Chapter 62 - Masa lalu dua sahabat
Chapter 62 - Masa lalu dua sahabat
Edward hanya tersenyum melihat mereka, merasa tenang begitu melihat mereka baik-baik saja. Meski hubungan yang ia jalin bersama mereka masih terbilang sangatlah singkat, tetapi ikatan yang belum pernah ia miliki menjadikannya sebagai hal paling penting dalam perjalanan hidupnya saat ini.
Mungkin kali ini akan baik-baik saja, pikirnya.
Setelah menelan suapan terakhir dalam mulutnya, Retto bertanya kepadanya Edward "Oh ya, aku dengar dari kapten jika kau membantu dia menyelamatkan kami."
Edward terkejut sesaat dengan ekspresi yang ia tahan "A--ah ya," jawabnya gugup, bagaimana tidak? Ia tidak tahu bagaimana Karma menceritakan kejadian itu kepada mereka, dimana dirinya mengubah sosoknya sebagai sang Kaisar untuk pertama kalinya.
Meski ikatan yang ia jalin begitu berharga, justru karena hal itu pula ia berat untuk mengatakan identitas aslinya.
"Begitu ya, terima kasih," sahut Retto seraya menyungingkan senyuman lebar kearah Edward.
Reaksi yang ditunjukkan Retto terkesan sangat biasa 'Sepertinya karma tidak menceritakan tentang identitas ku, ya aku juga merasa pria itu bisa menjaga rahasia, sih,' batinnya merasa lega sedikit.
"Lalu maaf, kami jadi merepotkan mu," senyuman Retto menjadi terasa berat, tampak murung wajahnya mengubah senyumannya menjadi senyuman pahit "Yah benar-benar memalukan, aku sama sekali tidak bisa melawan mereka. Tidak cocok menjadi prajurit."
"Apa yang kau katakan?" Edward memotong ucapannya, kerutan di kening tanda bingung terlihat jelas. Ekspresi Edward melemas kemudian seraya menggelengkan kepalanya ia kembali berbicara "Itu tidak benar."
"Apanya yang tidak benar?" tanya Retto, terdengar sinis begitu pula dengan ekspresinya. Suaranya cukup keras hingga membuka mata Ivaldi "Sampai tertangkap oleh para penculik, aku benar-benar menyedihkan."
"Apa yang kau katakan!?"
Suara Edward sangat keras hingga bergema di ruangan. Edward merasa jengkel dengan ucapannya yang tidak jelas hingga membuatnya berdiri dengan emosi. Retto sangat berbeda, sangat berbeda dibandingkan saat ia pertama kali bertemu dengannya. Ucapannya seolah-olah hal itu terjadi karena kelalaiannya dan ia gagal melindungi kelompoknya, padahal ia tidak memiliki tanggung jawab akan hal itu.
"Jangan mengatakan hal bodoh seperti itu. Kalau kau memang merasa begitu, kenapa kau begitu berusaha hingga berhasil masuk pelatihan?"
Retto hanya membisu mendengarnya dengan wajah jengkel akan sesuatu.
"Kau pernah bertanya seperti ini padaku, sekarang aku memberikannya kembali padamu, apa tujuanmu menjad prajurit, Retto?"
Pertanyaan itu memukul wajahnya dengan sangat keras membuat ekspresinya menjadi semakin jengkel, namun ia tidak bisa membalas perkataanya ataupun menjawab ucapannya.
"Hahaha!"
Ia tiba-tiba tertawa lepas, seakan melupakan emosinya. Namun senyuman yang ia tunjukkan selanjutnya masih terasa begitu pahit untuk dilihat..
"Kau benar, maaf sudah mengatakan hal bodoh."
