Pelukis
Pelukis
"Sebentar ya, nanti Oma telpon Faza. Oma mau masuk ruang dokter dulu nemenin Opa." ujar Oma setelah sambungan telepon kami tersambung.
"Oma di rumah sakit?"
"Iya. Nanti kalau cek up nya selesai Oma telpon lagi. Faza udah sarapan?"
"Udah tadi sama Astro. Astro baru aja berangkat ke kampus."
"Ya udah. Nanti Oma telpon lagi. Oma tutup dulu ya."
"Iya, Oma."
Aku menghela napas setelah Oma memutus sambungan telepon kami. Padahal aku sudah berusaha bersikap tenang. Aku menatap layar handphone dengan gamang, lalu mengetuk nama Putri di daftar panggil.
"Pagi, Nona. Ga kerja lagi hari ini?" Putri bertanya tepat setelah menerima telepon dariku.
Aku tersenyum, "Suami boss kamu galak."
Putri tertawa tertahan di ujung sana. Hingga membuatku membayangkan partner kerjaku yang lain sedang tersenyum melihat tingkahnya.
"Kamu minta aku potong gaji ya?" aku bertanya sambil menahan senyum di bibirku.
"Eeh jangan! Duh aku harus bayar cicilan motor baru, Nona. Please jangan potong gajiku."
Aku terdiam untu mengabaikannya.
"Please, Faza. Jangan potong gajiku."
Aku tersenyum lebar sekali, "Iya. Aku bercanda kok."
"Thank you."
Aku menggumam mengiyakan, "Belum ada customer yang dateng ke workshop kan?"
"Belum, kenapa?"
"Ga pa-pa. Aku mau bikin workshop tertutup buat customer langsung. Kita main online aja dulu sementara."
"Kenapa gitu? Kan asik kalau ada customer yang dateng. Sesi diskusi sama dia lebih enak karena langsung."
"Aku ga bisa ke workshop dulu sementara waktu. Aku belum tau sampai kapan. Aku cuma ga mau bikin kerjaan kalian nambah karena aku ga ada. Kalau ada aku kan aku bisa terima customer langsung. Kamu ngerti kan?"
"Aku bisa kok terima mereka. Maksudku aku bisa bikinin desain yang sesuai sama permintaan."
Aku tahu Putri benar. Kurasa aku harus menggunakan alasan lain.
"Aku mau fokusin kamu ke customer online aja biar aku yang handle customer langsung. Masalahnya aku ga bisa ke workshop dulu sementara waktu. Jadi sementara aku ga bisa ke workshop kamu pasang tanda tutup aja di pintu."
Putri terdiam selama beberapa lama sebelum bicara, "Kamu lagi ada masalah?"
Entah kenapa sekarang terasa lebih hening. Mungkin Putri berpindah tempat entah ke mana.
Aku meletakkan handphone di meja dan mengaktifkan tombol speaker, lalu mengakses video rekaman kamera tersembunyi di workshop dan mencari keberadaan Putri. Dia berada di lantai satu, sedang membalik papan di pintu menjadi tanda tutup.
"Ga kok. Aku cuma lagi ngerjain kerjaan yang lain. Kerjaanku nambah, jadi sementara ini aku ga bisa ke workshop dulu." ujarku sambil terus mengamati Putri yang sedang duduk di salah satu kursi di lantai satu.
Secara harfiah aku tidak berbohong. Aku sedang melukis rumah tua peninggalan Kakek Indra dan akan melukis satu lukisan lain untuk kuberikan pada Kak Sendy saat aku pulang nanti.
Putri menghela napas, "Aku tau kamu pinter. Stamina kamu juga bagus, tapi apa kamu ga kebanyakan ambil kerjaan? Kamu bisa ngabisin waktu buat jalan-jalan kayak anak muda lain, Faza."
Aku tersenyum, "Kamu bawel. Aku tau kapasitas diriku kok. Sementara ini aku ga ke workshop dulu, okay? Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku."
Putri menegadahkan wajahnya ke langit-langit, "Okay. Aku minta maaf kalau kesannya aku ikut campur. Aku cuma ga mau kamu sakit karena kecapekan."
"Aku tau. Makasih udah khawatir."
Putri hanya menggumam.
"Aku mau ngasih tau itu aja. Aku tutup ya."
"Okay."
Aku memutus sambungan telepon kami dan menatap sosok Putri dari layar laptop. Dia masih menatap handphonenya dalam diam, lalu beranjak kembali ke lantai dua. Bara bertanya padanya dan Putri menjelaskan apa yang baru saja kusampaikan padanya. Sepertinya mereka semua sudah terbiasa denganku yang tak ada di sekitar mereka. Entah kenapa ini sedikit membuatku terganggu.
