itu adalah nyawa yang kelak akan kamu tukar." Tutur seseorang dari pintu ruang tengah. Yang bukan lain adalah Simbah. Ayah dan Simbok menoleh ke arahnya bersamaan. Simbah lalu mendekat ke arah mereka. Simbah mengambil kursi di sebelah simbok dan ayah. Satu untuk dirinya duduk dan dihadapkan dengan dua kursi untuk ayah dan simbok duduk.     

"Sini duduk dulu kalian berdua." Simbah menyuruh ayah dan simbok duduk di kursi kosong yang berada di hadapannya. Ayah yang semula mulai merah padam pun tenang kembali. Mereka lalu duduk di kursi itu.     

"Le... apa ritualnya sudah selesai dan lancar?" Tanya simbah pada ayah dengan nada yang tenang.     

"Sudah Pak. Aku berhasil menyelesaikannya dengan cepat." Jawab ayah dengan bangga.     

"Apa yang sudah kamu lalui Le...selama kamu bertapa bukankah di alam lain kamu mengalami sesuatu? Tolong ceritakan kepadaku. Supaya bisa ku artikan semuanya. Dan kamu akan mengerti di mana letak kesalahan semuanya." Ucap panjang simbah.     

Ayah lalu menceritakan semua kejadian di dalam alam bawah sadarnya dengan detile tanpa tertinggal satu pun.     

"Berulang kali Pak. Aku menyelamatkan diri dari maut. Namun aku tidak menyerah dan aku berhasil melewati semuanya." Tutup ayah pada ceritanya.     

"Apa kamu tidak merasa mendapatkan sesuatu dari semua itu?" tanya Simbah.     

"Maksudnya Pak?" Tanya Ayah kebingungan. "Ya saya sudah mendapatkannya. Lihat lah anak kami sudah tidur dengan pulas dan damai." Tambah ayah lagi.     

Simbah menghela nafas.     

"Kamu di curangi Kuring Le." Ucap simbah. Lalu Ia mengucap lagi sebelum ayah sempat membalas."Tiga saudara kecil dalam ceritamu itu? Apa kamu pernah memimpikannya?"     

Kemudian ayah berpikir keras. Apakah Ia pernah memimpikan tiga bocah itu sebelumnya? Lalu Ia teringat. Ia pernah sekali bermimpi tentang tiga bocah itu.     

"Iya pak. Sebelumnya aku tertidur di bawah pohon dekat sungai itu. Dan aku memimpikan bocah-bocah. Namun mimpinya juga sama mengerikannya." Ucap ayah begitu yakin.     

"Kalau begitu bukankah sudah jelas pesannya Le..." Tutur Simbah lalu terputus oleh sesenggukan tangisnya yang mulai luruh penuh sesal. "Seharusnya aku tak usah kenalkan kamu dengan Kuring biadab itu." Tambah Simbah. "Dia memanfaatkanmu untuk mendapatkan keuntungannya. Sementara kamu kelak yang akan mengorbankan segalanya." Tutur Sinbah lagi.     

Sementara itu ayah masih berkutat dalam kebingungannya. Ia sama sekali tak tahu arah pembicaraan ayah mertuanya itu.     

"Dalam dunia perdukunan. Setiap persembahan yang kamu bawa itu pasti ada maknanya. Mertuamu ini memang tak pintar. Tapi cukup tahu dunia perdukunan. Ya karena Kuring sering mengajarkan kepadaku. Jangan terkejut. Arti dari rusa yang mereka minta kamu bawa itu. Adalah nyawa seseorang. Yang bukan lain adalah saudara sedarahmu kelak. Aku ingin mencegahmu. Tapi tak punya kesempatan untuk bertemu. Dan biadabnya Kuring. Dia memanfaatkan ketidak tahuanmu. Untuk mendapatkan kelebihan yang lelembut berikan kepadanya jika ritual berhasil. Dia akan di beri penglihatan batin atas manusia. Sementara yang berkorban besar kamu. Kamu yang harus menerima akibatnya." Tutur Simbah panjang sambil berurai air mata. Sementara ayah yang mendengarkan itu semua merah padam. Ia mengepalkan tangannya. Kepalanya terasa berdenyut panas penuh kemarahan.     

Simbok lalu memegang tangannya dengan lembut. Ayah menoleh ke arahnya yang bercucur air mata. Ayah pun tak bisa memendam lagi air matanya. Ia juga menangis. Dalam hatinya penuh sesal.     

Ia lalu menunduk.     

