Last Boss

Chapter 132



Chapter 132

1Pertempuran di kota perdagangan telah berakhir, lalu begitu juga dengan pertarungan di beberapa kota di kerajaan Meridonialis. Kala perempuan itu menghilang, semua pertempuran telah berakhir. Meninggalkan kehancuran, luka serta kesedihan yang mendalam bagi mereka yang terkena dampaknya.     

Kabar akan penyerangan di beberapa kota itu menggantikan topik perihal Kerajaan Abyc, meski begitu penyerangan keempat kota itu juga sempat dikaitkan akan pernyataan Abyc yang keluar dari aliansi dan menyatakan kebebasannya. Tetapi menanggapi hal itu, Ratu Ausele von Albyca langsung mengirimkan surat sebagai jawaban, dirinya menulis disana dengan tegas bila Kerajaan Abyc tidak memiliki waktu untuk mengurusi kerajaan lain.     

"Kami sedang berfokus memperbaiki ekonomi kami karena akibat dari perang yang tidak berguna, kami tidak memiliki waktu untuk bermain-main di kerajaan lain."     

Sebuah ucapan yang berani dan terkesan tidak sopan yang di selimuti sindiran keras atas kerugian dari perang sebelumnya, meski menang tetapi Abyc mengalami krisis ekonomi untuk sesaat. Sebab, akibat perang sebelumnya, perdagangan mereka dengan kerajaan lain terhambat karena seluruh akses jalan menuju timur dan utara benua di tutup sangat rapat. Selain itu, Kerajaan juga menghabiskan banyak uang untuk memperbaiki jalanan kota serta membayar para peneliti atas hasil kerja mereka sebelumnya.     

Meski demikian, Kerajaan Abyc perlahan bangkit setelah menjual beberapa peralatan sihir rumah sederhana ke negeri barat.     

Tak hanya Abyc, Kekaisaran Iblis juga terkena tuduhan. Parahnya, banyak kerajaan yang tak segan menuduh jika dalang dari penyerangan itu adalah pasukan-pasukan Kekaisaran yang menyusup. Tetapi tidak seperti Abyc yang menyindir mereka dengan keras, Kekaisaran hanya menyangkal hal itu dan mengirimkan surat secara resmi kepada Kerajaan Hertia–selaku salah 'anggota penting' di aliansi persatuan benua Ziuria dan juga mengirimkan surat kepada Meridonialis juga Uridonia bila Kekaisaran menyangkal semua tuduhan yang diberikan oleh kerajaan lain.     

Hanya sangkalan biasa yang bahkan kemungkinannya sangat kecil untuk dipercaya oleh kerajaan lain, namun sang Kaisar tak peduli akan hal itu.     

Kepada Ink Owl, Void berkata "Terserah mereka mau percaya atau tidak, aku tidak peduli. Diriku sedikit percaya kepada Uridonia dan Meridonialis yang menjadi korban daripada anjing yang pertama kali menggonggong meneriaki nama kita. Jika hanya Hertia, maka kita bisa mengurusnya ... Lagipula itu bukan urusan kita, kan? Daripada itu aku lebih tertarik melihat perkembangan wilayah kita," begitu ucapnya benar-benar tak peduli apa yang terjadi kepada kota-kota yang diserang itu.     

Meski berkata demikian, tetapi tindakannya sedikit berbeda dari apa yang ia bicarakan hingga Ink Owl sendiri tak mengerti apa yang sang Kaisar pikirkan. Dirinya meminta sedikit sayuran serta rempah-rempah dari Kekaisaran untuk dibawa ke kota perdagangan.     

Dirinya melihat sebuah celah untuk membuat rencananya melesat jauh lebih cepat dari perkiraan.     

Tetapi, semua itu seakan menjadi akhir dari segala rencanannya kala ia tak sengaja bertemu dengan seseorang yang tak boleh bertemu dengannya.     

Tubuh Lilia mengejang untuk sesaat kala mendengar suara yang tak asing di telinganya, dirinya berbalik seraya menjelaskan kepada sepasang manusia–seorang lelaki dan seorang perempuan dengan pakaian yang amat berbeda, sang perempuan memakai zirah kesatria suci sedangkan seorang lelaki memakai jubah putih khas gereja dengan kalung salib menggantung di lehernya.     

"Tu--tunggu! Aku tidak melakukan apapun dengannya ... Anu ... Umm ... Begini."     

Terbata-bata Lilia berbicara yqng ingin menjelaskan sesuatu kepada mereka, namun perempuan dengan rambut coklat itu memotong ucapannya seraya menggoda Lilia.     

