Tertawa
Tertawa
Aku tahu aku tak salah mendengar Dokter Alena menyebutkan nama bundaku, tapi aku tetap merasa yang kudengar sesaat lalu terasa seperti hembusan angin yang segera berlalu. Walau meninggalkan rasa sejuk yang mungkin akan kuingat sepanjang hidupku.
"Itu ... nama bundaku." ujarku sambil menatap kedua manik mata Dokter Alena dengan seksama karena aku tak ingin melewatkan satu getaran pun di pupilnya yang mungkin berarti sesuatu. Namun Dokter Alena justru menatapku dengan tatapan yang sama, dengan sebuah senyum mengembang di bibirnya.
"Saya titip salam buat bunda kamu ya."
Aah....
Aku menarik napas perlahan, "Bundaku ... udah ga ada, Dok. Aku yatim piatu."
Senyum Dokter Alena yang sesaat lalu mengembang tiba-tiba lenyap. Berganti dengan tatapan bersalah dan kehilangan di saat yang sama. Sebetulnya aku ingin sekali mengatakan padanya aku akan menyampaikan salam darinya, tapi bagaimana aku akan melakukannya? Makam bundaku bahkan tak ada.
Dokter Alena meraih tanganku yang berada di atas meja dan menggenggamnya, "Saya ikut kehilangan. Bunda kamu baik banget."
Aku hanya sanggup mengangguk. Perasaanku bercampur aduk hingga aku tak yakin yang mana yang sedang terlihat di wajahku sekarang. Aku hanya berharap raut wajahku tak terlalu menyedihkan.
"Kamu ... mau jadi anak asuh saya?"
Aku menatap Dokter Alena dengan tatapan terkejut, "Aku ... kalau ... kita jadi sahabat baik, mungkin bisa. Kalau Dokter ga keberatan."
Dokter Alena terlihat kecewa dalam sedetik waktu yang terlewat, tapi ada sebuah senyum simpul dan anggukan kepala sesaat setelahnya. Aku tak bisa menerima tawaran Dokter Alena begitu saja, bahkan jika aku menginginkannya. Dengan latar belakang keluargaku yang begitu rumit, kurasa akan lebih baik jika Dokter Alena tak perlu mengetahuinya sama sekali.
"Kamu bisa telepon atau chat saya kapan aja. Mau konsultasi soal reproduksi juga boleh. Atau kalau kamu butuh temen curhat, kamu boleh telepon saya."
Aku mengangguk, "Makasih, Dok."
Dokter Alena menepuk tanganku beberapa kali, "Saya ga akan ganggu waktu kamu. Kita udah kelamaan ngobrol di sini. Saya pamit ya."
Aku mengangguk dan berusaha tersenyum saat Dokter Alena bangkit. Tanganku digenggam hingga aku mengantar hingga ke mobilnya. Dokter Alena bahkan sempat memelukku dalam diam sebelum memasuki mobil.
Aku menatapi mobilnya yang beranjak pergi dari parkiran, lalu kembali ke workshop dengan hati yang terasa berat. Bel yang berbunyi seperti lonceng menyambutku saat aku membuka pintu dan tiba-tiba aku mengingat sesuatu.
Aku bergegas naik ke lantai dua, lalu mengamit handphone dan laptop sebelum menaiki tangga ke atap. Aku segera memberi Oma panggilan telepon saat aku duduk di kursi panjang di bawah kanopi transparan.
"Mafaza sehat?"
Aah itu adalah suara opaku....
"Faza sehat, Opa. Opa gimana? Udah bisa pulang?"
"Belum. Mungkin besok atau lusa."
Entah kenapa hatiku terasa tersengat sesuatu yang tak terlihat. Aku tahu aku sedang merasa tak rela. Andai saja kami dekat, kurasa aku lah yang akan merawat Opa dengan kedua tanganku sendiri.
"Opa bisa kasih semua kerjaan Opa ke Faza. Kan Faza udah bilang, Opa harus istirahat. Jangan kerja terus. Coba liat, sekarang Opa sakit."
Terdengar suara tawa Oma di ujung sana, pelan dan sepertinya berjarak cukup jauh. Mungkin Oma sengaja mengaktifkan speaker dan membiarkanku berbincang dengan Opa berdua saja.
"Mafaza sudah berani marah ke Opa, ya?" Opa bertanya dengan lembut dan aku bisa membayangkan Opa sedang tersenyum. Entah kenapa aku kesal sekali mendengarnya.
"Iya, Faza marah. Opa bandel banget. Opa kan udah ga muda lagi. Biar semua kerjaan Faza yang handle, Opa istirahat aja. Faza kan jauh dari Opa, kalau Opa sakit Faza ga bisa langsung pulang." ujarku dengan air mata yang mulai meleleh.
Terdengar helaan napas panjang di ujung sana, "Opa minta maaf sudah membuat Mafaza khawatir. Nanti Opa kurangi jam kerja Opa, ya?"