"Maafkan aku Dum. Maafkan kebodohanku." Ucap ayah pada istrinya.     

"Semuanya sudah terjadi Le. Sekarang kita hanya perlu memperbaiki semuanya. Agar jangan sampai terulang."     

Keesokan harinya. Pagi-pagi buta Ayah bergegas ke rumah Dukun Kuring. Ia ingin membalas kebusukan Dukun Kuring saat itu juga. Dengan amarah yang telah memenuhi kepalanya hingga ke ubun-ubun. Ia mendatangi rumah Dukun Kuring.     

Sementara mayat-mayat itu semua sudah tumbang. Tersisa tiga wanita yang tertawa-tawa dan terkikik hingga membuat siapa pun yang mendengarnya akan merinding. Ayah segera berdiri. Ia yang semula kakinya lemas tiba-tiba bisa di gerakkan. Iya pun berlari ke arah pintu keluar namun tiga wanita tanpa tubuh itu terus membuntutinya.     

Ayah memutuskan untuk memukulnya. Namun mereka malah terbang lebih tinggi. Mempermainkan ayah. Dengan kikikan yang tak pernah berhenti. Hal itu malah membuat ayah semakin naik pitam. Lalu ayah pun berniat untuk menuju keramaian agar tiga wanita itu tak mengikutinya. Namun keramaian yang Ia temui sebelumnya ternyata sudah musnah. Tak ada yang tersisa kecuali rerumputan di pinggir sungai.     

Ayah kelimpungan. Tiga wanita itu terus mengejarnya. Kikikkan mereka lama kelamaan membuat telinga ayah pekak. Ayah terjatuh lagi dan lagi. Di pinggir sungai tak seorang pun yang melihatnya. Hal terakhir yang bisa ayah lakukan adalah mengambil segenggam kerikil dan melemparkan kepada mereka sekuat tenaga.     

SATU     

DUA     

TIGA     

Mereka terlambat menghindar dan terkena lemparan segenggam batu kerikil dari ayah. Ayah yang sudah terjatuh pun merebahkan tubuhnya setelah mereka menghilang. Nafasnya yang masih tersengal-sengal itu pun di aturnya sehingga menjadi normal kembali. Angin bertiup sepoi, gemericik sungai bersenandung mencoba menidurkan ayah yang sedang kelelahan.     

Tiba-tiba ayah terbangun dan berada di atas pasir. Deburan ombak saling kejar mengejar menimbulkan suara desiran yang begitu keras. Ayah yang kebingungan pun melangkahkan kakinya. Ia hanya berjalan maju tanpa arah dan tak tahu harus ke mana. Matahari telah berada di sisi barat. Artinya senja segera tiba.     

Ia tak menemukan siapa pun di sekitarnya. Tiba-tiba saja ia berpikir untuk menoleh ke belakang. Ia terkejut melihat bekas langkah kakinya di pasir. Cetakan telapak kakinya berubah menjadi kecil. Ia laku melihat ke arah telapak tangannya. Dan benar saja, Ia telah berubah mengecil. Ia sangat terkejut. Dan saking terkejutnya ia pun berlari mundur dan akhirnya terjatuh juga.     

Seseorang memegang lengannya dari belakang. Ayah menoleh ke arah belakangnya. Dan ternyata adalah tiga saudara yang bertemu dengan ayah di mimpinya sebelum ritual kemarin siang. Ayah tersenyum riang. Begitu pun mereka juga tersenyum kepada ayah. Kemudian mereka pun membantu ayah berdiri.     

Ayah kecil pun ikut berlari bersama mereka ke arah timur. Sementara ada yang memanggil ayah dari arah barat. Dan dia seolah meminta tolong. Ayah yang kebingungan harus menolong atau mengikuti mereka pun berhenti dan bergantian menoleh ke arah mereka.     

Ayah memutuskan untuk menolong ke arah barat. Ayah pun menatap ke arah timur berniat untuk meminta ijin kepada mereka. Namun mereka malah sewot dan terus berjalan meninggalkan ayah. Ayah pun yang sudah bertekad tak peduli. Ia akan menyusul mereka nanti.     

Ayah lalu berlari ke arah orang itu. Orang yang nampak meminta tolong terlihat berpakaian hitam dan tubuhnya tak terlihat karena ia memakai jubah. Ayah kecil yang masih polis benar-benar tak mempunyai rasa takut. Sehingga Ia mendekati orang itu. Ternyata orang itu adalah nenek tua. Namun ayah tak menemukan kesulitan apa yang di hadapi oleh nenek itu. Selain itu penglihatannya juga sudah mulai gelap karena hari yang mulai petang.     