"Bapa Joshua, sepertinya biarawati gereja pusat sedikit tersesat. Mungkin anda bisa menasihatinya sedikit."     

"Tu–. Vi! Apa yang kamu katakan!? Sudah kubilang ini tidak seperti yang kalian pikirkan!"     

Lilia kembali membantah dengan raut wajah panik disertai rona merah yang masih mewarnai wajahnya. Kesatria suci bernama Vienna yang merupakan rekan sekaligus sahabatnya hanya tertawa jahil kala berhasil membuat sang pemimpi kesatria suci itu panik akan situasi yang dihadapinya.     

Kala mereka mendebatkan sesuatu yang tak Edward ketahui, lelaki berambut perak itu menyela pembicaraan mereka dengan menempatkan posisinya yang tak ingin terlibat.     

"Anu ... Mungkin seharusnya saya pergi?" tanya Edward kepada mereka, hingga perhatian mereka sepenuhnya teralih kepadanya.     

Vienna langsung membalas seraya menyungingkan senyuman lebar di wajahnya "Ah, tidak usah khawatir. Kami tidak berniat mengganggu kalian. Terlebih, Lili akan sedih jika kamu pergi, kan?"     

Tersentak Lilia semakin merona dan semakin jengkel dirinya tak tahan akan segala ucapan sahabatnya. Ditengah lagak tawa Vienna, Lilia mendekati sahabatnya itu kemudian mencengkram zirah gadis itu "Vi ... Sudah kubilang kau hanya salah paham ...," ucap Lilia sembari mengerang serta melotot tajam kearah sahabatnya.     

Dia memancing seekor kucing hingga berubah menjadi singa, tertunduk terdiam Vi kala melihat ekspresi amarah Lilia yang tak pernah ditunjukkannya selain di medan perang.     

"Maaf ...," hanya itu yang dikatakan Vi selanjutnya.     

Dua kesatria suci itu terbilang memiliki kemampuan diatas rata-rata kesatria suci yang lainnya. Mereka adalah pasangan serasi, seorang pemimpin dan wakilnya. Sepasang kesatria yang memimpin pasukan kesatria suci hingga dikatakan juga bila mereka bersama, maka sangat mustahil untuk mengalahkan mereka berdua.     

Namun, mereka saat ini tak lebih terlihat seperti remaja labil yang terkadang bertingkah seperti seorang anak-anak. Dua lelaki disana dibuat tertawa karena tingkah mereka, kembali merona wajah Lilia kala mendengarkan tawa yang begitu jelas di telinganya.     

"A--ah ..."     

Ia ingin kembali menyangkal sesuatu, namun dirinya terlalu malu sampai dirinya hanya terdiam sembari tertunduk malu.     

Pendeta gereja itu kemudian menoleh kearah Edward dengan senyuman tipisnya.     

"Tuan, bisakah anda beritahu nama anda?" tanya pendeta itu.     

Edward pula menoleh kala mendengarnya, kemudian ikut tersenyum tipis seraya menjawab pertanyaannya "Ah, nama saya Edward, Bapa pendeta."     

"Begitu, nama saya Joshua. Senang mengenal anda, Tuan Edward," balas Bapa Joshua degan senyuman yang begitu ramah, kemudian dirinya kembali berbicara "Sebelumnya saya meminta maaf kepada anda juga Nona Lilia. Karena sebenarnya saya ingin langsung menghampiri kalian berdua, tetapi Nona Vienna berkata untuk tidak mengganggu anda. Lalu, saya mendengar sedikit pembicaraan kalian."     

Mereka berdua sudah ada disana, entah sejak kapan mereka berdiam diri di dekat sebuah pohon hingga mendengarkan obrolan mereka berdua. Sorot mata tajam penuh amarah Lilia langsung menghunus kearah Vienna kembali kala mendengar perbuatannya, ia ingin melakukan sesuatu kepadanha namun ada dua pria yang amat ia hormati dan salah satunya juga ia sukai.     

Edward membalas dengan ramah pula "Ah saya pribadi tidak masalah, lagipula obrolan kami bukan sesuatu yang harus dirahasiakan."     

"Begitu, saya sedikit lega mendengarnya," balas sang pendeta seraya mengelus dadanya, kemudian matanya berpaling kearah Lilia seraya berkata "Oh ya, Nona Lilia. Sebenarnya saya juga tadi sedikit mendengar tentang anda dan Edward dari Nona Vienna."     

