Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Biasa



Biasa

0Aku menatap jalan raya yang hampir kosong di hadapanku dengan nanar. Andai bundaku benar masih hidup, aku akan mencarinya ke mana pun dia pergi. Namun ke mana aku harus mencari lebih dulu? Kyle bahkan belum memberi satu pun informasi yang kuminta padanya sejak minggu lalu.     

Aku menghela napas perlahan seiring dengan air mataku yang mulai mengering dengan sendirinya. Jerman? Aku pasti akan berubah tak waras jika aku benar-benar pindah ke sana. Aku tahu Jerman akan menjadi negara yang sempurna untuk Astro melanjutkan kuliahnya. Mungkin juga untukku, andai aku tak harus meninggalkan Opa dan Oma.     

Demi aku dan Astro tak mendapatkan masalah baru Ayah bilang? Lalu bagaimana dengan Opa dan Oma? Om Hubert bisa saja mengganggu mereka.      

Aku ingat dengan jelas bagaimana Om Neil dengan begitu percaya diri merangsek masuk ke resepsi pernikahanku dan menembakkan gas air mata. Aku tak akan terkejut jika adiknya akan melakukan kegilaan yang sama. Mungkin akan lebih baik jika keluarganya dilenyapkan saja, tapi ... astaga ... apa bedanya aku dengan mereka?     

Aku sedang menggigit bibir bawahku dengan kencang. Aku yakin aku akan membuatnya berdarah andai aku tak mendengar suara langkah kaki menaiki tangga dan berusaha mengendalikan diri. Aku sengaja tak menoleh karena aku tahu Astro pasti sedang berjalan menuju ke arahku. Aku benar-benar ingin mengabaikannya apapun yang akan dia katakan padaku nanti.     

Astro menyampirkan selembar selimut di bahuku dan memelukku erat dari belakang, "I'm sorry, Honey."     

Aku tak membutuhkan permintaan maafnya. Permintaan ayahnya membuat sesuatu di dadaku sakit tanpa darah.     

Astro mengelus wajahku dalam diam. Napasnya di puncak kepalaku terasa hangat, meninggalkan desiran khas yang selalu membuatku merasa nyaman. Bahkan sekarang, saat aku sedang sangat ingin mengabaikan keberadaannya.     

Sebuah mobil melewati jalan raya di bawah sana. Di jam yang begitu larut seperti ini, selalu saja ada yang masih berkendara walau hanya seorang diri. Entah kenapa membuatku ingin membawa mobillku pergi entah ke mana, tapi aku sudah berjanji untuk tidak kabur lagi.     

Seorang perempuan berjalan seorang diri di seberang sana, sedang berkutat dengan handphone dan earphone terpasang di telinganya. Membuatku berpikir andai aku adalah perempuan biasa, mungkin aku akan bisa pergi ke mana pun aku menginginkannya. Namun kurasa tak akan semudah itu, Ayah pasti akan menjagaku seperti Opa menjagaku.     

Kenapa pula aku mengeluh? Berminggu-minggu lalu saat aku memutuskan untuk berjalan kaki dan menghilang dari penjagaan Lyra, aku sudah menyadari betapa hidupku sangat baik selama ini. Tak seharusnya aku mengeluhkan apapun, bukan?     

Aku mengecup tangan Astro yang masih membelai wajahku, lalu membalikkan tubuhku. Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Dia benar-benar mengkhawatirkanku.     

Aku memeluk pinggangnya dan membenamkan wajahku di dadanya. Jantungnya yang berdetak tepat di telingaku berbeda dengan iramanya yang biasa, tidak cepat juga lambat. Hanya ... berbeda.     

"Kamu punya waktu seminggu, Honey." ujarnya dengan bibir yang bergerak di puncak kepalaku.     

Aku ingin sekali berteriak, tapi aku menelan semuanya. Aku mempererat pelukanku padanya. Aku ingin membersamainya hingga tua. Hingga salah satu dari kami meninggal lebih dulu, entah aku atau dirinya. Aku akan menunggu giliranku tiba jika benar dia mendahuluiku. Aku akan menepati janjiku untuk satu liang kubur dengannya. Aku tak akan menikah lagi, seperti yang dia katakan padaku dengan penuh percaya diri.     

Aku tahu hidup kami tak akan mudah sampai saat itu tiba. Aku tahu aku hanya perlu mengelola diri dan hatiku, tapi ... aku manusia. Aku perempuan. Aku harus mengakui aku rapuh walau aku berusaha menolaknya. Aku ... adalah perempuan biasa.     

"Aku harus bilang apa ke Oma?" aku bertanya tanpa menatapnya. Kuharap dia tak mendengar suaraku yang hampir tercekat.     

Astro terdiam lama sebelum menjawab, "Demi kebaikan kita."     

Aah....     

Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi Oma jika aku mengatakannya. Aku tahu Oma sudah keberatan aku menjalin hubungan dengan Astro saat kasusnya dengan Dissa mencuat. Kurasa aku akan bisa menebak bagaimana Oma akan patah hati jika harus berada berbeda benua denganku.     

