Jerman
Jerman
Sebetulnya aku sudah mengetahui tentang hal itu. Kyle memberikan laporan sidang hari ini dan aku sempat membacanya bersama Astro setelah kami menyembunyikan tombak kami di tempat yang aman.
"Ayah udah ngabarin Kakek Arya?" Astro bertanya sambil mengelus jariku yang sejak tadi dia genggam.
"Belum. Ayah nunggu investigasinya selesai dulu. Kalian jadi pulang dua minggu lagi kan?" Ayah bertanya.
"Jadi, Yah, tapi kita mau ke galeri sebentar buat nganter lukisan ke Sendy. Mungkin ketemu sama temen-temen Faza juga. Ada yang penting banget yang mau Ayah bahas?"
"Ada banyak data peninggalan Ana yang perlu kita bahas. Sebenernya Ayah mau ngajak kalian nginep di villa aja, tapi kalau Faza mau ketemu Sendy, ga pa-pa nanti aja kapan-kapan kita ke villa. Kalian mau ke sini jumat malem?"
"Astro belum tau. Nanti Astro kabarin."
Aku mengelus wajah Astro untuk memintanya menatapku. Aku bicara tanpa suara, "Opa."
Astro mengangguk, "Kita kayaknya nginep di rumah opa dulu, Yah. Ada yang kangen berat."
Aku memukul bahunya pelan, tapi aku tersenyum. Aku tahu Astro tak akan tega membiarkanku tak bisa bertemu dengan Opa dan Oma jika kami pulang.
Ayah menggumam mengiyakan, "Kalian emang harus ketemu opa. Terakhir Ayah ke rumah opa, opa kelihatan lebih kurus."
Entah bagaimana, terasa ada sesuatu yang menggeliat di perutku. Terakhir kali kami pulang dan bertemu Opa, Opa memang berkata Opa sedang sibuk melakukan sesuatu. Namun jika Ayah mengatakannya seperti itu, mungkin sekarang Opa memang lebih kurus dibandingkan saat terakhir kali kami pulang.
Dalam percakapanku dengan Oma melalui telepon setiap pagi, Oma selalu berkata mereka baik-baik saja dan sehat seperti biasanya. Mungkinkah Oma hanya tak ingin membuatku khawatir?
Aku menyandarkan dahi di bahu Astro dan berpikir andai aku masih bersama Opa dan Oma. Betapa naifnya diriku. Opa lah yang memaksaku mengikuti Astro ke Surabaya. Aku bahkan tak bisa membantah kalimat Opa saat itu karena Oma juga hanya setuju dengan keputusan yang Opa berikan.
"Astro usahain sabtu siang atau sore udah di rumah. Waktunya cukup kan?" Astro bertanya sambil terus mengelus jariku.
"Semoga cukup. Kalau ga cukup kalian bisa bawa datanya pulang dan kalian liat sendiri. Nanti datanya Ayah pindah."
"Makasih banyak, Yah."
Ayah menggumam mengiyakan, "Kerjaan kamu udah selesai?"
"Udah satu jam yang lalu."
"Bagus. Kamu harus terus disiplin. Jangan mentang-mentang hidup jauh dari orang tua malah seenaknya ngatur jadwal. Sukses ga bisa jadi nyata kalau kamu santai-santai, kamu tau kan?"
"Astro tau, Yah. Ayah ga perlu khawatir."
"Faza udah istirahat?"
"Udah. Ada lagi yang mau Ayah bahas?" Astro bertanya sambil mengecup puncak kepalaku.
Sebetulnya kami baru saja selesai makan malam dan sedang berbincang di tempat tidur sebelum Ayah menelepon beberapa saat lalu. Walau Astro memang sudah menyelesaikan pekerjaannya, tapi kurasa dia akan mengerjakan entah apa jika dia sudah mengantarku tidur nanti.
Aku tahu dia baru saja berbohong pada ayahnya dengan berkata aku sudah beristirahat. Aku tahu dia ingin aku mendengarkan pembicaraan mereka dengan leluasa. Walau harus kuakui, kepalaku sedang terasa berdenyut mengganggu.
"Hubert punya rencana, mau pakai Gerard jadi umpan buat Faza. Ini baru dugaan Ayah, tapi Ayah yakin." ujar Ayah dengan jelas yang membuat bulu halusku meremang. "Kamu harus jaga Faza baik-baik. Kamu tau kan perempuan lebih sering kebawa perasaan?"
"Astro tau, Yah. Apa rencana om Hubert buat Faza?"
"Tadinya mau dateng ke galeri Hanum di Surabaya, tapi setelah tau Faza batal jadi pengurus mungkin dia cari cara lain. Bisa minta Faza ga stand by di workshop dulu sementara waktu? Ayah khawatir Hubert ke sana."
Aah....
"Astro usahain." ujar Astro sambil melepas genggaman tangannya dan mulai mengelus kepalaku.