"Eh!?" ia langsung menoleh kembalj dengan tajam kearah Vienna, memberikan tatapan bak ikan mati sebab saking terkejutnya Lilia "Kenapa ..."     

"Maafkan aku! Maafkan aku! Aku bersumpah tidak sengaja mengatakannya! Habisnya kalian sangat dekat sampai aku tidak sadar mengatakannya!" utas Vienna seraya merapatkan kedua telapak tangan sembari terus membungkuk kepada Lilia berulang kali; memohon ampunan sebesar-besarnya karena kesalahan yang ia perbuat.     

Tak bisa lagi mengelak Lilia dihadapan pendeta itu. Meski ia seorang pemimpin kesatria suci, dirinya sama sekali tak bisa melawan perintah dari para pendeta. Dengan kata lain, para pendeta memiliki kedudukan lebih tinggi daripada nya. Sehingga Lilia menghelakan napas lelah dan menundukkan kepalanya sebab merasa malu dirinya.     

"Maaf, Bapa Joshua. Saya ... Saya tahu ini salah, tetapi–."     

Bapa Joshua kemudian memotong ucapannya "Tidak apa, saya mengerti Nona Lilia."     

Terkejut Lilia hingga terangkat kembali kepalanya "Eh?"     

"Mau bagaimana juga anda seorang manusia. Mau sesuci apapun diri anda, anda akan tetap merasakan sesuatu yang tidak diizinkan oleh gereja. Terlebih di usia anda yang masih muda pastinya anda akan merasakan hal seperti yang anda rasakan sekarang. Meski begitu, anda harus tetap menghormati peraturan gereja, ya," lanjut Bapa Joshua sembari terus memasang senyuman ramah di wajahnya.     

Mata Lilia membulat sempurna begitu ia mendengarkan kata-kata penuh pengampunan yang diberikan oleh sang pendeta. Kala senyumannya merekah, ia langsung mencondongkan tubuhnya kedepan dengan penuh hormat kepada Bapa Joshua.     

"Terima kasih! Bapa Joshua!" ucapnya terdengar amat bahagia.     

Vienna kembali tersenyum lebar "Syukurlah, Lili," ucapnya.     

"Aku belum bisa memaafkan mu, Vi," balas Lilia hingga menghapuskan senyuman lebar sahabatnya dengan cepat, tingkah mereka kembali menuai tawa pelan pendeta muda itu.     

Kala suasana penuh kebahagiaan itu tercipta, disisi lain, Edward terhalang oleh kebingungannya. Sepanjang mereka saling berbicara, dirinya sama sekali tak menangkap apa yang mereka bicarakan. Hanya senyuman yang menghiasi wajahnya seolah-olah dirinya mengerti segala hal yang mereka katakan.     

Kemudian pendeta itu kembali berbicara seakan ia baru menyadari kembali keberadaan Edward disana "Ah, Tuan Edward. Maaf mengabaikan anda, mungkin anda tidak mengerti apa yang kami bicarakan, ya?"     

"Ah, tidak masalah, saya tidak begitu memikirkannya," ucap Edward dengan santainya.     

"Begitu," Lalu pendeta itu kembali berbicara kepada Lilia "Oh ya, Nona Lilia. Saya datang kesini sebenarnya untuk memberitahu anda jika Raja Uridonia akan datang kemari dan ingin mendengarkan langsung penjelasan anda."     

Lilia terkejut mendengarnya, walau bukan pertama kali ia bertemu dengan seorang pemimpin negeri. Tetapi saat mendengar apa alasannya datang membuat ia merasa tidak enak hingga mengubah seluruh ekspresinya menjadi sedikit murung untuk sesaat dan berganti dengan ekspresi yang kelewat serius "Baiklah, kalau begitu saya akan bersiap. Vi! Kau juga ikut!" ucapnya, menjadi kasar saat memanggil Vienna. Dirinya kemudian menarik zirah gadis itu dan menyeret menuju gereja.     

"Tu--tunggu! Aku bisa jalan ... A--aaaaaaagh!"     

Dua gadis berjalan menjauh–. Tepatnya, seorang gadis menyeret gadis lainnya pergi menjauh dari tempat mereka menuju kearah gereja. Meninggalkan dua lelaki di tempat itu dalam keadaan yang amat tenang, namun terasa begitu canggung untuk beberapa alasan. Kecanggungan yang terasa sangat aneh, begitu terasa tak nyaman.     

Edward sadar akan hal itu hingga ia memutuskan pamit, namun ...     