Aneh, hanya itu yang ia nilai dari Retto saat ini. Benar akan apa? Edward hanya mengajukan pertanyaan keras kepadanya. Rasa bersalah yang dirasakan oleh Retto yang tidak jelas asal-usulnya membuatnya penasaran, Ivaldi pun hanya terdiam mendengar ucapan Retto. Mungkin ia tahu sesuatu? Atau ia tidak peduli? Edward berkelahi dengan pikirannya sendiri karena Retto.
Edward menghela nafas dan kembali duduk di kursi "Lagipula kenapa juga kau memikirkan hal itu? Mereka memang lawan yang kuat, kapten pun berkata kalau penjaga yang lain tidak dapat menangkap mereka."
"Benarkah?"
"Benar, jadi tidak perlu memikirkannya lagi. Lagipula mereka sudah tertangkap."
"Hee begitu, syukurlah," balas Retto.
Setelah membalas ucapan Edward, suasana hening pun tercipta. Suasana hening nan canggung membuat mereka berdua sulit berbicara, Ivaldi pula berbaring sambil memejamkan matanya meninggalkan mereka ke alam mimpi tanpa berkata apa-apa kepada mereka.
Suasana yang terasa begitu berat, Retto hanya terdiam dengan raut wajah sedikit lesu sambil memakan buah yang berbentuk seperti apel namun bagian dalamnya berwarna merah.
'Buah macam apa yang aku beli?' batin Edward tidak pernah melihat.
"Itu ... Enak, kah?" tanya Void sambil menunjuk buah yang sedang digigit Retto.
"Huh? Kau yang membelinya, kan?"
"Ya ... Iya sih, aku hanya asal membelinya saja. Aku tidak tahu enak atau tidaknya."
Seluruh gerakan Retto terdiam seketika, begitupun mulutnya berhenti mengunyah buah itu. Memberikan tatapan miris kepada lelaki berambut perak itu.
"Lain kali jangan berbelanja sendiri, nanti kena tipu pedagang kau."
"Ya maaf!"
Langit gelap yang menyelimuti Ibukota kembali Edward lihat melalui jendela, dihiasi cahaya bintang dan rembulan membuatnya terpana untuk sesaat. Namun pikirannya kembali digubris oleh sikap aneh Retto, ia selalu terlihat seperti orang yang maniak akan kekuatan, tidak pernah takut akan sesuatu, begitulah pandangan Edward memandang sosok Retto.
Seseorang mengetuk, Retto mempersilahkan orang itu masuk kedalam ruangannya. Seorang perempuan dengan seragam seperti kemeja suster di dunianya, namun warnanya berbeda, warna pada lengan pakaiannya pun berbeda dengan warna utama pada pakaiannya.
'Seragamnya aneh,' batin Edward.
"Permisi, maaf mengganggu," kemudian bola matanya tertuju kepada Retto "Tuan Retto, waktunya untuk pemeriksaan."
"Eh? Ah baiklah."
Kemudian Retto berbaring di ranjangnya menuruti perkataan perawat itu. Walau katanya akan melakukan pemeriksaan, tetapi Edward sama sekali tidak melihat alat-alat seperti stetoskop yang biasa menggantung dileher seorang dokter, ia hanya membawa sebuah papan setinggi lengan sikunya dengan kertas yang menempel.
Lagipula keberadaan rumah sakit di dunia sihir pun terasa aneh untuknya. Di dunia seperti ini ada yang namanya sihir penyembuh yang dapat menyembuhkan penyakit luar seperti goresan atau luka bakar, namun dalam tingkat tertinggi bisa meregenerasi tubuh makhluk hidup dengan cepat. Selain itu juga ada yang namanya potion health poin yang biasa dijual di toko, ketika ia ingin membeli buah pun ada yang menjual ramuan penambah HP.
Perawat itu berdiri di samping Retto, kemudian menumpang tindih tangannya satu sama lain di atas tubuh Retto. Cahaya biru kemudian muncul dari telapak tangannya, perlahan menyebar hingga menyelimuti seluruh tubuh Retto. Mata Retto terpejam, tubuhnya terasa lebih hangat ketika ia melajukan pemeriksaan. Lalu Edward tercengang hingga membisu melihat fenomena sihir yang sedang terjadi di depannya. Ketika selesai–tangan perawat itu terangkat sepenuhnya dari tubuh Retto, cahaya biru yang menyelimutinya lenyap, menguap ke udara.
