Panglima Cane
Panglima Cane
Corea yang telah mendapatkan ijin sang ayah untuk mengabdi di Selatan bersama dengan Cane, teman lamanya, tidak lagi mengkhawatirkan suatu hal apapun mengenai kerajaannya sendiri. Selain sang ayah masih sanggup untuk memimpin, mereka masih memiliki dua pangeran yang memiliki kemampuan untuk mengurus segalanya.
Selain diberi tugas untuk menjaga dan mengurus kerajaan, Cane dan Corea lebih focus untuk mengurus pasukan perang.
Seluruh pasukan yang didominasi pria banyak berlatih bersama dengan dua peri wanita itu. Pangeran Ren hanya sesekali berkunjung untuk membantu. Dia tidak dapat menghabiskan banyak waktu di Selatan, karena sama dengan Hatt dan Raseel. Ren juga memiliki tugas di wilayah kepemimpinannya.
Masih berbincang sebelum masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat, Cane dan Corea dikejutkan dengan kedatangan seorang pelayan yang terburu-buru dengan membawa sebuah baki berisi kain juga wadah air.
"Putri! Ah ya ampun kenapa kalian lambat sekali pulang." Pelayan wanita paruh baya itu mengatur napasnya yang terengah.
"Ada apa? Kenapa kau berlari dan panic seperti ini?" Cane mengerutkan dahinya, Corea memandangi pelayan itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Seseorang sedang sakit?" tanya Corea.
Pelayan itu menggeleng cepat. "Para prajurit ricuh saat berlatih rutin, beberapa diantara mereka cidera karena serangan prajurit lainnya. Ah sangat mengerikan jika kujelaskan."
"Ricuh? Maksudmu, mereka berkelahi sungguhan?" Cane mengerutkan dahinya.
Tanpa aba-aba lagi, keduanya segera menuju tempat perawatan para prajurit yang cidera dengan ditemani oleh pelayan.
"Sebenarnya ada apa? Kenapa bisa berkelahi?" ucap Corea.
"Aku tidak tahu, kami hanya berani melihat dar kejauhan dan segera memberikan pertolongan saat Prajurit Egara melerai mereka."
Egara adalah salah seorang prajurit kepercayaan yang juga merupakan kepala pasukan pria di Selatan yang sebelumnya merupakan salah satu tentara Kimanh.
"Apa mereka baik-baik saja? Masih bisa beraktifitas?" Tanya Corea.
Pelayan itu tida menjawab, dia hanya terus berjalan lalu berhenti di depan pintu ruang perawatan.
Terdengar suara gumam dari arah dalam, Cane dan Corea dapat memperkirakan berapa jumlah orang yang dirawat di dalam.
Pelayan lalu membukakan pintu dan masuk bersama dengan dua wanita yang masih berpakaian resmi karena pulang dari acara.
Hening.
Semua orang yang sebelumnya rebut menjadi tenang saat melihat Cane dan Corea. Masih ada ekspresi marah diantara mereka, namun juga ada penyesalan terlebih karena tubuh mereka yang cidera.
"Siapa yang bertanggungjawab untuk hal ini?" ucap Cane lantang. Suaranya menggema di seluruh ruangan membuat semua orang semakin diam dan hanya sesekali melirk rekan yang lain.
"Aku, Putri."
Sahut seseorang dari arah pintu, lebih tepatnya dibelakang kedua peri wanita itu.
"Maafkan aku. Aku melatih mereka untuk menganggap kalau mereka sedang bertarung sesungguhnya. Aku juga menawarkan hadiah untuk mereka yang dapat menumbangkan lawan dalam waktu singkat. Aku tidak memperkirakan kalau hal itu akan membuat mereka terlalu bersemangat dan justru membahayakan diri mereka sendiri. Aku siap menerima hukuman darimu atas kejadian ini, Putri." Egara menundukkan kepalanya dengan tulus.
Pria dengan lencana kehormatan dari Raja Wedden itu berdiri mematung di hadapan Cane dan masih terus menunduk sebelum diberi jawaban atas permintaan maafnya.
Corea berdecak setelah mendengar penjelasan dari Egara. Pria berambut coklat panjang sebahu itu memang terkenal brutal, namun sama sekali tida terpikir oleh Corea kalau akan terjadi hal seperti ini.
