Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Brilian



Brilian

0Ada berbagai bar di mesin peramban di handphone karena aku sedang mencari tahu pelukis bernama Friesia. Dari jejaring sosial media yang kudapatkan, dia adalah pelukis beraliran impresionisme dan sepertinya dia adalah perempuan walau aku tak tahu dengan jelas mengenai hal itu.     

Friesia adalah nama untuk perempuan, bukan? Walau mungkin saja ada yang mengaburkan nama asli dengan nama panggung.     

Lukisan-lukisannya bagus dengan goresan yang mantap dan pemilihan warna yang cerdas. Andai aku masih berada di galeri dan bisa mendapatkan akses untuk berkenalan dengan pelukis lain, kurasa aku akan mengajaknya ke galeri saat sesi melukis kami tiba.     

Tunggu sebentar....     

Aku membuka aplikasi pesan. Aku tahu Kak Sendy sedang offline, tapi aku akan tetap memberinya sebuah pesan. Dia pasti akan membalas pesanku jika dia memiliki waktu.     

Aku : Kakak kenal sama pelukis yang namanya Friesia?     

Aku meletakkan handphone di meja dan menatap Astro. Aku sedang berbaring di pangkuannya, sedangkan dia sedang berkutat dengan pekerjaannya dan menatap laptopnya dengan tatapan serius. Betapa laki-laki ini gila bekerja.     

Entah bagaimana kami akan mengendalikan semua pekerjaan kami dari Jerman jika saatnya tiba. Perbedaan waktu yang begitu jauh dengan Indonesia akan membawa perubahan besar bagi kami, tapi aku tak akan membahasnya sekarang.     

Aku menggeser posisi berbaringku, lalu menyusupkan kepala dan kedua tanganku ke dalam perutnya. Beberapa kotak otot perutnya sexy sekali. Kuharap tak akan ada perempuan lain yang akan melihatnya atau mereka mungkin akan menggila.     

Menggilai suamiku? Kurasa aku akan langsung menghampiri mereka dan memberi mereka peringatan saat itu juga.     

Tiba-tiba saja aku mengingat informasi dari Riri tentang sebuah grup yang menyebarkan nomor laki-laki idaman. Aku sudah lama tak mengecek handphone Astro. Entah sudah ada berapa banyak pesan dari perempuan entah siapa yang mengajaknya berkencan.     

Aku bisa merasakan tangan Astro mengelus kepalaku perlahan, lalu kembali berkutat dengan laptopnya. Dia tak mengatakan apapun dan sepertinya dia juga tak mengharapkan aku mengajaknya bicara.     

Aku tahu dia sedang merevisi bagian lengan robot Koko Krab yang terlihat bermasalah. Dia juga sedang berbincang dengan Hendry untuk konsep musik barunya. Entah bagaimana caranya bisa mengerjakan berbagai pekerjaan sekaligus. Padahal aku harus menyelesaikan pekerjaanku satu per satu atau aku akan kehilangan konsentrasi dan pekerjaanku mungkin saja berantakan.     

Astaga ... aku lupa. Dia adalah Astro, Sang Brilian.     

"Ada chat dari Sendy." ujarnya tiba-tiba.     

Aku melepas elusanku di perutnya dan mengeluarkan kepala dari balik kaosnya, lalu mengamit handphone yang tergeletak di atas meja.     

Kak Sendy : Aku ga kenal. Kenapa?     

Aku : Ga pa-pa kok. Aku cuma nanya     

Kak Sendy : Sorry kalau aku keliatan kayak ikut campur. Kamu ikutin saran papa buat ke luar negeri?     

Aku : Saran Om Hanum?     

Kak Sendy : Setauku papa ngasih saran ke om Jaya buat mindahin kalian ke luar negeri, tapi negara mana aku ga tau. Om Jaya yang ngatur     

Aku berpikir dalam diam. Apakah Om Hanum terjebak dengan rencana Om Hubert tanpa disadari? Entah kenapa hatiku terasa gelisah. Kurasa aku harus berbohong pada Kak Sendy.     

Aku : Aku belum dapet kabar soal itu, Kak     

Kak Sendy : Ooh sorry. Aku pikir om Jaya udah ngabarin kalian     

Aku : Nanti aku tanya Ayah, Kak. Makasih informasinya     

Kak Sendy : Ga perlu sungkan begitu. Hati-hati ya     

Aku : Okay     

Aku menatap layar handphone dalam diam. Kak Sendy sudah membaca pesan dariku, tapi tak membalasnya. Haruskah aku meminta Axelle menyadap handphone Om Hubert? Namun Opa pasti sudah melakukannya lebih dulu, bukan? Bagaimana dengan Om Hanum?     

Aku memaksa tubuhku bangkit dan duduk menghadap Astro. Haruskah aku membahasnya dengannya sekarang?     

"Kenapa?" dia bertanya tanpa menoleh padaku.     

"Bisa minta Axe hack hape Om Hanum?" aku memberanikan diri bertanya.     

Astro menghentikan gerakan jarinya dan menatapku lekat, "Kalau ketauan kita bisa punya musuh baru, kamu tau?"     

Aku hampir saja tertawa, "Tapi kamu ga takut waktu mau hack CCTV rumah Opa."     