Workshop ini baru beroperasi selama beberapa bulan. Aku tahu kami mendapatkan pesanan yang lebih banyak dari yang bisa kuperkirakan walau hanya dari jejaring sosial media. Sejak workshop ini beroperasi, kami bahkan belum mendapatkan satu pun pelanggan yang datang langsung dan mengajak kami berdiskusi.
Putri memang sudah lama bekerja bersamaku. Semua partner kerja kami juga adalah orang-orang yang profesional yang sudah menggeluti bidang ini bertahun-tahun. Aku hanya merasa tak seharusnya melepas workshop secepat ini pada mereka.
Handphoneku bergetar, aku mengambilnya. Ada pesan dari Denada.
Denada : Kamu mau ke galeri dua minggu lagi? Aku baru baca chat dari Sendy
Aku : Iya, mungkin sabtu pagi. Nanti aku sesuaiin jadwal sama Astro dulu
Denada : Kamu bisa ke rumah?
Aku : Sorry, aku ga bisa. Aku udah ada janji sama Ayah, ada yang penting
Denada : Kalau gitu aku ke galeri nanti
Aku : Okay, kita ketemu di sana ya
Denada : See you, Za
Aku menatap pesan kami dalam diam. Mungkin Zen juga sudah mengetahui rencanaku ke galeri dari Kak Sendy.
Aku mengalihkan tatapanku ke laptop di hadapanku, lalu membuka email dan semua bar pekerjaan yang sudah menunggu untuk diselesaikan. Aku berusaha berkirim pesan dengan Pak Bruce senormal mungkin walau aku memiliki banyak pertanyaan untuknya. Setelah itu aku mengarahkan Sari agar lebih teliti dalam bekerja karena dia masih melupakan beberapa hal karena terlalu fokus dengan hal yang lain.
Tiba saatnya aku mengecek semua laporan dari Pak Simon, aku mengingat sesuatu. Aku memberi Pak Simon panggilan telepon.
"Pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Pak Simon bertanya.
"Bapak sibuk sekarang?"
"Saya lagi siap-siap meeting regional by video call sama semua manager cabang dua puluh menit lagi. Saya masih bisa bantu Nona sebentar kalau Nona butuh bantuan."
"Makasih banyak buat bantuan Bapak selama ini. Perusahaan Ayah ga akan jadi begini kalau bukan karena kerja Bapak."
"Nona ga perlu sungkan. Saya yang banyak utang budi sama pak Abbas. Pak Abbas yang ngajarin saya semuanya yang saya tau."
Kurasa aku akan berdiskusi dengan Astro untuk menaikkan gajinya saat Astro pulang nanti. Kuharap Astro setuju.
"Bapak kenal sama orang yang namanya Vanessa?" aku bertanya.
Pak Simon terdiam sesaat sebelum bicara, "Saya ga inget pernah ketemu sama orang yang namanya itu. Nona mau saya cari orang itu?"
"Ga perlu, Pak. Aku cuma nanya kok. Mungkin dulu Bapak pernah ketemu sebelum ... kecelakaan jembatan waktu itu."
"Mungkin saya lupa, tapi nanti kalau saya inget saya kabarin Nona."
Aku menghela napas perlahan, "Okay. Salam buat semua manager dari aku ya. Kapan-kapan kita meeting online. Aku punya konsep baru. Nanti aku kabarin kalau konsepnya siap."
"Nona mau meeting bareng?" Pak Simon bertanya dengan nada terkejut.
Aku menggumam mengiyakan, "Tapi aku cuma ngasih liat konsep barunya aja. Aku ga akan kasih liat mukaku."
"Oh maaf. Saya pikir Nona mau mulai terlibat langsung."
"Aku emang mau terlibat langsung, tapi mereka ga perlu liat mukaku kan?"
"Iya, Nona betul. Saya tunggu kabar dari Nona." ujar Pak Simon penuh antusias.
Entah kenapa terasa ada adrenalin menjalari tubuhku. Terasa menyenangkan.
"Saya inget Nona suka ngelukis. Saya ada rencana mau pasang beberapa lukisan di setiap gerai. Saya ada kontak satu pelukis. Udah beberapa bulan ini dia susah ditemuin, tapi Nila kenal sama ayahnya. Mungkin nanti saya bisa nego harga."
Tunggu sebentar....
"Bapak kenal pelukis? Siapa?"
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-