Cicit
Cicit
Aku bisa mendengar suara Oma tercekat di ujung kalimatnya. Yang membuatku membeku, tak tahu harus bekata apa. Aku membayangkan Oma sedang menangis dalam diam, berusaha tetap tenang agar aku tak mengetahuinya.
Oma adalah perempuan yang kuat, seperti bundaku. Menikah dengan pria keras kepala yang penuh rahasia seperti Opa bukanlah perkara mudah. Terlebih saat ini, saat harus dihadapkan dengan masalah yang datang padaku bertubi-tubi. Aku bisa mengerti betapa Oma merasa sangat khawatir.
"Doa dari Oma cukup buat Faza. Itu yang lindungin Faza dari semua masalah. Itu juga yang bikin Faza selalu nemu solusi selama ini. Makasih banyak, Oma."
Aku bisa mendengar Oma menggumam dan ada sedikit isak yang terdengar. Sepertinya Oma benar-benar sedang berusaha menenangkan diri.
"Kamis depan Faza pulang, tapi mungkin baru malem sampai sana. Astro bilang mau ajak Oma sama Opa nginep resort hari jumat. Oma udah tau?" aku bertanya sambil tersenyum seolah sedang menatap Oma tepat di depan mataku.
Oma tertawa kecil, "Oh ya? Oma baru tau. Bukannya resort Astro lagi di renovasi?"
"Udah selesai kok renovasinya, tapi kita cuma nginep satu malem. Soalnya Astro ada kerjaan."
"Ga pa-pa. Oma ngerti. Astro emang sibuk kayak ayahnya. Belum nanti kalau Astro warisin perusahaan Jaya sama yayasan Nia, Astro pasti tambah sibuk."
Bodohnya aku. Aku bahkan tak memikirkan hal itu.
"Oma serius waktu bilang Oma mau bantu jaga cicit. Oma ga rela kalau cicit Oma diurusin orang asing." ujar Oma tiba-tiba seolah percakapan kami sebelum ini tak pernah ada. Aku bahkan bisa membayangkan wajah berseri Oma saat mengatakannya.
"Iya, Oma." ujarku karena hanya itu yang mampu kukatakan.
"Oma tau Astro udah punya nama buat anak laki-laki. Kalau anak kalian perempuan nanti Oma yang ngasih nama ya?"
Astaga ... bagaimana pula aku harus menanggapinya?
"Oma punya nama yang belum Oma pakai." ujar Oma lirih, hampir berbisik.
Aku menarik napas panjang dan perlahan untuk memastikan Oma tak menyadarinya, "Nanti kita pakai nama itu. Oma keberatan kasih tau Faza sekarang? Faza mau pamer ke Astro."
"Regina Tavisha." ujar Oma dengan lembut dan mantap. "Harusnya itu jadi nama calon adik bundanya Faza."
Aah....
"Cocok ya Oma sama nama yang dipilih Astro kalau anak kita nanti laki-laki. Oma tau Astro pilih nama apa?" aku bertanya sambil terus tersenyum untuk menyembunyikan hatiku yang terasa disayat benda tajam tak kasat mata.
"Oma tau. Reagan, kan?" Oma bertanya setengah tertawa.
Aku menggumam mengiyakan dan menundukkan tatapanku ke arah perutku sendiri. Aku mengelusnya perlahan dan entah kenapa aku tersenyum semakin lebar. Rasa sakit di hatiku bahkan terbang pergi.
"Oma tau Donny di Surabaya sekarang. Sebelum ke sana sempet ke rumah ngobrol sama Opa. Mungkin nanti mau ketemu sama Faza kalau Hubert udah ke Madura. Oma tau Donny punya kesepakatan sama Faza, tapi ga ada salahnya selalu hati-hati."
"Iya, Oma."
"Ada yang mau Faza bahas lagi? Faza harusnya lagi kerja kan?"
Aku terdiam. Aku masih ingin berbincang dengan Oma. Berbincang dengan Oma tak pernah membuatku merasa bosan. Aku bahkan baru saja berpikir akan mengajak Oma berbincang lebih lama dan mengabaikan semua pekerjaanku, tapi aku tak bisa melakukannya walau aku sangat ingin.
"Faza sayang Oma, sayang Opa juga. Faza titip salam buat Opa ya." ujarku untuk mengakhiri percakapan kami walau sebetulnya hatiku masih terasa tak rela.
"Oma tunggu Faza pulang. Awas ya kalau kurus nanti Oma kasih Astro hukuman."
Aku tertawa, "Berat Faza naik tiga kilo, Oma. Faza gendut sekarang. Sebel deh."
"Oh ya? Oma ga sabar mau liat. Nanti Oma bikinin cake buah."
Astaga ... kurasa Oma justru senang karena berat badanku bertambah.
"Faza mau ngobrol sama Opa?" tiba-tiba saja Oma bertanya.
