Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Jati Diri



Jati Diri

1Zen : Hasil kerja kita (mengirimkan banyak contoh foto furniture yang siap dipasarkan)     

Aku : Bagus. Gimana reaksi Donny?     

Zen : Dia suka, tapi aku ga bisa ngobrol lama. Dia sibuk sama keluarganya     

Hal itu sudah pasti terjadi. Bagaimana pun Donny sedang berusaha membuat kesepakatannya denganku tak terendus keluarganya. Akan fatal jika keluarganya tahu dia mengkhianati mereka.     

Zen : Gimana kabar kamu?     

Aku melirik ke arah Astro yang sedang menatap layar laptop. Tatapannya terlihat tenang. Haruskah aku menjawab pertanyaan Zen?     

Kami memang baru selesai sarapan. Astro sudah mandi dan siap untuk berangkat ke kampusnya sebentar lagi. Aku tahu dia tak akan melewatkan kesempatan untuk bisa melihatku dan Zen sedang saling berkirim pesan.     

Aku : Kayak biasa aja kok. Mama gimana?     

Zen : Mama baik. Nanyain kamu beberapa kali abis sparring waktu itu, tapi sekarang udah ga     

Aku : Salam buat Mama ya     

Zen : Nanti aku sampaiin     

Aku : Kamu mau kasih liat foto itu aja atau ada yang lain?     

Zen : Papaku curiga aku terlibat kasus, tapi sejauh ini masih aman. Aku banyak ngobrol sama opa kemarin     

Aku : Opa bilang apa?     

Zen : Opa minta aku ga perlu khawatir. Opa udah ngatur semuanya     

Aku hanya menatapi layar laptop lama sekali. Entah bagaimana aku harus membalas pesan Zen. Terlebih, aku tak tahu apakah dia mengetahui fakta bahwa Opa adalah seorang mantan agen rahasia.     

Aku : Kalau gitu kamu ga perlu khawatir     

Zen : Aku ga khawatir. Aku lebih khawatir sama kalian     

Aku menoleh dan menatap Astro dalam diam. Aku tahu yang seharusnya kami bicarakan hanyalah seputar pekerjaan kami dengan Donny. Namun interaksi seperti ini memang tak bisa kuhindari.     

Astro terlihat sama tenangnya dengan beberapa saat yang lalu. Walau aku tak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan. Kurasa akan lebih baik jika aku menghindari percakapan semacam ini.     

Zen : Aku tau Astro di sana     

Aku : Mau ngobrol sama Astro?     

Zen : Ga perlu. Aku mau berangkat ke kampus     

Zen : Aku cuma mau ngasih foto itu. Nanti aku kabarin gimana perkembangan penjualannya buat perbandingan proyek selanjutnya     

Aku : Okay     

Zen : See you, Za     

Kurasa aku akan mengabaikannya, maka aku menutup bar percakapanku dengannya. Aku menghela napas dan mendorong laptop menjauh walau masih menyala. Aku tak tahu apakah Zen sudah mendapat kabar dari Kak Sendy tentang kepulanganku dua minggu lagi, tapi bagaimana pun kurasa kami memang akan bertemu kembali.     

Astro mengecup pelipisku dan mengamit wajahku untuk menatapnya, "Aku ga cemburu kok."     

Aku tersenyum lebar sekali. Entah sejak kapan aku mengharapkan dia mengatakan hal semacam ini. Terasa seperti ... mimpi.     

"Aku ga lagi ngimpi kan?" aku bertanya dengan senyum yang lenyap dari bibirku.     

Alih-alih menjawabku, dia justru mencumbu bibirku. Aku menatap matanya di sela cumbuan kami yang lembut. Aku tahu aku sedang tidak bermimpi. Dia tersenyum tipis padaku setelah melepasku. Kurasa wajahku merona sekarang. Astaga ... entah sejak kapan aku tak lagi mempedulikan wajahku yang terasa panas.     

"Jangan bengong. Nanti ada yang nempel." ujarnya yang membuatku mengingat saat pertama kali dia mengucapkan kalimat itu bertahun-tahun lalu. Dengan raut khas anak-anak, kemeja berwarna hijau dan celana pendek berwarna krem.     

Ada senyum menghiasi bibirku kembali. Ini terasa lucu.     

"Kenapa senyum-senyum begitu?"     

Aku menggeleng dan mengecup pipinya, "Kamu harus berangkat ke kampus sekarang, kamu tau?"     

Astro mengerucutkan bibirnya seolah dia masih anak-anak. Anak-anak yang sedang berusaha merajuk untuk mendapatkan keinginannya. Dia terlihat imut sekali, tapi ini bukan waktunya.     

"Sebenernya aku lagi mikir mau bolos. Ngapain aku ke kampus kalau semester depan kita ke Jerman?" ujarnya tiba-tiba.     

"Aku belum ambil keputusan, Astro."     

"Aku tau."     

Astro menatapku lama sambil mengelus puncak kepalaku, "Kamu harus telpon oma kan? Sama ngabarin Putri kalau kamu ga bisa ke workshop dulu sementara waktu?"     

Aah laki-laki ini benar-benar....     

Aku menghela napas dan mengangguk.     