Perawat itu menuliskan sesuatu pada kertas di papan yang ia bawa sambil berkata "Kondisi anda baik, mungkin lusa anda sudah bisa pulang," ucapnya sambil tersenyum.
"Begitu, syukurlah."
"Kalau begitu saya–."
"A--ah maaf, permisi," Edward menghentikan langkah sang perawat.
"Ya?" sahut perawat itu
"Boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Edward.
"Silahkan?"
"Tadi itu ... Sihir apa yang anda gunakan?"
Sihir seperti yang memeriksa kondisi tubuh seseorang, sihir seperti itu tidak ada di dalam game Aester World. Edward tahu tidak ada sihir seperti itu di dalam game Aester World, karena karakter yang ia buat–sang pahlawan sudah mendapatkan semua sihir yang ada dalam game.
Ia sangat yakin tidak ada sihir lain yang tertinggal dengan bukti Achievement Magic Sage (penghargaan) dalam game yang ia dapat setelah mengumpulkan semua kekuatan sihir yang ada di dalam game Aester World, ia juga mengingat semua sihir yang ia dapat.
"Ah!" Perawat itu tersenyum dan memutar tubuhnya kearah Edward "Itu bukan sihir tapi itu adalah skill, Inspect Body namanya."
"Inspect Body?"
"Benar."
'Begitu, skill ya,' Dugaanya meleset 'Apa aku mendapatkannya ya? Aku hanya mendapat achievement magic sage saja sih, aku tidak mendapatkan Achievment yang menunjukkan aku memiliki semua skill di dalam game. Tapi aneh sekali, aku belum pernah melihat skill seperti itu,' batinnya, berpikir keras hingga tampak jelas dari raut wajahnya.
"A--ah maaf, bisakah anda jelaskan cara kerjanya? Atau ... Itu rahasia rumah sakit?" tanya Edward sedikit ragu.
"Tidak masalah, kok. Lagipula skill bukan sebuah rahasia karena orang lain pun bisa mendapatkannya."
'Masuk akal,' batinnya seakan meninju wajahnya sendiri setelah bertanya hal yang membuatnya malu.
"Umm ... Singkatnya Skill Inspect Body membuat anda bisa merasakan keseluruhan tubuh makhluk hidup yang anda periksa. Luka dalam, apakah detak jantungnya kuat atau lemah, semua yang terjadi di dalam tubuh yang anda periksa bisa anda rasakan ..."
'Uwah menjijikan.'
"Mungkin lebih ke sensasinya?"
'Tetap saja menjijikan.'
"Tuan?"
"Ah, maaf."
Perasaan jijik yang ia rasakan terlihat jelas dari wajahnya. Penjelasan yang benar-benar singkat, namun Edward mengerti sepenuhnya tentang skill Inspect Body ini. Setidaknya ia bisa mengerti bagaimana sensasi yang perawat itu maksud, seperti bagaimana ia merasakan detak jantung seseorang entah ketika ia mendekatkan telinganya pada orang lain atau menyentuh bagian dada orang lain.
'Skill \[Inspect Body] berhasil di dapatkan.'
Sudah cukup lama ia tidak mendengar suara robot di kepalanya, entah kenapa ia menjadi terbiasa. Sesuai dugaanya, jika ia memahami arti dan penggunaan suatu skill maka ia bisa mendapatkannya. Sedikit merepotkan, tapi setidaknya jauh lebih mudah dibandingkan cara mendapatka skill di dalam gamenya.
"Tuan, apa ada yang salah?" tanya perempuan itu, tampak bingung saat melihat Edward melamun dengan senyuman puas terlukis di wajahnya.
