PERNIKAHAN TANPA RENCANA

67. Salah Paham



67. Salah Paham

1Aku tidak tahu ada komunitas sebesar ini di negeri ini. Mas David menggandengku. Lalu orang di sampingnya yang pertama tadi menyapa kami memperkenalkan kami ia lalumengatakan bahwa kami adalah anggota mereka mulai hari ini.     

Mas David tersenyum kepadaku. Aku yang menyukai keakraban ini pun juga menyukainya. Aku adalah satu-satunya wanita yang tak memakai baju sama seperti yang lainnya. Meski sedikit malu mereka ternyata memberikan kesan yang nyaman dalam menyambutku. Mereka begitu meriah dan ramai. Selain itu banyak dari mereka yang hobi melawak sehingga aku pun tak bosanm berada di sekitar mereka.     

Hari pun berlalu. Acara makan-makan dan bersenang-senang dengan mereka pun telah mencapai puncaknya. Ketua dari mereka pun mengatakan kalau akan ada tour berikutnya. Tapi belum di tentukan tempatnya sehingga meminta untuk seluruh anggotanya menunggu dengan sabar.     

Akhirnya kami pun saling berpamitan. Pertemuan yang tidak ada satu hari itu membuat kami seakrab ini. Aku sedikit terenyuh menyadarinya. Aku terus tersenyum mengantar kepergian mereka satu-persatu. Akhirnya pun hanya tersisa kami. Aku dan Mas David. Tak kusangka sejak tadi Mas David menatapku. Aku yang terus tersenyum pun menjadi malu. Ia lalu tersenyum kepadaku.     

"Mandang gitu amat sih mas. Malu aku nya." Ucapku kemudian.     

Ia lalu memberiku helm. Dan ia pun memakai helmnya. Kami pun manaiki mototr melaju menuju arah pulang. Tidak seperti waktu berangkat. Kini Mas David memelankan kecepatan lajunya. Hal itu membuatku semakin menikmati perjalanan di area pegunungan ini. Udara yang begitu dingin malah membuatku semakin betah berlama-lama di sini.     

"Gimana San?" ucapnya sambil mengeraskan suaranya.     

"Gimana apanya Mas?" tanyaku padanya.     

"Ya gimana kesannya hari ini?" tanyanya kembali.     

"Mmmmm…seneng. Seneng banget malahan mas. Aku ndak pernah dateng ke acara seperti ini. Mentok-mentok juga acara kondangan resepsi pernikahan." Ucapku dengan jujur.     

Dia pun tertawa terbahak-bahak.     

"Minggu depan jalan lagi yuk?" ajaknya kepadaku.     

Hah? Apa-apaan mas david ini? Apa jangan-jangan ada perasaan padaku? Kalau sikapnya seperti ini aku jadi gede rasa. Ngerti nggak sih dia?     

"Kemana Mas?" tanyaku basa basi.     

"ada lah… biar kamu makin kenal dengan tempat ini. Biar enggak bosan juga." Ucapnya.     

Aku pun hanya mengiyakan.     

"Kamu tahu San, orang-orang tadi itu asalnya dari jauh-jauh."     

"Ya aku tahu dari mana Mas? Kok Mas David bisa kenal mereka? Jadi anggota lagi."     

"Sebenarnya salah satu anggotnaya itu dulu temanku training Pa ujiIn Mauk TNI. Eh dia gagal dan aku lolos. Tapi kami masih terus kontak sampai sekarang. Nah sebenarnya dari kemarin tuh aku masih bingung San."     

"Bingung kenapa to Mas. Wong bingung kok di pelihara."     

"Hahaahaha" Ia tertawa.     

"Aku tuh seneng aja sama pembawaanmu. Polos udah gitu. Ngomongnya juga lucu. Selalu bikin aku pengen ketawa." Ucanya tiba-tiba mengganti topik.     

"Emangnya aku ini pelawak Mas. Aku juga bisa marah. Nih lagi marah sekarang." Tiba-tiba Mas David menoleh ke arah spion dan terus menatapku. Membuat aku salah tingkah danakhirnya pun tertawa menanggapinya.     

Kami pun tertawa dengan diri masing-masing.     

Kami pun sampai di rumah. Mas David menurunkan aku tepat di pelataran rumah. Tiba-tiba saja dari pintu muncul sosok Mas Aden. Ia telah mampu berjalan meskipun masih pincang. Selain itu kaki dan kepalanya pun masih di perban.     