"Ah, kalau begitu saya permisi.*     

"Tunggu, Tuan Edward. Ada yang ingin saya tanyakan ... Atau mungkin saya harus memanggil anda Tuan Iblis?"     

Wajah Edward menegang sepersekian detik mendengarnya, kemudian dengan cepat berganti dengan senyuman ramah yang selalu ia tunjukkan.     

Dirinya bertanya dengan ekspresi palsu itu "Apa yang anda bicarakan, Bapa Joshua?"     

Pemdeta itu menghela napas pelan dalam senyumannya, seraya ia memejamkan matanya dan berbicara "Meski Nona Lilia dan Vienna tidak menyadarinya, tapi saya bisa merasakan jiwa gelap yang menjadi inti yang membuat anda hidup. Karena itu saya bisa menerka jika anda bukanlah manusia, tetapi seorang Iblis, benarkan?"     

Sekali kagi Edward dibuat terkejut, penjelasan yang amat baru di telinganya hingga terkekeh pria berambut perak itu. Meski tak ada bukti kuat, tetapi Edward melihat jika pendeta itu sama sekali tidak berbohong dalam dugaannya. Terlebih, matanya melihat segala kekuatan yang membuatnya terkesan untuk seukuran manusia, setelah sebelumnya ia terkesan akan kekuatan Jenderak Hertia.     

"Hehee ... Luar biasa, sepertinya memang ide buruk untuk mendekati gereja disaat sedang menyamar. Tapi ya sudahlah. Jadi, apa yang anda inginkan? Jika meminta saya untuk melepaskan penyamaran saya dan kembali, maka saya tidak akan melakukannya, loh."     

Edward berbicara dengan tegas kepadanya hingga menbuat ekspresi Bapa Joshua menjadi rumit. Keningnya mengkerut tajam, matanya sedikit mengecil seakan tak senang akan jawaban Edward.     

"Katakanlah, apa tujuan mu disini sebenarnya? Lalu apakah dirimu menjadi dalang penyerangan ini?"     

Pendeta itu mendesaknya dengan dua pertanyaan sekaligus. Hanya helaan napas yang Edward keluarkan setelah mendengarnya, kemudian ia pun berbicara dengan santainya "Saya tidak keberatan jika diminta untuk menjelaskan, tetapi akan menjadi penjelasan panjang. Karena dari itu ..." mata Edward menatap ke arah kursi yang ada di sampingnya, lalu mengalihkan kembali lirikan matanya kearah Joshua "Jika anda tidak keberatan, bisakah kita duduk dengan tenang terlebih dahulu?" sebuah ajakan yang amat tidak biasa dari mulut seorang Iblis.     

Terkekeh untuk sesaat Joshua mendengarnya "Baiklah, saya juga tidak keberatan," ucapnya kemudian mendekat kearah Edward.     

Dia laki-laki berbeda ras itu salam situasi yang amat menegangkan, meski ekspresi mereka sama-sama lemas terapi dua lelaki itu mengambil segala persiapan dan meningkatkan kewaspadaanya masing-masing.     

Kemudian, lelaki berambut perak disana bersandar di punggung kursi itu sembari menatap langit "Baiklah ... Sebaiknya mulai dari yang mana dulu. Tapi apa tidak masalah? Bisa saja saya berbohong nantinya."     

Pendeta itu langsung membalas "Tenang saja, selama ucapan anda meyakinkan maka saya tidak akan peotes. Lalu, bisakah anda mulai dari pertanyaan pertama? Apa alasan kalian, para Iblis kemari?"     

Mengkerut kening Edward untuk sesaat "Kalian?" tanyanya.     

Pendeta itu langsung membalas "Ya, kalian. Seluruh pekerja di Toko Bellesia adalah para Iblis, kan? Lalu anda adalah pemilik tokonya, benar?"     

Dia mengetahui segalanya, itulah yang mucnul di benak Edward kala mendengar dugannya lagi yang begitu tepat sasaran. Namun, tanpa menunjukkan reaksi terkejut, Edward hanya membalas singkat "Begitu," ucapnya, kemudian ia kembali berbicara "Ya jika anda sudah tahu sejauh itu maka apa boleh buat," seraya berbicara, Edward kembali menegakkan tubuhnya "Kami tidak memiliki tujuan khusus disini. Seperti nama kota ini, tujuan kami hanyalah berdagang. Kami menjual barang-barang yang tidak pernah diciptakan di tanah manusia."     