"E--eh? Ah tidak apa-apa. Saya mengerti penjelasan anda, begiu ya rasanya menjadi mudah untuk menyembuhkan luka bagian dalam seseorang," sahut Edward.
"Benar sekali, apa ada yang ingin anda tanyakan lagi?"
Edward menggelengkan kepalanya dan berkata "Tidak, terima kasih atas penjelasannya."
'Juga terima kasih atas skillnya,' Batin Edward merasa puas, meski sebelumnya ia merasa jijik dengan skill baru yang ia dapat.
"Kalau begitu saya permisi. Tuan Retto, jangan tidur terlalu malam karena tidak baik untuk tubuh Anda."
"Eh? Ah iya."
"Saya permisi."
Setelah itu perawat itupun keluar dari ruangan mereka, Edward kembali duduk di kursinya begitu juga Retto yang kembali duduk di atas ranjangnya.
Ia membuka layar sistem, secepat mungkin mempelajari Skill yang baru ia dapat, suara itu pun muncul lagi.
'Skill \[Inspect Body] berhasil di pelajari.'
Menjadi pertanda ia sudah bisa menggunakan skill itu. Sebenarnya, rasa penasarannya mendorongnya dengan sangat kuat untuk sesegera mungkin memakai skill yang baru ia pelajari. Tapi rasanya Retto akan curiga jika ia tiba-tiba bisa menggunakan skill yang padahal sebelumnya ia tidak tahu skill apa itu.
"Kau tertarik dengan skill, ya?" tanya Retto tiba-tiba.
"Eh? Ah iya. Aku tertarik dengan skill, mungkin tepatnya ingin mempelajarinya."
"Hee, tapi mendapatkannya sulit loh."
"Memang bagaimana?"
"Kau harus memiliki pengalaman untuk mendapatkan skill yang kau inginkan. Misalkan skill yang menguatkan tubuh, kau harus berlatih keras untuk mendapatkan skill itu seperti angkat beban, misalnya."
'Ah, sistemnya sama saja seperti di game. Aku rasa hanya Kaisar saja yang menjadi pengecualian, ya walau terasa Cheat sih. Aku juga kurang senang, begitu juga kalian, kan? Tapi ya mau bagaimana lagi, aku setidaknya harus memanfaatkan segala cara untuk bertahan hidup. Kalian tidak tahu bagaimana rasanya sedang nyaman di kamar tiba-tiba diseret ke dunia ini untuk bertahan hidup,' batin Edward yang mengeluh juga berbicara dengan pikirannya sendiri.
"Ed? Edward?"
Namanya di panggil, membuatnya kembali dari lamunannya.
"Eh? Ah maaf."
"Kau tidak mendengar ya?"
"Eh? Aku mendengarnya, kok! Tapi itu wajar, kan? Tidak mungkin seseorang mendapatkan skill tanpa tahu cara menggunakannya? Mereka harus tahu bagaimana cara menggunakannya dari pengalaman, benar?"
'Walau aku tidak pantas berkata seperti itu sih.'
Edward memukuli dirinya sendiri dengan kata-kata yang sangat berkebalikan dengan kondisinya, bagaikan orang suci yang berguling di lumpur bersama para babi.
"Hee, menarik juga pemikiranmu," ucap Retto seraya menyeringai kagum.
"Apa maksudmu?" tanya Edward.
"Aku baru mendengar penjelasan seperti itu, ya itu paling masuk akal sih. Dengan bekerja keras kau akan mendapatkan pengalaman dan pengalaman menghasilkan skill, dengan skill kau bisa menggunakan kembali pengalamanmu yang bisa saja hasilnya berkali-kali lipat dari usahamu. Hahaha benar-benar masuk akal, tiada usaha yang mengkhianati hasil. Benar juga, mana ada orang yang tidak memiliki usaha dan tidak berpengalaman bisa menggunakan skill dengan mudah, hahahaha!"