"Perlu Ayah tambahin bodyguard buat kalian?"
"Ga perlu, Yah. Ini aja cukup kok. Lagian kita udah janji ga akan kabur lagi. Kita akan lebih hati-hati."
Ayah terdiam sesaat sebelum bicara, "Sebenernya Ayah ada rencana lepas kalian ke luar negeri. Kalian lanjutin kuliah di sana. Mungkin kalian lebih aman dari gangguan. Kita bisa hapus jejak kalian. Itu urusan gampang."
Pindah keluar negeri? Astaga ... yang benar saja?
Tiba-tiba saja detakan jantungku berubah menjadi jauh lebih kencang. Aku mendongkak dan menatap Astro lekat. Aku berharap dia akan menolaknya.
Astro menatapku dalam diam lama sekali sebelum bicara, "Faza pasti keberatan."
Entah bagaimana terasa ada aliran sejuk di tengkukku. Aku lega sekali Astro mengatakannya. Dia pasti tahu dengan baik aku sudah begitu kesulitan harus berjauhan dengan Opa dan Oma dengan mengikutinya ke Surabaya.
"Tapi kalau Ayah bisa yakinin Faza, mungkin Faza mau." ujarnya sambil terus menatapku lekat.
"Nanti Ayah cari cara."
Bagai petir menggelegar di telingaku saat mendengar mereka mengatakan itu. Aku ingin sekali menolak pendengaranku, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Teramat sangat jelas.
"Ke Jepang?" Astro bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dariku. "Kita bisa tinggal bareng nenek Agnes."
"Sebenernya Ayah mau kalian ke Jerman."
Aku hampir saja kehabisan napas karena menahan napasku sendiri. Aku menatap Astro tak percaya. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokanku tercekat.
Jerman? Kenapa pula kami harus ke sana?
"Mumpung masih tengah semester, Ayah bisa ngurus semuanya kalau kalian setuju. Semester depan kalian mulai kuliah di sana."
"Ayah mau kita kabur?" Astro bertanya.
"Bukan kabur. Ayah yakin kasus ini selesai sebelum kalian pindah. Ayah cuma ga mau kalian dapet masalah baru dari Hubert. Donny ada di pihak kita walau Abidzar masih usaha bantu Hubert. Kita banyak dapet bocoran dari Donny, jadi Ayah ga terlalu khawatir soal itu."
Astro terdiam sebelum bicara, "Ayah tau itu pasti berat buat Faza."
"Juga berat buat opa. Ayah tau, tapi Ayah bisa minta opa lepas kalian ke Jerman. Opa pasti ngerti kalian harus aman. Mau gimana pun, Faza cucu opa satu-satunya."
Astro menatapku dengan alis mengeryit mengganggu. Aku tahu dia sedang berpikir dalam dan matang. Aku tahu dia tak ingin mengecewakanku, juga ayahnya.
Aku memberinya tatapan memohon tanpa satu suara pun yang lolos dari bibirku. Aku mengatupkan kedua tangan di depan wajah dan memohon padanya untuk membuat ayahnya membatalkan niatnya. Namun entah kenapa aku tahu bagaimana pun aku memohon, dia akan tetap menyetujuinya.
"Astro obrolin sama Faza dulu ya, Yah. Nanti Astro kabarin."
Aah dugaanku tepat sekali....
"Ayah kasih waktu seminggu." ujar Ayah dengan tenang.
"Okay."
"Kamu harus istirahat. Mau salam buat Ibu?"
"Ibu di sana?"
"Hai, Sayang." tiba-tiba saja terdengar suara Ibu di ujung sana. "Kangen Ibu?"
Astro menatapku dilema walau memaksakan diri untuk tersenyum, "Dua minggu lagi Astro pulang kok. Ibu yang kangen kan?"
"Iya, Ibu kangen banget. Bener kan Faza udah tidur? Ibu ga enak kalau Faza denger. Faza pasti kangen sama Ana."
Tiba-tiba saja air mata meleleh di pipiku. Aku bangkit perlahan dan meninggalkan Astro. Aku berjalan dengan langkah panjang ke arah dinding pembatas menuju workshop dan keluar dari lemari dengan hati-hati. Aku melanjutkan langkah kakiku keluar kamar dan berjalan cepat menuju atap. Aku menghirup napas dengan rakus saat sampai di tepi pembatas balkon menuju ke jalan raya.
Sepi sekali. Dan dingin.
Aku hanya memakai lingerie dan tak memakai jaket untuk menutup tubuh karena tak terpikirkan olehku sesaat lalu. Aku tak tahan mendengarkan pembicaraan orang tua dan anak yang sangat mesra tepat di hadapanku.
Astaga ... ada apa denganku? Kenapa pula hatiku terasa sesakit ini? Aku tak biasanya seperti ini, bukan?
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-