"Aku ga akan larang kamu kerja sekarang. Kamu udah cukup istirahat, tapi nanti malem kamu cuma boleh nemenin aku. Kamu ga boleh ikut-ikutan kerja."     

Kurasa apapun pendapatku, dia akan bersikeras dengan permintaannya. Maka aku hanya bisa mengangguk dalam diam. Lagi pula, aku memiliki banyak waktu untuk bekerja. Aku tak akan mengeluh.     

Astro mengecup bibirku dan tersenyum, "Aku suka kamu nurut sama aku tanpa banyak protes."     

Aku menatapnya sebal, tapi tak mengatakan apapun. Sepertinya seberapa banyak pun sikapnya berubah, laki-laki di hadapanku ini memang akan terus terasa menyebalkan. Menurutinya tanpa protes dia bilang? Yang benar saja?     

Aku ingat kalimatnya beberapa bulan lalu saat mengatakan bagaimana jika aku menurut saja padanya dan mengikuti semua keputusannya. Saat itu aku merasa begitu kesal hingga menolaknya mentah-mentah. Kurasa aku baru menyadari dia sedang berusaha memaksudkan setiap kata dalam kalimatnya.     

"Aku suka kamu sebagai kamu, Astro. Kamu ga perlu niru orang lain." ujarku sambil menatapnya lekat. Aku bisa melihat pupil matanya bergetar dengan jelas.      

Dia sedang menatapku tak percaya, juga penuh pertimbangan. Dia memejamkan mata dan mengatur napas, lalu membukanya kembali. Sekarang tatapannya terlihat tenang, seperti tak ada sesuatu yang terjadi.     

Aku tahu bagaimana laki-laki ini pandai mengendalikan diri. Aku hanya khawatir dia akan mengalami transisi yang lebih buruk dariku karena kebingungan dengan jati diri. Aku tahu bagaimana dia lihai berpura-pura.     

Aku mengamit wajahnya dengan kedua tanganku dan menatapnya lekat, "Jadi diri kamu sendiri, Astro. Aku akan bantu kasih saran kalau kamu milih pilihan yang salah."     

Astro menatapi kedua mataku dengan teliti dan mengangguk. Dia tak mengatakan apapun.     

Aku mengecup bibirnya, "Kamu boleh pura-pura sementara waktu, tapi selama sama aku, kamu harus jadi diri kamu sendiri. Kamu ga perlu takut sama aku. Aku kan istri kamu."     

Entah bagaimana tiba-tiba ada senyum tipis di bibirnya, "Thank you."     

Aku mengangguk dan melepas wajahnya, "Kamu harus berangkat sekarang."     

Astro menggeleng.      

Astaga.. Kenapa dia menggeleng?     

"Aku mau di rumah." ujarnya sambil menepuk paha dengan senyum tipis.      

Aku tahu dia sedang memintaku duduk di pangkuannya, tapi ... yang benar saja?     

"Kamu harus ke kampus sekarang."     

"Ga mau. Sini kamu."     

Aku menatapnya tak percaya, "Nanti kamu telat."     

"Aku ga akan telat. Aku bisa ijin sehari."     

Aku hampir saja mendengus kesal, "Udah berapa kali kamu ijin ga masuk semester ini? Kamu mau pertaruhin IPK?"     

"Katanya aku harus jadi diri sendiri kalau sama kamu." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.     

Aah laki-laki ini benar-benar....     

Aku memukul bahunya dengan kencang dan menariknya berdiri, "Kamu harus berangkat. Cepet, nanti kamu telat."     

Astro tertawa sambil menatapku seolah aku adalah seorang badut yang lucu, "Usaha kamu boleh juga. Hahahaha ..."     

Aku mengamit ranselnya yang tergeletak di atas meja makan dan memakaikannya di bahunya sambil mendorong tubuhnya menjauh dari dapur, "Bawel banget. Sana berangkat. Mau aku laporin ke Ayah ya kalau kamu bolos terus?"     

Astro menoleh padaku sambil terus berjalan ke teras depan, "Aku ga pernah bolos ya, Nyonya Susah Diatur. Kalau aku ga masuk aku pasti ijin ayah dulu."     

Aku mengabaikan kalimatnya. Aku melepasnya setelah kami sampai di sebelah motornya, lalu mengamit helm dan memakaikannya di kepalanya. Tatapan penuh kemenangan di wajahnya menyebalkan sekali.     

"Ga mau cium aku dulu?" dia bertanya saat aku mengaitkan tali dagu di helmnya.     

"Ga perlu. Kamu udah aku cium berkali-kali beberapa bulan ini."     

Astro mendengus pelan walau aku tahu suasana hatinya sedang baik sekali, "Nanti malem aku minta tiga sesi ya."     

Aku memberinya tatapan sebal, "Dasar mesum."     

"Kamu suka kok. Ga masalah kan." ujarnya sambil menaiki motornya dan menyalakan mesin. "Kamu harus telpon oma sekarang. Nanti kabarin aku."     

Aku bahkan lupa harus menelepon Oma karena tingkahnya. Apa yang harus kukatakan pada Oma tentang kami yang pindah ke Jerman?     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.