Retto memberikan pukulan telak yang sangat memberikan kerusakan kritikal pada hati Edward. Membuatnya membisu dan tersenyum masam karena rasa bersalah akan kekuatan yang bisa ia dapatkan dengan sangat mudah, membuatnya overpower yang bisa membuat orang-orang di dunianya juga membenci dirinya.
Pandangan Edward beralih kepada Ivaldi, yang tengan tidur menyamping–membelakangi mereka berdua.
"Ivaldi tidak di periksa, kah?" tanya Edward.
"Eh? Ah, dia? Tidak ... Ya sebenarnya dia sudah sembuh, tapi entah kenapa dia terus berpura-pura sakit," jawab Retto sambil tersenyum canggung
"Berpura-pura sakit?" tanya lagi Edward tak paham.
Retto mengangguk pelan "Setiap perawat berkata dia sudah tidak apa-apa, dia selalu beralasan jika tubuhnya masih terasa sangat lemas. Meski perawat sudah memeriksa tubuhnya baik-baik saja, benar-benar. Mungkin dia hanya ingin tidur di ranjang yang nyaman," jawabnya lagi kemudian tertawa pelan.
Tentu alasannya bukan begitu, Edward tahu jelas apa alasan Ivaldi masih ingin menetap di rumah sakit.
"Mungkin sebenarnya dia hanya ingin menemani mu."
"Eh?" Retto tampak sangat terkejut mendengar perkataan Edward, membuatnya langsung membisu dan kembali menatap Ivaldi.
Raut wajahnya menjadi murung untuk sesaat, raut wajah yang sama yang ia tunjukkan sebelumnya.
'Begitu, mungkin itu alasannya murung,' batin Edward memahami kenapa Retto berkata jika ia tidak cocok menjadi prajurit.
Ia mengingat ucapan Retto yang berkata jika Ivaldi bukan hanya sahabatnya, tapi ia anggap sebagai adik sendiri. Dengan itu juga perasaan seorang Kakak hadir dalam diri Retto yang ingin terus melihat Adiknya dan melindungi Adiknya. Namun kejadian yang terjadi saat ini membuktikan dirinya jauh lebih lemah dari Ivaldi.
"Kau bertanya apa alasan ku menjadi prajurit, kan?" tanya Retto menghapus ekspresi dari wajahnya. Edward hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian Retto kembali berkata "Alasan ku mungkin karena Ivaldi, karena Ivaldi ingin menjadi prajurit aku juga mengikutinya."
"Mungkin?"
Retto tertawa dengan paksa, meringankan suasananya "Yah, karena dulu sebelum kejadian itu terjadi, aku memang sudah ingin menjadi prajurit Kekaisaran yang kuat," Ekspresinya memudar, kembali menjadi murung "Tetapi setelah kejadian itu aku tidak tahu apakah aku harus menjadi prajurit atau tidak."
"Kejadian apa?"
"Dulu sekali, saat aku dan Ivaldi masih kecil. Ya kami berteman baik dan Ivaldi ... Yah tidak ada yang berubah dari kami berdua, Ivaldi sejak kecil pun ekspresinya datar sampai membuatku jengkel, terkadang aku berpikir menjahatinya untuk melihatnya menangis. Hahaha, benar-benar bodoh, ya?"
'Tidak, aku juga ingin melihatnya, sih,' ucap Edward dalam hati karena tidak mungkin ia bisa berbicara seperti itu dengan mulutnya.
Edward terdiam sebentar, memberikan jeda cukup panjang untuk menghela nafasnya "Lalu, tragedi itu terjadi. Desa kami diserang oleh para bandit, tapi kami tidak diam saja. Penduduk desa kami melawan dengan senjata seadanya dan tidak sedikit juga dari kami yang tewas, salah satunya adalah orang tua Ivaldi."
Mata Edward seketika membulat karena terkejut mendengar itu, secara tak sadar ia langsung menoleh kearah Ivaldi yang tertidur.