"Dengan kata lain kalian semua berasal dari Kekaisaran?" tanya Joshua menyela ucapannya.     

"Memangnya para Iblis ada yang tinggal di tempat lain apa? Astaga," balas Edward begitu ketus sebab jengkel "Tapi terserah anda percaya atau tidak, tujuan kami hanyalah untuk berdagang. Kami tidak memiliki niat buruk di kota ini, bahkan untuk mencelakai penduduknya," lanjut Edward menjelaskan tujuannya.     

Joshua kembali bertanya dengan suara serius "Alasan seperti itu ... Apa menurutmu aku akan percaya?"     

Tetapi Edward langsung membalasnya "Sudah kubilang kalau saya tidak peduli mau anda percaya atau tidak, intinya kami sama sekali tidak berbuat hal yang buruk di kota ini."     

Pendeta itu kembali mendesaknya seraya memberikan penawaran yang mengancam "Tolong bicara jujur, jika anda mengatakan semuanya maka saya juga tidak akan bicara kepada siapapun tentang anda ataupun toko anda!"     

Terus mendesak pendeta itu agar sang Iblis mengakui segalanya, ia tak memiliki tujuan lain selain mencari kebenaran yang sesungguhnya. Wajahnya menjadi mengeras penuh emosi kala ia kembali bertanya, namun disaat yang sama pula dirinya terus menahan diri setiap kali memejamkan mata.     

Edward menghela napas berat mendengar penawaran yang terdengar amat konyol diucapkannya "Sudah saya bilang, kan? Tujuan kami tidak lain tidak bukan hanyalah menjual barang-barang yang tidak ada di tanah manusia. Hanya itu, lagipula tidak ada untungnya kami menyerang satu kota secara brutal, benar? Lebih menguntungkan mendapatkan uang dan melihat wajah kepuasan para pembeli akan produk Kekaisaran. Karena dengan begitu kami bisa lebih percaya diri mengatakan jika produk Kekaisaran jauh lebih baik daripada produk buatan umat manusia," tutur Edward sekali lagi, lalu diakhiri senyuman penuh kepuasan.     

Tutur katanya begitu menjengkelkan bagai seorang pedagang yang telah mengalahkan semua pesaingnya, sangat menjengkelkan di telinga Joshua tetapi ia sama sekali tak bisa protes kembali.     

Dirinya menghela napas pelan; seakan ia menerima segala jawaban yang diucapkan oleh Iblis itu, kemudian dirinya kembali bertanya lagi "Lalu, apa itu berarti kalian para Iblis juga tidak terlibat dengan penyerangan kemarin?"     

Kening Edward mengkerut untuk sesaat, kewaspadaannya meningkat kala suara pendeta itu menjadi tajam saat bertanya.     

Lalu Edward pun menjawab dengan lugas "Tidak, kami tidak terlibat dengan mereka. Justru kami juga harus marah kepada mereka karena sudah merusak pintu dan jendela kami, beruntung mereka tidak meledakkan toko kami."     

Penjelasan yang benar-benar sederhana, tak bisa dipercaya dari seorang Iblis yang dikenal juga pandai bersilat lidah. Tetapi pendeta itu tidak memberikan jawaban ofensif kepada Edward.     

"Begitu," balas pendeta itu kemudian dirinya terdiam sembari menyandarkan tubuhnya di punggung kursi kayu panjang itu.     

Jawaban yang amat singkat dan biasa, kening Edward mengkerut keheranan seraya terus melirik kearah pendeta itu.     

"Anda percaya?" tanya Edward tiba-tiba.     

Sembari terus menejamkan matanya, dengan tenang Joshua menjawab dengan pertanyaan "Apakah anda ingin saya tidak percaya?"     

Edward hanya terdiam salam kewaspadaannya, kemudian ia ikut bersandar dan kembali menatap birunya langit.     

Joshua kembali berkata "Saya percaya karena saya sendiri mendengar dari mulut Nona Lilia, jika musuh yang ia lawan adalah seorang manusia. Meski ada kemungkinan jika manusia itu bekerja sama dengan iblis, tetapi saya tidak ingin mengambil keputusan seperti itu," tuturnya terdengar amat bijak sana hingga membuat Edward sekali lagi merasa terheran.     

Edward bertanya kepadanya "Bukankah para pendeta membeci Iblis? Tetapi kenapa anda–."     

