Abstrak
Abstrak
Astro benar. Galeri ini memang sedikit lebih kecil, tapi tak mengurangi rasa penasaran orang saat melihatnya. Galeri di depan kami memiliki gaya bangunan modern, dengan cat warna-warni dan desain abstrak yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan bangunan di sekitar yang cukup padat.
Astro cukup dekat dengan Kak Sendy hingga kurasa Kak Sendy pasti memberitahu Astro bahwa galeri di Semarang memang sengaja dibangun untuknya. Kak Sendy pernah memberitahukannya padaku dan Zen, tapi Kak Sendy meminta kami merahasiakannya.
Astro mengamit tanganku dan mengajakku masuk. Ada Kyle yang menyusul di belakang kami. Dia memberi kami ruang untuk berjalan lebih dulu.
Kami melihat seorang pria di lobi yang sedang menatapi jam di lengannya. Sepertinya dia sedang menunggu sesuatu atau seseorang.
Astro mengajakku menghampirinya, "Sore, dengan Pak Kamto?"
Pria itu mengangguk dan tersenyum, "Sore, Den Astro, Non Faza."
Ternyata Pak Kamto sudah mengenali kami. Aku tersenyum padanya dan menundukkan bahu sebagai tanda salam. Dia melakukan hal yang sama sebagai balasan, lalu aku mengedarkan tatapanku ke sekeliling. Hanya ada sedikit pengunjung yang terlihat oleh penglihatanku.
"Udah mau tutup ya, Pak?" aku bertanya.
"Masih buka untuk umum sampai satu jam lagi, tapi khusus untuk Den Astro dan Non Faza saya bisa nemenin sampai jam tujuh." ujar Pak Kamto.
Aku melirik jam di lenganku, pukul 16.04. Itu berarti galeri tutup jam lima sore. Aku menoleh untuk menatap Astro, "Sampai jam enam aja, ya?"
"Sampai kamu selesai, Honey. Kita cuma bisa ke sini hari ini. Batas waktunya jam tujuh karena Pak Kamto ada urusan lain. Betul?" Astro bertanya sambil menoleh pada Pak Kamto.
"Betul." ujar Pak Kamto dengan senyum masih mengembang di bibirnya. "Mari, saya antar keliling."
Astro menarikku mengikuti langkah Pak Kamto sebelum aku sanggup menjawab. Kami berjalan melewati lobi panjang dengan banyak lukisan khas buatan Om Hanum di kedua sisinya sebelum sampai ke sebuah ruangan besar yang terbagi menjadi sekat-sekat tak beraturan, yang justru membuatku merasa yakin bahwa galeri ini memang sengaja dibuat mengikuti gaya abstrak sesuai dengan cat dinding luar gedung.
Pak Kamto adalah seorang pria berusia sekitar 43 tahun, dengan tinggi hampir menyamai Astro dan tubuh kurus dibalut kemeja panjang motif batik Sawunggaling khas Surabaya. Sikapnya santun walau nada suaranya keras dan tegas.
Pak Kamto menjelaskan padaku apa saja yang ada di galeri ini. Fungsi ruangannya, juga semua benda di dalamnya. Lukisan, patung, kerajinan gerabah, bahkan jenis kayu pembuat furniture. Semuanya dijelaskan dengan gamblang olehnya.
Harus kuakui aku merasa sesak saat mengingat seharusnya aku akan menjadi salah satu pengurus di galeri ini. Aku bisa membayangkan betapa menyenangkan berkutat dengan semua karya seni yang berada di sekelilingku walau hanya bisa mengurusinya setengah hari.
Aku bisa menaksir harga masing-masing dari semua yang terpajang. Aku juga bisa menaksir berapa dan bagaimana Om Hanum membutuhkan tenaga untuk memelihara mereka dengan sepatutnya. Memelihara sebuah karya seni tak bisa dilakukan oleh sembarang orang karena membutuhkan cinta dan dedikasi dari hati.
Satu-persatu pengunjung yang datang menghilang saat ada pengumuman jam galeri akan ditutup. Namun Pak Kamto masih terus menjelaskan sebuah keramik koleksi berharga dari Dinasti Tang, seolah perginya pengunjung yang lain bukanlah masalah baginya.
Kami tiba di depan sebuah tangga artistik saat Pak Kamto terlihat bingung sambil merogoh saku celananya. Dia merogohnya lebih dalam untuk memastikan sesuatu, tapi sepertinya benda yang di cari tak ada di sana.
"Maaf saya tinggal ke kantor sebentar. Ada yang ketinggalan. Den Astro sama Non Faza tunggu di sini ya, nanti kita ke atas sama-sama." ujar Pak Kamto sambil menundukkan bahu dan berlalu.
Aku menoleh untuk menatap Astro. Dia sedang menaikkan bahu tanda tak tahu apa yang sedang dicari oleh Pak Kamto. Kurasa kami memang hanya perlu menunggu sebentar, maka aku menyandarkan punggung ke teralis baja berwarna hijau biru laut dengan desain modern.
"Kamu suka?" aku bertanya pada Astro karena dia sedang mengedarkan tatapannya ke sekeliling.
"Aku suka nemenin kamu ke mana aja." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Maksudku sama galerinya. Semua karya seninya. Mana yang paling kamu suka?"
Astro terlihat berpikir serius sebelum menjawab dengan senyum lembut, "Aku paling suka kamu. Karya seni paling sempurna yang pernah ada."