"Orang tua Ivaldi dibunuh saat mereka berada di rumah, begitu juga Ivaldi. Tetapi dari kejadian itu ... Yah kau juga lihat Ivaldi masih ada disini, hanya dia yang selamat. Lalu banditnya? Sudah dibunuh."
"Begitu ..."
"Oleh Ivaldi."
"Huh!?"
Kembali terkejut, Edward menoleh kembali kesrah Retto yang tersenyum pahit.
"Saat itu aku benar-benar terkejut, ekspresi datar yang selaku di tunjukkan Ivaldi lenyap seketika. Saat itu untuk pertama kalinya aku melihat Ivaldi marah dan menangis disaat yang sama dengan tangan penuh darah. Dua bandit dia bunuh, loh? Luar biasa bukan? Disaat aku bersembunyi ketakutan tetapi Ivaldi yang kuanggap sebagai adik yang harus kulindungi sudah membunuh dua bandit, sampai sekarang pun aku tidak tahu bagaimana ia membunuhnya. Karena itu saat itu juga aku berpikir, apa aku masih pantas menganggapnya sebagai orang yang kulindungi? Minat ku untuk menjadi prajurit pun redup karena tragedi itu."
Edward tidak bisa berkata apa-apa mendengar masa lalu kedua sahabat itu. Membunuh seseorang, meski ia juga melakukan hal yang sama tetapi ia yang kehilangan rasa takutnya tidak merasakan apa-apa ketika menyayat daging hidup dengan pedangnya. Tetapi itu berbeda jika seseorang yang memiliki emosi yang lengkap meski tidak sering ditunjukkan.
"Lalu kau ingin tahu apa yang terjadi beberapa hari setelah itu? Ivaldi seperti biasa duduk di bawah pohon dengan buku yang selalu ia baca, ekspresinya datar seperti biasa. Seperti ... Ekspresi amarahnya yang kulihat hari itu, seperti mimpi saja."
Mimpi yang teramat sangat buruk, ekspresi seorang Iblis kecil yang berubah menjadi Iblis sesungguhnya dan sosok Iblis itu lenyap seketika mengembalikan sosok Iblis tanpa ekspresi atau tepatnya Iblis yang menyembunyikan segala ekspresinya.
"Setelah itu, Ivaldi diasuh oleh keluarga ku karena itu secara tak resmi menganggapnya sebagai Adikku."
Apa yang dirasakan Ivaldi, apa yang dipikirkan Ivaldi, mereka tidak pernah mengetahuinya bahkan Retto yang bersamanya hingga hari ini juga tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh Iblis tanpa ekspresi itu.
"Tapi ... Kurasa dia juga memiliki alasan yang sama seperti mu," ucap Edward sambil terus melihat kearah Ivaldi.
"Apa maksudmu?" tanya Retto memunculkan kerutan di keningnya
Edward memindahkan lirikannya kembali pada Retto dan berbicara "Dia menjadi prajurit juga karena dia ingin melindungi orang yang ingin ia lindungi."
"Eh?"
"Mungkin orang itu adalah dirimu juga keluarga mu yang mengasuhnya. Aku kurang begitu memahami, sih. Tetapi melihatnya berpura-pura tetap di rumah sakit, karena dia ingin menemani dirimu. Ia juga mungkin saja menganggap dirimu sebagai Kakak, karena itu sikap ya pada mu tidak pernah sungkan."
Retto terdiam membisu terus melihat kearah Ivaldi, tersadar mungkin kata yang tepat menggambarkan Retto saat ini. Ia selalu bersamanya, ia selalu menganggap dirinya sebagai Kakak yang hsrus membina dan melindungi Adiknya, tapi ia tidak berpikir apakah Ivaldi pun merasakan hal yang sama?
Senyuman tipis merekah di wajahnya, perasaan yang membebani dirinya lenyap setelahnya. Kemudian ia terkekeh dengan puas tak berhenti.