Jerman dan Indonesia begitu jauh, bukan? Aku tahu hanya akan membutuhkan waktu tak kurang dari satu hari menggunakan pesawat. Namun berbeda benua bukanlah jarak yang bisa dengan mudah disebut dekat.     

Aku menghela napas perlahan, "Kamu harus keluar dari tim kompetisi robotik kalau kita pindah ke Jerman. Kompetisinya akhir tahun ini. Semester depan."     

"Aku tau, tapi kamu lebih penting."     

Entah bagaimana aku harus menanggapinya. Perasaanku begitu gamang dan membingungkan. Aku tahu aku seharusnya senang karena dia memikirkanku dengan begitu baik hingga rela melepas kerja kerasnya di bidang yang begitu dia sukai. Namun dia pasti tahu ini berat untukku.     

Aah ini juga berat untuknya....     

Aku mendongkak dan menatapnya dalam diam. Dia begitu tenang. Dia mengendalikan dirinya dengan baik. Sangat baik.     

"I'll think about it (Aku pikirin dulu)." ujarku lirih.     

Astro mengangguk, "We'll be fine (Kita akan baik-baik aja). Kamu yang bilang begitu. Aku percaya kok."     

Entah kenapa aku terharu mendengarnya. Kurasa baru kali ini aku mendengarnya berkata dia mempercayaiku. Atau mungkin dia pernah mengatakannya, hanya saja aku lupa.     

Aah aku benar-benar hanya perempuan biasa....     

Aku berusaha tersenyum. Aku tak yakin dengan bagaimana aku terlihat saat ini. Namun aku tak peduli.     

"Ayah sama ibu titip salam buat kamu." ujarnya sambil mengelus wajahku.     

Aku hanya sanggup mengangguk. Entah bagaimana aku harus menanggapinya setelah kecemburuanku pada interaksi mereka beberapa saat yang lalu. Hatiku masih merasa tak rela.     

"Orang tuaku jadi orang tua kamu juga, Honey." ujarnya sambil menatapku lekat, seolah ingin memastikan aku memahami ucapannya.     

"Aku tau."     

"Aku tau kamu pasti tau. Aku cuma mau mastiin kamu bener-bener mau nganggep mereka orang tua kamu."     

Aku menatapnya ragu-ragu, "Kamu tau itu butuh waktu."     

Astro menatapku dalam diam. Lama sekali.     

"I'll try (Aku usahain)."     

Astro mengangguk pada akhirnya. Dia memelukku erat dan mengecup puncak kepalaku dalam diam. Aku tahu dia sedang menghela napas perlahan, tapi dia menyembunyikannya dengan baik. Namun aku terlalu dekat dengannya hingga aku bisa menyadarinya dengan mudah.     

"Kamu harus belajar bahasa Jerman kalau mau pindah, kamu tau?" ujarku dalam dekapannya.     

"Emangnya kamu pikir aku siapa? Aku pasti udah lancar sebelum kita bener-bener pindah. Jangan mentang-mentang kamu anak bahasa dan jago bahasa Jerman trus kamu bisa ngeremehin aku ya, Nyonya Susah Diatur." ujarnya dengan jelas tanpa melonggarkan pelukannya.     

Aku hampir saja tertawa. Aku pasti bodoh sekali jika aku menganggapnya tak mampu mempelajari sebuah bahasa dalam waktu beberapa bulan saja. Dia adalah Astro. Seorang Astro yang bisa mengendalikan dua resort, dua proyek robot, satu proyek musik, juga berbagai deadline kuliah. Dia bahkan masih mengurusi proyek pembiakan mutiara yang seharusnya adalah pekerjaanku.     

Sial ... kenapa aku justru membawa percakapan seolah kami akan benar-benar pindah ke sana?     

Aku meneliti detakan jantungnya yang mulai berirama seperti biasanya dan memejamkan mata. Beberapa tahun lalu, aku bahkan begitu salah tingkah saat dia menyandarkan dahinya di bahuku untuk pertama kalinya. Sekarang aku justru menikmati setiap gerakan tubuhnya, aromanya dan detakan jantungnya.     

"Kamu atur workshop dari jauh dulu sementara waktu, ya? Kamu denger kan ayah bilang om Hubert mungkin akan dateng." ujarnya sambil mengelus rambutku perlahan.     

Aku hanya mengangguk tanpa membuka mata.     

"Kita balik ke apartemen aja sementara waktu?"     

"Aku suka di sini." ujarku sambil menghirup aroma tubuhnya yang hangat.     

"Tapi nanti kamu jadi mikirin workshop terus."     

"Apa bedanya? Di apartemen juga aku pasti mikirin workshop."     

Astro melonggarkan pelukannya hingga membuatku membuka mata, "Kamu tau maksudku, Honey."     

"Aku tau. Aku janji ga akan keluyuran di workshop. Lagian aku juga ga mau ketemu sama Om Hubert. Aku bisa aja lakuin yang aneh-aneh kalau ketemu dia nanti."     

"Aneh-aneh?" Astro bertanya dengan alis mengernyit mengganggu.     

"Aku baru aja mikir mau bikin keluarganya lenyap. Jangan sampai aku benar-bener lakuin itu cuma gara-gara aku lepas kendali."     

Astro menatapku tak percaya, "Seriously?"     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.