"Saya juga tidak menyukai Iblis, Tuan Edward," balas Joshua memtong ucapannya "Sejak dulu saya selalu diceritakan betapa buruknya Iblis dan cerita itu masih melekat di kepala saya sampai sekarang. Tetapi, semakin saya dewasa, saya mengerti betapa berbahayanya Iblis ..."     

"Karena kami dibuat dari kebencian dan kami mudah sekali lepas kendali hingga diselimuti dalam emosi ..."     

"Benar sekali, karena itu ... Meskipun ini pertama kalinya saya bertemu dengan Iblis, saya lebih baik menghadapi anda dengan kepala dingin daripada harus menuturkan segala pertanyaan hanya atas dasar kebencian. Sejujurnya perilaku seperti itu sabgat di benci oleh dewa."     

Penuturan Joshua membuatnya kembali terdiam, tak ada sedikitpun respon yang keluar dari mulut Edward.     

Lalu Joshua kembali berbicara "Karena itu saya tidak ingin sembarangan bicara dan memilih untuk memikirkannya sendiri dibandingkan mendengar apa yang sering orang-orang katakan. Karena itu saya memutuskan untuk percaya ucapan anda karena ucapan anda di dorong oleh pengakuan Nona Lilia jika yang dia lawan adalah seorang manusia."     

Edward menyela ucapannya dengan bertanya "Tapi bukankah anda berkata jika ada kemungkinan kami menyuruh mereka menyerang kota ini?"     

Lalu dengan santainya pendeta itu menjawab "Benar, tapi tidak mungkin anda–para Iblis melakukan hal seperti itu."     

"Kenapa?" tanya Edward lagi kembali melirik kearahnya.     

Lalu pendeta itu tersenyum tipis dan menjawab pertanyaan Edward hingga membuat ia terkejut untuk sesaat.     

"Karena kalian para Iblis lebih senang mengotori tangan kalian sendiri, benar? Dari apa yang ku pelajari, kalian lebih senang mengotori tangan kalian langsung daripada menggunakan boneka. Setidaknya itu yang ku pelajari tentang kalian, aku sudah mempelajari kalian."     

"Huh?"     

Edward membeku untuk sesaat menatapnya dengan keheranan. Penjelasannya sedikit tak bisa ia percaya jika ada seorang manusia yang tertarik kepada mereka, tetapi hal yang paling menbuatnya terkejut adalah senyuman pendeta itu. Senyuman tipis penuh arti seakan memberikan kesan yang sedikit mengerikan untuk Edward.     

Kala ia Edward ingin bertanya, seorang pelayan tepat muncul dihadapan mereka. Ekspresinya dalam sekejap menjadi penuh emosi kala ia melihat seorang pendeta duduk bersebelahan dengan tuannya.     

"Scintia? Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Edward kepadanha.     

Scintia membungkuk sedikit seraya menjawab dengan sedikit menyesal "Maafkan saya. Saya merasa khawatir karena tuan tidak segera kembali ke toko, karena itu saya langsung kemari tapi ...," lirikan mata tajam langsung ia berikan kala ia ingin mengakhiri ucapannya, lirikan yang tepat mengenai Joshua.     

Joshua pun berdiri dari kursinya seraya berkata "Kalau begitu mungkin untuk sampai disini dulu, Tuan Edward. Saya akan menutup mulut saya dari siapapun jika anda adalah seorang Iblis, tetapi satu hal yang saya pinta yaitu saya mohon untuk tidak membuat keributan di kota ini, ya. Saya permisi," tuturnya kemudian berjalan menjauh setelah berpamitan dengan mereka.     

Wajah Scintia menegang cukup lama kala mendengar apa yang pendeta itu ucapkan, kemudian berganti menatap tuannya dengan terheran-heran.     

Merasakan tatapan itu, Edward hanya bisa menghela napasnya dan menjelaskan segalanya kepada Scintia.     

"Ya seperti yang dia katakan jika identitas kita telah diketahui oleh dia."     

"Tapi ... Bagaimana bisa?" tanya Scintia masih terheran.     

"Tidak perlu terheran begitu, meskipun dia terlihat seperti pendeta biasa. Tetapi sebenarnya dia adalah manusia yang cukup hebat."     

"Manusia yang hebat?"     

"Ya, dia adalah anak dari paus, pemimpin gereja di benua ini."     

Edward melihat segalanya dengan matanya, semua identitas lelaki itu ia ketahui dengan mudahnya. Pertemuan yang tak terduga itu memanglah mengejutkan dirinya, namun perkataan sang anak dari paus gereja itu jauh lebih mengejutkan daripada identitasnya.     

To be continue     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.