Edward hanya tersenyum tipis mendengarnya, hubungan saudara yang terasa sangat rumit, namun tidak juga begitu. Meski sudah lama bersama tapi tidak menjamin mereka akan saling memahami, hal itu menjadi pelajaran untuk Edward.
"Lalu, kau tidak perlu menyerah nenjadi prajurit. Semua ini baru awal, jadi terlalu cepat untuk menyerah," ucap Edward dengan percaya diri.
Retto terdiam sejenak, senyuman tipis kembali terlukis di wajahnya "Ya, kau benar. Semua ini baru awalnya saja, lagipula kita semua masih kadet."
"Sekarang kau baru kepikiran seperti itu, sialan."
"Hahahahaha! Maafkan aku."
Mereka berdua tertawa bersama, beban yang dipikul Retto menjadi tetasa lebih ringan atau tepatnya lenyap setelah membaginya dan menyelesaikan kerumitan dalam dirinya bersama dengan kawan barunya. Mereka tak sadar jika Iblis tak berekspresi itu menyungingkan senyuman kecilnya dari balik selimut.
Keesokan harinya, Edward masih berada di rumah sakit, ia menginap menemani kedua temannya. Kondisi Retto juga perlahan membaik setelah dalam tubuhnya ada beberapa tulang yang patah yang sulit untuk disembuhkan oleh sihir–hanya mengandalkan regenerasi alami pada tubuhnya.
Lalu Kapten mereka, Karma mendatangi ruangan mereka dan memberitahu juga jika Fornelia telah bangun. Karma belum mengunjungi ruangannya tetapi ia tahu dari perawat. Karena Retto belum boleh bergerak banyak dan Ivaldi masih berpura-pura sakit. Hanya Karma dan Edward lah yang mengunjungi ruangannya, ruangan bernor 210. Masih berada di koridor yang sama namun letaknya sedikit jauh dari ruangan Retto dan Ivaldi.
Karma mengetuk pintunya perlahan, karena tidak ada jawaban, Karma pun masuk tanpa bicara apa-apa. Mereka melihat seorang gadis sedang menatap keluar jendela, melamunkan sesuatu hingga tak sadar ada orang lain yang masuk ke ruangannya.
"Fornelia?"
Gadis itu mengedipkan mata, bola matanya membulat dan perlahan menoleh kearah mereka.
"Kapten ..."
Air mata keluar dari pelupuk mata, perlahan jatuh dan tangannya mengarah kepada karma seakan ingin meraihnya. Karma secepat mungkin ia mendekatinya menerima pelukan dan air mata yang mengalir membasahi pakaian Karma.
"Kapten, maafkan aku! Aku ... Aku ..."
Isak tangisnya menghentikannya berbicara, Karma hanya mengelus kepalanya lembut dan berkata "Tidak apa-apa ..."
Edward hanya terdiam melihat pemandangan mengharukan itu, Fornelia sebagai pemimpin kelompok merasa sangat bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada kelompoknya dan berkali-kali ia menyalahkan dirinya karena sudah gagal dalam tugasnya.
Ingin Edward memberitahu Fornelia jika masalah itu sudah selesai, tetapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat Karma tersenyum sambil terus menenangkan satu-satunya anak buah perempuan dalam kelompoknya.
Tiba-tiba seseorang muncul dari belakang Edward, rambut hitam memakai pakaian pelayan era Victoria.
"Scintia?"
"Paduka! Situasi gawat sedang terjadi!"
"He--hey! Apa yang kau katakan!"
"Maaf paduka, tidak ada waktu! Mohon segera–."
"Waaa! Apa ini!?"
Guncangan sangat kuat menggetarkan rumah sakit, hingga kaca jendela pun bergetar sangat kuat. Edward menatap keluar jendela, sesosok rubah raksasa muncul di dekat Ibukota.
To be continue