Kebaikan
Kebaikan
"Masih jauh. Kamu bisa tidur kalau mau."
"Kenapa harus ke sana? Kita kan bisa cari yang deket."
"Karena aku pengen ngajak kamu ke sana." ujar Astro sambil menatapku sesaat sebelum mengalihkan pandangannya. "Aku udah ijin ke opa kok."
Kami sedang berkendara di tengah sebuah perbukitan. Banyak pohon tinggi dan rindang di sekitar kami dengan sinar matahari yang mulai berubah menjadi jingga ke abu-abuan. Sinar matahari senja memberi kesan hangat pada sosoknya yang kini sedang kutatap lekat.
Aku selalu suka senja, cantik dan hangat. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang, kembali lagi padaku. Kurasa aku sudah lama tak menikmatinya seperti ini, karena ada terlalu banyak hal yang terjadi.
"Aku boleh nanya?" kurasa aku akan memberanikan diriku kali ini.
"Boleh."
"Kenapa kamu baik sama aku?"
"What kind of question is that (Pertanyaan macem apa itu)?"
"We've been together for five years (Kita udah bareng lima tahun ini), Astro. Don't you think it's a bit ... odd (Kamu ga mikir kita ... aneh)?"
"Kenapa harus mikir begitu?" Astro bertanya dengan alis mengernyit mengganggu.
"Kita bahkan ga punya hubungan keluarga."
Astro terdiam.
"Kamu beneran ga ngerti maksudku?"
"Aku tau maksud kamu."
"Trus?"
Astro menghentikan laju mobilnya di sisi jalan. Bias matahari di sisi tubuhnya membuatnya terlihat tampan sekali. Bahkan kurasa, jantungku baru saja berdetak lebih kencang.
"Kamu masih belum terbiasa nerima kebaikan setelah bertahun-tahun?"
Aku menghela napas perlahan, "Mungkin ..."
"Aku akan kasih kamu lebih banyak kebaikan kalau gitu, biar kamu biasa." ujar Astro sambil menggeser tubuhnya menghadap ke arahku. "Kamu ga harus ngerasa bisa ngelakuin semuanya sendirian, kamu tau?"
Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. Aku tak mengerti bagaimana harus menjelaskannya padanya.
"Aku tau kamu ga pernah mau ngerepotin siapapun. Tapi aku ga pernah keberatan kalau kamu bagi ke aku sedikit beban kamu. Aku bahkan akan minta lebih, kalau aja aku ga tau kamu terlalu sungkan buat minta."
"Bukannya itu berarti kamu yang terlalu baik?"
"Trus kenapa kalau aku terlalu baik?"
Aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku hanya sanggup melihat sosoknya yang mulai terlihat gelap karena matahari mulai menghilang.
"You may have a girlfriend one day (Kamu mungkin bakal punya pacar nanti)." aku mengeluarkan kalimat itu pada akhirnya.
"So this is all about if I may have a girlfriend (Jadi ini semua tentang gimana kalau aku punya pacar)?" Astro bertanya dengan senyum yang lebar sekali. Entah apakah aku hanya berhalusinasi, tapi dia tampan sekali. Sangat tampan.
Aku menatapnya dalam diam. Aku tak memiliki cara lain bagaimana harus menjelaskan hal itu padanya lagi.
"Kamu ga perlu khawatir soal itu."
Kurasa kali ini aku yakin Astro memang memberiku senyum menggodanya yang biasa. Ada sedikit cahaya mengenai tubuh kami saat dia menyalakan mobilnya dan kembali melaju.
Hatiku masih dipenuhi berbagai perasaan yang mengganjal. Benarkah aku tak perlu merasa khawatir andai saja nanti Astro memiliki pasangan?
Kurasa aku terlalu lelah untuk melanjutkan pembicaraan kami. Bahkan sepertinya aku tertidur selama beberapa lama sebelum aku membuka mataku lagi dan mendapati kami sudah berhenti di depan sebuah resort dengan restoran outdoor yang luas sekali.
"Udah bangun?" aku mendengar suara Astro bertanya.
Saat aku menoleh, Astro sedang menyandarkan tubuhnya di kemudi dengan tangan yang menopang kepalanya. Dia menatapku dengan tatapan seakan aku akan pergi jika dia mengedipkan mata.
"Kamu nunggu aku bangun?" aku bertanya.
Astro hanya menggumam mengiyakan.
"Berapa lama?"
"Sekitar sepuluh menit."
"Lain kali kamu bisa bangunin aku kalau emang kita udah sampai."
"Nungguin kamu tidur ga masalah kok buatku. Mau masuk sekarang?"
Aku mengangguk, lalu mengikuti Astro berjalan memasuki restoran dalam diam. Aku baru menyadari ada kanopi transparan yang melindungi di atas kami. Membuat bulan, bintang dan seisi langit malam terlihat dengan jelas, dengan udara yang terasa sejuk menenangkan.