Banyak diantara para prajurit yang tangannya diperban, kaki mereka digantung karena cidera parah, lalu wajah mereka mengalami lebam serius. Beruntung, tidak ada diantara mereka yang hingga tewas karena jika dilihat dari bekas luka, mereka pasti benar-benar menggunakan kekuatan penuh saat berlatih.
"Ikut denganku!" Cane segera keluar dari ruangan itu. Egara mengikuti dari belakang masih dengan menundukkan kepalanya.
Sementara Corea mengecek keadaan prajurit yang terbaring di tempat perawatan satu per satu.
"Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi," ujar Cane setelah ia dan Egara berada diluar ruang rawat.
"Seperti yang kukatakan tadi, Putri." Suara Egara sama sekali tidak goyang, tidak terdengar ketakutan karena bersalah.
"Kau mendapatkan apa yang kau inginkan?"
"Maaf?" Egara menatap Cane, dia tidak mengerti sepenuhnya dengan pertanyaan itu.
"Apa kau menemukan yang terbaik diantara mereka? Kau menemukan kriteria prajurit yang kau inginkan?" ucap Cane lagi.
Egara menarik napas panjang, lalu dia mengangguk samar. "Semuanya terbaik. Sungguh. Aku hanya perlu belajar untuk tidak terlalu keras dengan mereka."
Hening sejenak.
"Aku masih terbawa kebiasaan lama saat berlatih bersama pasukan kegelapan. Maafkan aku. Aku akan lebih baik lagi."
"Ah aku tidak berhak marah ataupun menghukummu karena kita sama-sama prajurit. Lagpula tidak ada yang hingga parah sekali, kurasa Rajapun akan memaafkanmu. Hanya saja ini cukup mengejutkan. Belum pernah sebelumnya kau mengadu mereka seperti ini, sedikit berlebihan menurutku." Cane melipat kedua tangannya.
Egara diam sejenak, lalu dia kembali bicara. "Jika boleh jujur. Aku memiliki firasat kalau kita akan kembali menghadapi perang. Maka dari itu aku ingin pasukan kita benar-benar kuat dan siap menghadapi pertarungan yang sesuangguhnya."
Cane tertarik dengan kalimat itu. "Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?" tanyanya heran.
"Aku masih memiliki darah peri, walau tidak seberapa. Aku mendapatkan mimpi mengenai suatu hal yang akan terjadi di masa depan. Lalu … aku mendapatkan mimpi tentang perang dan pertumpahan darah," ujar Egara menjelaskan.
Cane diam menyimak.
"Ah tentu saja kita berbeda. Kau peri Hutan, aku adalah anak peri petarung dengan ibu yang seorang penyihir dari Barat. Kurasa …,"
"Dimana?"
"Ehh?"
"Perang yang kau lihat dalam mimpimu. Itu terjadi dimana?" tanya Cane yang rupanya menanggapi serius.
"Seluruh wilayah. Berangsur, namun semuanya rata dengan tanah," jawab Egara.
"Emm. Kita harus mempersiapkan semuanya dengan baik. Perang ataupun tidak, pasukan kita harus menjadi yang terbaik dan tidak terkalahkan. Benar, 'kan?" ujar Cane.
Egara mengangguk. Sesekali dia menyingkirkan helai rambut yang menutupi bagian wajah.
"Kembalilah. Au hanya minta kau ikut membantu penyembuhan para prajurit yang cidera. Aku besok ikut berlatih denganmu. Kudengar Pangeran Ren juga akan berkunjung, kita bisa beradu kekuatan dengan pasukan Utara jika memungkinkan," kata Cane.
Egara mengangguk. Dia tida memberikan respon lainnya dan segera berbalik untuk pergi menuju tempatnya istirahat.
Sedikit diliriknya ruangan rawat para prajurit lalu dia melanjutkan langkahnya.
Banyak pelayan yang merawat, maka tidak ada yang perlu dikahwatirkan secara berlebihan. Hanya saja, mereka masih perlu menunggu reaksi Raja Wedden jika mengetahui mengenai hal ini.
Prajurit cidera saat berlatih memang sangat biasa, namun jika jumlahnya sampai puluhan dan semuanya membutuhkan perawatan intensif maka perlu diiperbaiki sistemnya.
***