Aku yang baru saja membuka helm pun langsung memberikannya kepada Mas David dan berlari ke arahnya. Namun ia menolak untuk ku papah. Aku pun terdiam dia terus berjalan ke arah Mas David aku khawatir dia melakukan sesuatu kepadanya. Dia membisikkan sesuatu kepadanya. Lalu berjalan kembali ke arah rumah. Aku yang masih terdiam pun lalu membiarkan Mas aden masuk.     

Aku lalu menghampiri Mas David. Lalu ku tanya keadaannya. Ia hanya mengangkat kedua tangnnya.     

"Aku dalam keadaan sehat. Dia dalamkeadaan sakit. Apa yang bisa terjadi?" ucapnya penuhpercaya diri.     

"Ya mungkin saja dia mengatakan hal yang tidak masuk akal danmembuat Mas David sakit hati. Untuk itu aku minta maaf jika hal itu terjadi." Ucapku.     

"Kok kamu malah yang minta maaf sih San. Itu justru malah yang membuat aku sedih. Aku baik-baik saja dengan apa yang di ucapkannya San. Dia itu masih terlalu kecil buatku." Ucap Mas David membuatku sedikit lega.     

"Aku ini sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang harus ku tanggapi dan tidak san. Jangan khawatir. Ucapnya lagi sambil memegang pundakku.     

"Syukurlah kalau begitu Mas. Aku jadi nggak enak sama kamu."     

"sssttt,,,, tenang aja. Kita bawa santai saja San. Takut cepet makin tua"     

"yeee…" ucapku sambil memukul bahunya.     

"Ya sudah ya, aku pamit dulu." Ucapnya yang ku balas dengan anggukan.     

Lalu iya pun melaju dngan suara deru yang semakin menjauh dan menghilang dari pendengaranku. Aku pun kembali. Berniat menengok keberadaan Mas Aden.     

Ternyata dia masih berdiri di depan jendela kamarnya dan menatap kami sejak tadi.     

"Jadi itu yang kamu lakukan Mba saat aku sedang sakit seperti ini?" ucapnya tiba-tiba yang ternyata menyadari kehadiranku.     

"Maksud Mas Aden apa Mas?" ucapku bingung.     

"Kamu sudah berani keluar dengan membawa laki-laki ke rumah Mba.. masih nggak tahu juga?" ucapnya lagi.     

"Iya aku tahu aku emang keluar dengan Mas David. Tapi kenapa? Kenapa Ndak boleh Mas? Ini bukan hari kerjaku. Aku bahkan sudah ijin dengan Ibu dan Bapak."     

Tiba-tiba Mas Aden melemparkan gelas ke dinding hingga pecah. Aku berteriak keras karena takut dan terkejut.     

"Kamu juga sama sama Bapak dan Ibu Mba. Kamu mikirin diri kamu sendiri. Kamu mikirin perasaan kamu sendiri. Kamu nggak pernah mikirin Aden. Perlakuanmu selama ini hanyalah bohong. Kamu munafik!!!! Aku benci sama kamu mba! Aku benci sama kamu melebihi sama Ibu dan Bapak!!!" Aku pun tidak kuat lagi dengan semua ucapan-ucapannya. Aku berlari mendekapnyan lalu ku tenangkan dia yang masih dalam tangisnya yang deras. Aku mencoba menenangkannya seperti dahulu saat ia masih bocah.     

"ssssttt..ssttttt,ssttt..sudah ya Mas, marahnya sama Mba. Sudah ya…" aku terud mengusap kepalanya agar tangisnya segera reda.     

"ssttt..ssstt..stttt sudah Mas ndak perlu khawatir, Mba di sini nemenin Mas. Mba nggak ke mana-mana." Ucapku lagi. Terus ku sirami ia dengan kata-kata penenang.     

Setelah bebrapa menit dia pun hampir tertidur dalam peluaknku. Posisi kami yang masih di lantai pun ingin ku benahi. Namun pintu tiba-tiba terbuka. Ibu langsung berteriak melihat apa yang terjadi di depan matnaya. Ia menganggap lain apa yang sedang ku lakukan. Tnapa bertanya terlebih dahulu.     

"Apa yang kamu Lakukan Santi!" aku terkejut mendengar suara bernada tinggi dari ibu. Bertahun-tahun aku mengabdinya. Baru pertama kali ini lah aku mendengarnya memarahiku. Hatiku benar-benar sakit harus menerima perlakuan aeperti ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.