Kesekian Kalinya X
Kesekian Kalinya X
"Perjalanan para pria, kurasa para wanita harus berada di kerajaan untuk melakukan tugas lain," ujar Raseel kemudian.
Corea mehela napas panjang. "Aku hanya ingin bertanya apa yang akan kami lakukan jika Egara sadar. Apakah kami harus menjelaskan semua detil rencana Raja padanya ataukah membiarkannya paham dengan sendirinya dan mengatur jadwal untuk mengobrol berdua dengan Raja?"
Kaliamt panjang Corea membuat Hatt menertawakan kakaknya yang telah salah duga dengan sang adik.
"Aku ingin bicara berdua dengannya. Tapi tidak apa jika kau mengatakan padanya tentang semuanya. Kulihat kalian kini memiliki hubungan yang baik, maka tidak akan masalah untuk saling berbincang mengenai rencana Kerajaan kedepannya." Raja Wedden menyunggingkan senyumnya dengan anggukan ringan.
Corea mendengkus. Dia kesal dengan Wedden yang tidak jauh berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yang suka sekali menggodanya dengan Egara.
Ketika hendak berbalik, pandangan Corea tertuju pada seorang pelayan yang sedang membawa nampan berisi makanan dan minuman menuju ruang perawatan. Hanya ada Egara di ruangan itu, sehingga pelayan tersebut dapat dipastikan akan memberikan makanan untuk Egara.
"Kurasa dia telah sadarkan diri," ujar Cane yang ternyata juga memperhatikan pelayan yang lewat.
Corea mengangguk. Ditemani oleh Diya, ketiganya menuju ruang perawatan mengikuti pelayan.
Namun sayangnya mereka dihentikan oleh Jeo juga Han di depan pintu. Keduanya juga menahan pelayan dan hanya mengijinkan nampan untuk masuk dengan dibawa oleh Jeo.
"Ketua sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Dia masih sangat lemah untuk beriteraksi," ujar Han yang menahan langkah empat wanita yang hendak menjenguk Egara.
Pelayan itu hanya segera mengangguk paham dan pergi begitu saja. Namun tidak dengan Corea, Cane dan Diya yang masih berdiri di depan pintu hingga menunggu Jeo kembali keluar.
"Apakah dia sudah sadar?" tanya Corea.
"Belum," sahut Han segera. "Kurasa ketua mengalami cidera cukup parah pada bagian kepala sehingga membuatnya membutuhkan istirahat lebih," imbuhnya.
"Begitukah? Kukira dia baik-baik saja karena kemarin ia bahkan sempat berbincang dengan Raja Wedden setelah bertarung," gumam Corea.
"Benar, kami juga tidak tahu kenapa tubuhnya bahkan masih sangat lemah. Hanya sebentar, kalian tidak perlu terlalu khawatir karena kami yang akan menjaganya dengan baik. Kalian kembalilah pada pekerjaan kalian masing-masing." Jeo mempersilahkan ketiga wanita itu pergi.
"Hanya melihat dari kejauhan? Bolehkah?" ucap Corea yang penasaran. Dia merasa tidak masuk akal jika pria yang sebelumnya tidak pernah se-lama ini tidak sadarkan diri.
"Maaf, Nona. Tidak bisa." Jeo dan Han kompak sekali. Keduanya sungguh melakukan tugas dengan baik
Cane lalu menepuk pelan bahu Corea dan mengajaknya ke halaman belakang untuk menyaksikan latihan gabungan prajurit Utara dan Selatan.
Diya menjadi semakin bersemangat ketika ia melihat prajurit Utara mendapat banyak serangan. Diya ikut geram namun dia memilih untuk memantau dari kejauhan.
"Kau ingin bertarung?" tanya Corea pada Diya yang tidak mengalihkan pandangan dari para pasukan yang berlatih.
"Tidak," jawab pengawal pribadi Pangeran Soutra itu
"Jangan sungkan. Aku biasa berlatih dengan orang lain." Corea melanjutkan langkahnya menuju area latihan.
Seperti déjà vu, Corea teringat ia pernah berlatih melawan Egara sebelumnya. Begitupun dengan Cane, ketika prajurit Northan sedang berlatih campuran antara prajurit wanita dan prajuit pria.
"Pedang atau busur panah?" tanya Cane pada Diya. Cane telah bersiap dengan dua jenis senjata tersebut yang dia dapat dari lokasi latihan.
"Pedang saja," jawab Diya.