Alih-alih mengambil duduk di salah satu meja yang tersedia, Astro membawaku masuk lebih dalam. Dia menyapa seseorang yang berpakaian chef yang sepertinya berusia sekitar 25 tahun atau lebih. Entahlah aku tak dapat menebaknya, aku mungkin saja salah mengira.
"Ray ..." Astro menyapanya.
"Hei Astro." dia menepuk bahu Astro, kelihatannya mereka dekat.
"Ini Faza." ujar Astro sambil memberi isyarat pada Ray ke arahku.
Aku menundukkan bahuku sedikit sebagai tanda perkenalan. Aku tak yakin untuk menjabat tangannya karena aku tak yakin kenapa aku diajak bertemu dengannya.
"Ray ini sepupuku, chef di sini." ujar Astro seolah mampu menebak pikiranku.
"Akhirnya dibawa ke sini ya?" ujar Ray sambil tersenyum padaku, lalu memberi tatapan iseng pada Astro. "I am ready to serve you (Aku siap melayani kalian). Ada menu khusus yang mau kalian makan?"
"Tolong bikinin steak sama apa aja yang ada, aku tunggu di atas." ujar Astro sambul berjalan menjauh. Aku hanya berjalan mengikutinya.
Di dapur itu ada sebuah ruang terbuka, dengan banyak pohon di sekelilingnya. Ada sebuah tangga tak jauh dari deretan oven besar yang menguarkan aroma manis.
Aku mengikuti Astro menaiki tangga itu dan menemukan sekitar tujuh pasang meja yang tersebar di beberapa tempat. Astro memilih satu meja dekat teralis baja berukir rumit, yang mengingatkanku pada desain jaman berpuluh tahun lalu. Aku duduk tepat di seberang Astro.
Kami bisa melihat keadaan sekeliling lebih baik dari ketinggian ini, seluruh tempat terlihat begitu jelas dan berpendar cantik dengan cahaya lampu yang menerangi. Di bawah sana, di deretan meja di bawah kanopi transparan, ada banyak pasangan dan keluarga sedang menikmati kebersamaan mereka, membuatku mengingat keluargaku yang meninggalkanku lima tahun yang lalu.
"Kamu suka?" Astro bertanya.
Aku menggumam mengiyakan, "Tempatnya bagus, aku suka."
Sesaat kemudian, seorang pramusaji tiba di sebelah kami. Dia mengantarkan dua gelas air, dua gelas jus jeruk dan sekeranjang penuh berisi roti dengan butter di sebelahnya. Astro mengucapkan terima kasih sebelum pramusaji itu pergi.
"Kamu inget kamu penah bilang mau tau tentang aku?" ujar Astro sambil menatapku lekat.
Aku menggumam mengiyakan dengan jantung mulai berdetak kencang, entah kenapa aku merasa gugup.
"Aku mau kasih tau kamu satu. Tempat ini punyaku." ujarnya dengan tenang.
Aku terdiam selama beberapa lama sebelum membuka suara, "Mm ... maksudnya?"
"Resort sama restoran ini punyaku."
Aku berusaha mencerna kalimat Astro lama sekali hingga akhirnya aku memberanikan diri bertanya untuk memastikan pemahamanku, "Maksudnya gimana? Kamu yang punya tempat ini? Ownernya gitu?"
"Iya. I own this place (Aku pemiliknya)."
Sepertinya otakku berhenti berpikir sekarang. Aku hanya mampu menatap kedua manik matanya dalam diam. Dia tenang sekali, yang entah bagaimana justru membuatku berpikir dia sedang bercanda.
"Ga ada yang tau kecuali keluargaku, dan ... opa kamu."
"Sebentar ..." ujarku yang tak sanggup melanjutkan kalimatku. Kurasa aku sedang merasa aku bodoh sekali. Apa yang baru saja dia katakan?
Astro menatapku lama sekali. Aku tahu dia sedang menungguku mengatakan sesuatu.
"Bisa kamu jelasin? Kayaknya aku sama sekali ga ngerti." ujarku yang akhirnya aku menyerah menggunakan kemampuan berpikirku.
Bagaimana mungkin seorang anak laki-laki yang bahkan belum menyelesaikan pendidikan SMA-nya memiliki sebuah resort dan restoran seluas dan sebagus ini? Berkali-kali aku mencoba berpikir bahwa dia pasti sedang bercanda, tapi entah kenapa kurasa dia mengatakan yang sejujurnya.
Astaga, dia benar-benar keterlaluan andai dia sedang mengerjaiku sekarang. Coba lihat tatapannya yang begitu tenang....
=======
Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Btw, kalian bisa panggil aku -nou-