Aku terdiam sebelum bicara, "Boleh, Oma."
"Opa dengar Mafaza bertambah gemuk." terdengar suara Opa. Entah sejak kapan Opa mendengar pembicaraanku dengan Oma.
"Iya Opa, padahal baru beberapa hari Faza pulang dari sana. Jangan kaget ya kalau liat Faza nanti jadi tembem."
"Bukan masalah untuk Opa asal Mafaza selalu sehat."
Aku terdiam. Terakhir kali aku melihat Opa beberapa hari lalu, Opa memang lebih kurus. Aku tahu berat badan itu masih di batas normal, tapi aku khawatir karena Opa semakin tua.
"Nanti kalau Faza pulang Faza masak buat Opa. Opa harus makan banyak, ya?"
Opa tertawa pelan, "Iya, nanti Opa makan banyak. Opa rindu masakan Mafaza. Rasanya lebih enak dari masakan Asih."
Aku tersenyum, "Lebih enak masakan Astro dari pada masakan Faza, Opa. Nanti Faza paksa Astro masak buat Opa juga."
"Sayang Faza ga di sini. Opa lagi senyum. Ganteng banget." tiba-tiba saja aku mendengar Oma bicara.
"Sudah sudah. Mafaza harus bekerja, bukan?" Opa bertanya.
"Nanti kalau Faza pulang Opa harus senyum ya. Jangan cemberut terus." ujarku.
"Iya, nanti Opa senyum. Opa tutup teleponnya ya. Hati-hati." ujar Opa.
"Iya, Opa."
Sambungan telepon kami benar-benar terputus karena Opa yang mematikannya. Entah kenapa aku masih juga merasa tak rela dan menatapi handphone di tanganku dalam diam. Aku tahu aku seharusnya sudah selesai mengecek laporan email dari Sari sekarang, tapi aku tak memiliki selera untuk membuka email apapun lagi.
Aku mengecek rekaman kamera CCTV toko. Aku melihat Sari sedang berada di belakang meja kasir dan berkutat dengan sebuah map. Aku mencari nama Sari di handphone dan memberinya panggilan telepon. Aku tahu aku bisa saja menelepon toko, tapi aku menelepon melalui handphone karena terasa lebih aman.
"Bisa keluar sebentar?" aku bertanya saat Sari mengangkat telepon.
"Sebentar ya." ujarnya sambil merapikan map dan meletakkannya ke laci, lalu menguncinya. Aku bisa melihat dia keluar dari toko dan berjalan menjauh ke bawah pohon dekat trotoar. "Ada yang bisa kubantu?"
"Aku mau kasih kamu kerjaan tambahan."
Sari hanya diam. Sepertinya dia menungguku melanjutkan kalimatku.
"Cari dua orang crafter baru. Nanti kenalin ke aku kalau aku pulang. Aku pulang weekend depan. Bisa?"
"Aku kenal satu crafter yang bagus. Emang niatnya mau aku kenalin ke kamu, tapi kalau kamu butuh dua aku harus cari satu lagi"
"Okay. Aku ga buru-buru kok. Satu orang juga ga masalah, tapi kalau ada dua lebih bagus."
"Kamu mau buka cabang baru?"
"Aku belum ada niat ke sana. Kerjaanku yang sekarang banyak banget. Aku cuma pengen kenalan sama crafter baru yang punya bakat. Bagus kalau dia bisa bantu kamu di toko kan?"
"Gon sama Vinny cukup bantu aku kok. Mereka ngerjain semuanya lebih efisien."
"Aku tau. Aku cuma mau kenalan aja. Kalau emang kamu kenal satu yang bagus, satu aja ga pa-pa. Ga perlu maksain dua orang."
"Okay."
"Toko gimana?"
"Baik, kayak biasanya. Penjualan naik walau ga banyak. Kayaknya harus bikin desain baru soalnya desain-desain lama udah mulai ditiru orang lain."
"Nanti kamu masukin soal itu di laporan email ya. Sekalian sama calon desain barunya kalau udah ada."
"Okay. Em ... aku boleh nanya sesuatu?"
"Boleh."
"Kamu beneran mau pindah?"
"Kamu udah dapet kabar itu ternyata." ujarku. Saat pulang beberapa hari yang lalu aku memang tak menyempatkan diri datang ke toko dan tak memberitahu tentang kepindahanku pada Sari.
"Aku baca di instagram. Jadi bener kamu mau pindah ke Jerman?"
"Iya. Aku pindah semester depan. Makanya aku butuh lebih banyak orang buat bantu kamu di sana."
"Sebenernya ... aku mau bilang sesuatu ke kamu soal Gon sama Vinny. Aku udah lama mau ngomong ini, tapi aku khawatir dibilang ngehasut soalnya Putri percaya banget sama mereka."
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-