"Opa kan Opa kamu. Mau semarah apapun, Opa ga akan jadi musuh kita. Sekarang kita bahas om Hanum, sahabat ayah dari aku belum lahir."     

Aku terdiam mendengarnya.     

"Kenapa tiba-tiba mau hack hape om Hanum?" dia bertanya sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada.     

Aku hanya memperlihatkan padanya pesan Kak Sendy padaku beberapa saat lalu. Aku akan membiarkannya berpikir lebih dulu sebelum memberikan reaksi.     

Astro menatapku lekat, "Jawaban kamu bagus."     

"Bukan itu maksudku. Kalau kita ada di luar negeri, kita jauh dari semua akses bantuan kita. Om Hubert bisa ada di mana pun yang dia mau. Dia bisa ngikutin kita ke mana aja kita pergi."     

Astro terdiam.     

"Aku bilang gini bukan karena aku mau alasan biar kita ga jadi ke Jerman. Kita ga tau obrolan Om Hanum sama Om Hubert selama ini. Aku khawatir Om Hanum dimanfaatin tanpa sadar."     

Astro memejamkan mata dan mengambil napas dalam, "Aku pikirin dulu, okay?"     

Aah....     

Aku meletakkan handphone di meja dan mengelus wajahnya dengan kedua tanganku, tapi matanya tetap terpejam. Aku tahu dia lelah. Ada begitu banyak yang terjadi di sekitar kami. Aku bahkan tak tahu persis apa saja yang dia hadapi di kampusnya.     

Aku tahu mengatakan aku mencintainya tak akan mengurangi bebannya walau hanya sedikit. Apalah artinya aku mengatakan hal itu jika dia tahu betul bagaimana perasaanku padanya?     

Aku memeluknya dan merengkuh kepalanya ke dadaku. Napasnya terasa hangat di kulitku yang sedikit terbuka.     

Astro memeluk pinggangku dengan erat dan membenamkan wajahnya di dadaku, "Kita bisa lewatin ini. Kita akan baik-baik aja."     

Aku hanya mampu mengangguk. Walau di dalam hatiku, aku tahu betapa naifnya kami. Kami hanya mampu berharap, tanpa tahu bagaimana akan bersikap.     

Kasus Zenatta di pengadilan masih di depan mata. Bundaku belum berhasil kutemukan jejaknya. Berbagai pekerjaan kami menunggu untuk diselesaikan. Kami bahkan masih harus waspada pada keberadaan Om Hubert di sekitar kami.     

Aku mengecup puncak kepalanya dan membiarkan bibirku di sana. Aroma green tea menguar dari rambutnya. Aroma yang selalu kusukai sejak bertahun-tahun ini. Aroma yang selalu bisa membuatku merasa tenang, juga nyaman.     

Aku mengelus helaian rambutnya perlahan, "I trust you, Honey."     

Astro mendongkak dan menatapku lekat, "Kasih aku waktu."     

Aku mengangguk dan mengecup bibirnya, "Kamu mau susu?"     

Astro menggeleng dan membenamkan wajahnya di dadaku kembali, "Aku mau peluk kamu sebentar. Aku butuh mikir."     

Aku mengangguk dan membiarkan bibirku menempel di puncak kepalanya. Aku akan diam saja untuk sementara sambil mengelus rambutnya yang halus di sela-sela jariku.     

Detik demi detik berlalu di antara kami. Aku bisa mendengarnya dengan jelas dari jam dinding di studio ini. Walau pintu studio kami biarkan terbuka, tapi ruangan ini memang terasa lebih sepi karena dikelilingi dinding kedap suara.     

Astro melonggarkan pelukannya dan menatapku lekat, "Thank you."     

Aku tersenyum, "Ga perlu. Cuma ini yang bisa aku lakuin buat kamu. Masalah kita ada banyak. Kita ga akan bisa selesaiin semuanya kalau kita ga bagi pikiran satu sama lain. Kamu yang minta aku usahain sama kamu sampai kita tua kan?"     

Astro mengangguk dan tersenyum lembut.     

"Kita butuh banyak usaha buat sampai ke sana, Honey. Aku butuh kamu." ujarku sambil mengelus ujung rambut di dahinya.     

"Aku juga butuh kamu. Ga ada yang bisa ngimbangin aku selain kamu, kamu tau? Perempuan bawel keras kepala yang selalu ngelawan kalau ga ngerasa salah." ujarnya yang entah bagaimana tiba-tiba tersenyum lebar sekali sambil menatapi kedua mataku bergantian. "Kamu lebih berharga dari yang kamu pikir."     

Aku mengecup dahinya lama sekali sebelum bicara, "Kita cari solusi bareng, okay?"     

Astro mengangguk.     

"Kita punya waktu seminggu."     

Astro menghela napas, "Seminggu."     

"Kita harus bikin banyak rencana. Kerjaan kamu selesai jam berapa?" ujarku sambil merapikan rambut di dahinya.      

"Satu setengah jam lagi. Kamu mau tidur sekarang?"     

Aku menggeleng, "Aku temenin sambil aku bikin planning. Nanti kamu harus kasih tau pendapat kamu. Aku punya rencana bagus."     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.