Aku hampir saja tertawa melihat tingkahnya andai tak ada seseorang yang kusadari sedang menatap kami di sudut mataku. Aku tersenyum lebar dan menundukkan bahu sebagai tanda salam padanya.
"Faza kan?" dia bertanya sambil menghampiri kami.
"Iya, Dok. Dokter Alena apa kabar?" aku bertanya saat dia sampai di sisi kami.
Dokter Alena menatap kami bergantian dengan tatapan menyelidik, "Saya baik. Kalian berdua sehat ya?"
Kami berdua mengangguk sambil terus mengganggam tangan satu sama lain, yang sekarang sedang ditatap oleh Dokter Alena dengan terang-terangan. Dokter Alena bahkan tersenyum saat menatap tangan kami yang masih saling tertaut walau sudah ditatap dengan demikian intens.
"Dokter ga ada jadwal praktek ya hari ini?" Astro bertanya dengan senyum terkembang di bibirnya.
"Saya ambil cuti hari ini karena sengaja mau ke sini. Kalian suka seni juga?" Dokter Alena bertanya.
Astro menoleh padaku, "Saya nemenin istri keliling galeri karena dia pelukis yang haus inspirasi."
Aku menatapnya tak percaya, tapi ada senyum lebar mengembang di bibirku. Bagaimana pun Astro benar.
"Kamu pelukis?" Dokter Alena bertanya dengan terkejut.
"Cuma hobby kok, Dok. Suka aja." ujarku sambil berusaha mengendalikan senyum yang sepertinya tak akan pergi dalam waktu dekat.
"Bohong, Dok. Dia pro, cuma ga mau ngaku." ujar Astro yang terus menggodaku.
Aku mencubit lengannya, tapi seperti biasa, cubitanku tak berefek apapun padanya. Laki-laki ini benar-benar bersikap jujur padaku beberapa waktu belakangan ini.
"Saya ada satu pasien yang suka ngelukis, tapi sayangnya dia ga tinggal di sini. Kalau tinggal di sekitar sini saya bisa kenalin ke kalian. Lukisannya bagus banget. Dijual di satu galeri tetap, tapi dia pakai nama samaran."
"Nama samaran?" Astro bertanya.
Dokter Alena mengangguk, "Nama samarannya Suzu. Dari bahasa Jepang, yang artinya umur panjang."
Umur panjang? Berapa umur panjang bagi manusia untuk terus hidup? Astaga ... kenapa aku justru memikirkan hal ini? Aku masih sangat muda, tapi usia muda tak menjamin aku akan tetap hidup hingga tua, bukan?
Entah bagaimana seperti ada aliran es menjalari tengkuk dan membuat bulu halusku meremang. Membayangkan kematian tak pernah terasa baik bagiku. Terlebih, setelah aku kehilangan keluargaku bertahun yang lalu.
"Aku titip salam kalau Dokter ketemu lagi sama ... Suzu." ujarku ragu-ragu karena aku khawatir salah menyebut nama samarannya. Bagaimanapun nama itu terdengar aneh saat diucapkan.
Dokter Alena mengangguk, "Kalian ga pulang? Galerinya mau ditutup sebentar lagi."
Astro menoleh padaku sebelum kembali menatap Dokter Alena, "Kita ada kenalan di sini dan dia mau nemenin kita keliling sebentar. Soalnya cuma hari ini aja kita bisa ke sini, Dok. Kita mau pindah semester depan."
"Pindah ke mana? Bukannya kamu masih semester dua di sini?" Dokter Alena bertanya dengan nada terkejut yang jelas sekali.
"Kita mau ke Jerman, Dok." ujarku.
Dokter Alena menatap kami berdua bergantian sebelum menatapku lekat, "Kamu sakit?"
"Ga sakit kok." ujarku dengan senyum manis. "Keluarga yang nyaranin kita pindah ke sana. Kita cuma nurut aja."
Dokter Alena terlihat lega, "Saya pikir kamu sakit. Kayaknya agak beda gitu. Gemukan ya sekarang?"
Aku menatap tubuhku sendiri dengan canggung. Sepertinya Dokter Alena benar, aku memang lebih gemuk. Sejak aku memimpikan anak kecil beraroma amis itu aku memang makan lebih banyak dari biasanya.
"Maaf saya lama." ujar Pak Kamto saat sampai di sisi kami dan menatap kami dengan canggung. "Kita lanjut ke atas ya?"
Astro dan aku mengangguk, tapi kami menatap Dokter Alena dengan canggung. Bagaimana sekarang?
Dokter Alena hanya mengangguk seolah mengerti dengan situasi yang terjadi, "Lanjutin touring kalian. Saya mau pulang."
Astro mengangguk dan mengajakku menaiki tangga. Dikuti Pak Kamto di sebelah kami.
Aku menoleh dan menundukkan bahu pada Dokter Alena, tapi aku justru melihat Kyle mengikuti kami di belakang. Dia berpapasan dengan Dokter Alena dan entah kenapa Dokter Alena justru menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku sempat menebak mungkin Dokter Alena mengira kami sedang diikuti, tapi sepertinya arti tatapannya bukan itu.
Aku baru menyadari arti tatapan itu setelah kami sampai di anak tangga paling atas. Tatapan itu terlihat seperti sedang mengingat sesuatu.
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-