Ayah pun bertanya kepadanya.     

"Nenek kenapa?" tanya ayah kecil dengan polos.     

Nenek itu terlihat menangis kesakitan.     

Ayah pun semakin dekat kepadanya dan hendak memegang tangannya. Namun dengan cepat nenek itu meraih tangan ayah kecil yang membuatnya terkejut lalu berteriak. Nenek itu mencengkeram pergelangan tangan ayah dengan kuat. Ia lalu membuka jubahnya. Ternyata Ia adalah jenglot yang ada di mimpi ayah sebelumnya. Namun kali ini ia menyerupai manusia berukuran besar dan dapat berbicara.     

Nenek itu tertawa terbahak-bahak dan sangat mengerikan. Ayah kecil pun ketakutan bukan main. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan nenek itu namun tak berhasil. Sementara di sisi timur saudara-saudaranya juga meminta tolong.     

Ayah memaksa untuk berlari ke arah timur. Namun tak bisa. Nenek itu mencengkeram tangannya dengan sangat kuat. Ayah menangis. Ia harus segera menyelamatkan saudara-saudaranya. Saudaranya itu terlihat terjebak di dalam pasir hisab mereka terus terhisab ke dalam sedikit demi sedikit. Ayah yang tahu bahwa pasir hisab tidak boleh di hadapi dengan meronta pun terus berteriak.     

"JANGAN BANYAK GERAK! TUNGGU AKU! JANGAN BANYAK GERAK. KUMOHON!" NAamun mereka terlihat tak mengindahkan ucapan ayah. Mereka terus saja meronta dan memaksa ayah untuk datang menolongnya. Ayah pun kehilangan kesabarannya. Ia pun terus menarik-narik tangannya agar terlepas dari nenek tua itu. Namun lagi-lagi gagal. Nenek itu terus tertawa meremehkan ayah.     

Tiba-tiba saja nenek itu melepaskan cengkeramannya. Di saat ayah sedang sekuat tenaga untuk kabur darinya. Ayah pun tersungkur hingga seluruh tubuhnya penuh dengan pasir. Ia tak menghiraukan kondisinya. Ia pun lalu berlari sekencang mungkin ke arah saudaranya namun ia tetap mendapati kegagalan untuk menyelamatkan mereka bertiga.     

Untuk kedua kalinya ayah mengalami hal memilukan ini. Meski ini tak nyata. Namun hati ayah bergetar hingga di dunia nyata. Ia terbangun dari tidurnya. Terik yang sudah beralu sejak tadi menyisakan pantulan-pantulan sinar jingga di permukaan air. Riak air menjadi tenang dari sebelumnya.     

Ayah bangun dari tidurnya. Ia kemudian duduk dan berusaha menyadarkan diri. Misinya belum berakhir. Akan semakin lama akan semakin banyak waktu yang ia habiskan di dunia nyata. Ia yang kini terlihat lesu dan compang-camping karena telah mengalami banyak hal tetap memaksakan tubuhnya untuk berdiri. Ia harus menemukan batu itu sesegera mungkin.     

Ayah terus berjalan. Langkahnya lemah tak bersemangat seperti semula. Ia kehabisan tenaga. Seolah segalanya sudah terkuras sejak tadi. Ayah pun berpikir untuk mencari makanan sejenak. Ia yang tak membawa apa pun selain belati kecil pun berpikir untuk memasang jebakan hewan di tengah hutan.     

Ia melangkahkan kaki ke tengah hutan. Sesampainya di sana ia menaruh jebakan yang sudah ia buat di sebuah lubang. Karena hari sudah gelap tepat sekali. Tidak lama Ia mendapatkan seekor rusa. Rusa itu terlihat meronta-ronta kesakitan. Tanpa ayah sadari. Rusa itu meneteskan air matanya. Ayah yang menemukan tangkapan besar pun merasa bahagia. Ia lalu menyembelih rusa itu dan membawanya ke pinggir sungai.     

Dengan ukuran rusa yang besar sedikit menghambat perjalanannya. Namun akhirnya Ia pun sampai di pinggir sungai. Sayangnya ia harus mencari kayu untuk membuat api. Ia pergi lagi ke hutan untuk mencari ranting-ranting yang berjatuhan. Bunyi Kreseek-kresek tiba-tiba terdengar dari sisi sampingnya. Karena suasananya sudah malam ayah tak terlalu melihat apa yang berisik itu. Namun sudah pasti ayah terkejut dan was-was. Meski demikian ayah tak mengambil pusing asal Ia tak mulai menyerang terlebih dahulu.     