"Eh tapi bukannya kau juga pandai dengan busur panah?" ucap Cane lagi.
"Ah aku beruntung sekarang menjadi salah satu dari ahli pedang di Utara," sahut Diya.
Cane mengangguk mengagumi. Dia lalu memberikan sebuah pedang pada pengawal Pangeran Soutra.
*
*
Raja dan para pria lainnya
Pengelana wanita dari negeri kecil di sisi barat negeri persei, yang mengaku kabur karena negerinya hancur karena serangan penyihir wanita yang mengerikan.
Famara selalu mendampingi putri Leidy, dia paham dengan wanita yang tidak lagi memiliki kekuatan itu membutuhkan bantuan untuk banyak hal. Karena sekarang Leidy kembali sangat pemilih dalam makanan, juga dia tidak boleh terlalu lelah karenawalau bagaimanapun dia harus ingat kalau selama ini dia selalu ditopang oleh roh alam sehingga dia kini adalah sosok yang lemah.
Kabar mengenai sosok Egara yang tangguh dan tetap baik-baik saja walau telah dua kali bertarung dengan Raja Wedden telah sampai di telinga Raja Raddone. Hal itu membuatnya geram. Dia yang sejak awal tidak menyukai Ketua Pasukan Selatan itu kini mulai berpikir kalau Egara benar-benar berbahaya.
Namun di sisi lain, dia juga ingin mengenal dan menjalin hubungan baik dengan pria itu. Karena dia melihat Raja Wedden sangat mempercayainya, sehingga aka nada kesempatan bagus untuk Raddone untuk mendapatkan bagian dari wilayah Selatan.
Pesta masih belum selesai, putri Leidy menghampiri Raja Raddone untuk menyerahkan surat dari burung merpati pada kakaknya yang sedang berbincang dengan beberapa penduduk.
"Ada apa?" Raddone menerima kertas gulungan dengan wajah bingung.
"Kurasa ini penting," ujar putri Leidy.
Raja Raddone lalu mencari tempat yang lebih sepi untuk membaca isi surat itu dengan tenang. Dia lalu mehelakan napas panjang setelahnya.
"Ada apa?" tanya Putri Leidy balik.
"Akan kita urus setelah selesai pesta." Raja Raddone menyerahkan kertas gulungan itu kembali pada adiknya. "Kau tidak perlu cemas, istirahatlah. Ini bukan sebuah masalah," ujarnya lagi menenangkan.
Putri Leidy yang telah membaca isi surat itu hanya mengangguk pelan. Dia selalu menurut dengan perkataan sang kakaknya.
"Apakah akan ada perang lagi?" gumam putri Leidy.
"Hey! Tidak perlu memikirkan hal yang tidk-tidak. Istirahat sajalah kau. Lagipula di dalam surat Raja Wedden jelas mengatakan kalau kita hanya perlu menambah lapisan pertahanan agar tidak dapat ditembus oleh serangan dari luar dalam bentuk apapun. Ini bukan peringatan perang atau semacamnya. Mengerti?" Raja Raddone menatap Leidy lekat, ia lalu mengusap pelan kepala adiknya.
"Kakak akan pergi ke Selatan?" tanyanya.
"Emm, lusa. Kurasa." Jawab Raja singkat.
Putri Leidy kembali mengangguk.
"Kau ikut?"
"Apakah boleh?"
"Tentu."
Leidy lalu tersenyum dan mengangguk. "Aku akan ikut berlatih."
Raddone mengerutkan dahinya. "Tidak perlu melakukan hal tidak masuk akal, Leidy. Kau cukup diam. Mengerti?"
Putri Leidy lalu tertawa samar. Senang sekali dia melihat kakaknya itu kesal terlebih menyangkut keselamatan dirinya.
"Kakak sangat menyayangiku, ya?"
"Ah menurutmu?"
Leidy menyeringai. "Kukira Famara telah merebut kasih sayangmu untukku."
Raddone mehela napas panjang. "Kau ingin membahas hal ini untuk kesekian kalinya? Lagi?" ucapnya seraya melipat kedua tangannya.
Leidy sedikit cemberut. Namun dia mempersilahkan kakaknya itu untuk pergi menyelesaikan urusannya.
Ia kemudian menuju meja makan. Kembali ia memakan beberapa butir buah dan kembali ke kamar. Pesta yang diadakan untuk dirinya itu akan segera berakhir mengingat sang Raja yang akan berganti kegiatan.