Ayah kemudian kembali ke tempat di mana rusa itu terkulai lemah. Siap untuk di kuliti. Pertama-tama ayah membuat api terlebih dahulu sebagai media penerangan. Ia lalu menguliti rusa itu dengan belatinya yang sangat tajam meski kecil itu. Dengan lihai dan cepat akhirnya Ia pun selesai. Ia laku membuang bagian kaki dan kepala. Ia tak mau repot-repot memakan bagian yang keras. Saat ini ia hanya membutuhkan bagian dagingnya saja untuk mengisi perut kosongnya.     

Ia lalu meletakkan bagian keras itu di sisi api. Dan membawa dagingnya ke sungai untuk di cuci. Selesai mencuci ia lalu menusuk bagian tengahnya dengan sebilah bambu yang sudah di buatnya. Ia lalu memanggang daging rusa itu di atas api yang menyala-nyala. Menyulut sedikit demi sedikit daging berwarna merah itu menjadi kecoklatan.     

Setelah bau harum menguar. Ayah pun mengangkatnya. Daging itu tampak mengepulkan asap dan aroma sedap. Ayah yang sudah kelaparan tak sabar untuk segera melahapnya. Namun seekor Rusa tiba-tiba datang menghampirinya.     

Ayah yang hendak menyantap daging rusa itu pun lalu menaruhnya kembali. Ia menatap rusa yang menghampirinya. Nampak rusa itu meneteskan air mata. Terlihat melalui kilatan cahaya api yang menyala-nyala. Ayah yang merasa kasihan lalu mengelus kepalanya. Rusa itu pun tak beringas. Ia menerima elusan dari tangan ayah. Namun anehnya ia terus menatap tubuh saudaranya. Ayah kemudian mengikuti arah tatapannya. Dan Ia terkejut setengah mati.     

Bukan kaki rusa yang Ia lihat melainkan kaki dan tangan manusia. Yang paling mengerikan lagi adalah kepala rusa yang sudah berubah menjadi kepala manusia.     

Akhirnya ayah telah kembali kepada kesadarannya. Ia mendengar suara gemercik air. Kakinya yang sudah mati rasa itu masih bisa merasakan bahwa ia duduk di atas batu besar. Suara dukun kuring pu nampak nyaring seperti sedia kala saat pertama kali ritual ini di mulai. Nafas ayah pun tersengal-sengal.     

Dukun Kuring memerintahkan ayah untuk membuka matanya. Ia menatap ayah dalam-dalam. Sementara ayah sedang mengumpulkan kesadarannya. Ia bertanya-tanya apakah kali ini nyata? Atau hanya halusinasi batinnya saja. Ayah baru merasakan kini matanya begitu perih. Tangannnya tiba-tiba saja terkulai ke bawah hilang tenaga. Tubuhnya kini sudah hampir tumbang. Namun Dukun kuring terlihat menahannya dengan tenaga dalamnya.     

"Sadarkan dirimu. Kamu sudah kembali." Ucap dukun kuring.     

Ayah yang masih belum sadar sepenuhnya pun lalu mengerjapkan matanya sekali lagi. Ia lalu mengeraskan seluruh sendi-sendinya. Ia menggeliat tanpa malu di hadapan dukun kuring. Akhirnya ia sadar. Di depannya duduk dukun kuring di tepi sungai. Dengan pakaian yang masih sama. Tujuh pahatan batu juga masih berada di posisi semula dengan tampah di atasnya. Namun lampu minyak yang semula menyala kini berubah padam. Dan seisi tampah sudah berantakan tak berbentuk rupa.     

Ayah masih merasa cemas apakah hasil dari ritualnya. Ia menunggu dukun kuring mengatakan sesuatu padanya. Namun dukun kuring hanya berdiri dan tak mengatakan apa pun. Ayah pun langsung menanyakannya tanpa basa basi.     

"Bagaimana Ki, hasilnya.?" Tanya ayah pada dukun itu.     

Dukun kuring hanya berhenti lalu menggendong tangannya ke belakang. Ia setengah menoleh sejajar dengan pundaknya.     

"Masih hidup kan? Berati semuanya lancar." Ucap dukun kuring yang sebenarnya sangat bahagia karena hajatnya terpenuhi tanpa harus mengorbankan apa pun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.