Bagaimana mungkin aku mempercayainya? Aku tahu dengan baik betapa opaku tak akan sanggup diam walau hanya sesaat. Setiap pagi Opa selalu menyibukkan diri dengan berjalan kaki mengelilingi rumah dan memberi makan ikan koi. Opa akan membaca entah berapa buku di ruang baca dan baru akan beristirahat setelah merasa lelah, tapi waktu istirahat Opa pun hanya sebentar. Tak lebih dari dua jam saja, lalu Opa akan kembali menyibukkan diri dan berbincang dengan Oma tentang berbagai hal.
"Faza kangen." tiba-tiba saja kalimat itu telontar dari bibirku. Beban yang kurasakan di hatiku sejak Oma mengabari Opa masuk rumah sakit tiba-tiba menguap entah ke mana.
"Opa juga rindu. Tadi Jaya bilang ke Opa, katanya Mafaza ingin mengajak Opa menginap di resort. Sepertinya batal, bukan begitu?"
Aku menggumam lirih. Entah apakah Opa mendengarnya atau mengetahui itu adalah jawaban "iya" yang tak terucap, tapi kami diam selama beberapa lama.
"Lain kali bisa kok." terdengar suara Oma yang cukup jelas. "Nanti kalau Faza pulang lagi, kita nginep di resort, ya?"
"Mm ... Faza sama Astro mau ke Bogor bulan depan, Oma. Faza kangen rumah Faza. Ada Kyle sama Jian kok yang nemenin kita."
Lalu hening di antara kami. Aku tak tahu apa yang Opa dan Oma pikirkan. Aku tak dapat melihat wajah mereka sekarang. Aku bodoh sekali, seharusnya aku memberi Oma panggilan video call saja tadi.
"Oma boleh titip sesuatu?"
"Nitip apa Oma?"
"Ana punya satu kemeja warna biru laut, motifnya kerang. Kemeja itu Oma yang jahit. Kalau Faza ke rumah nanti, bisa cari kemeja itu buat Oma? Oma mau simpen."
Aku ingat kemeja yang disebutkan Oma dengan baik. Bunda hanya memakai kemeja itu di saat spesial hingga masih terawat dengan baik selama bertahun-tahun. Entah bagaimana bentuk kemeja itu sekarang. Terlebih, rumah itu kosong dan hanya dikunjungi beberapa kali untuk dibersihkan.
"Nanti Faza cari ya, Oma."
"Makasih ya."
"Bukannya sekarang jam bekerja Mafaza di workshop?" Opa bertanya.
"Iya, Opa. Tadi ada customer jadi baru bisa nelpon sekarang."
"Mafaza harus bekerja sesuai jadwal."
"Faza bisa ngobrol sebentar lagi kok. Faza kan kangen. Faza baru bisa pulang kamis sore, itu masih lama. Opa katanya kangen juga, tapi Faza diusir disuruh kerja."
"Huss ga boleh ngomong begitu. Ga sopan." ujar Oma.
Aku menatap ujung pandanganku dengan sebal. Untunglah aku tak sedang melakukan panggilan video call saat ini atau aku sudah pasti mendapat teguran yang lebih dari sekedar disebut tak sopan.
"Sudah-sudah. Sepuluh menit lagi ya, lalu Mafaza harus tutup teleponnya. Mafaza tahu besok vonis sidang kan? Mafaza harus lebih hati-hati. Opa beristirahat di rumah sakit bukan tanpa alasan. Opa berpikir mungkin akan lebih baik jika Opa di sini beberapa hari lagi karena di sini lebih aman."
Aah begitukah?
"Hubert masih di Madura sekarang. Dia bisa saja datang ke workshop kapan saja. Mafaza harus tetap bersikap sopan seolah ga ada apa-apa, tapi Mafaza harus terus waspada."
"Faza ngerti, Opa."
"Bagus. Nanti buatkan Opa brownies kalau Mafaza pulang, ya? Opa juga mau tumis udang pedas kesukaan Opa."
"Iya, Opa. Nanti Faza bikinin buat Opa, tapi Opa harus makan banyak ya."
"Opa pasti makan banyak. Oh ya, Astro bilang Mafaza semakin gemuk. Apa betul?"
Laki-laki itu benar-benar menyebalkan. Bisa-bisanya membahas berat badanku pada Opa saat masalah kami ada begitu banyak.
"Faza gendut sekarang. Berat badan Faza naik hampir empat kilo. Opa ga boleh ketawa ya kalau liat Faza nanti. Kalau ketawa nanti Faza ngambek."
Opa tertawa.
Aah opaku tertawa....
Entah kapan terakhir kali aku mendengar Opa tertawa. Andai aku berada di sampingnya sekarang, kurasa aku akan langsung memeluknya. Namun yang terjadi sekarang, air mataku justru meleleh karena haru.
"Faza sayang Opa, sayang Oma juga. Opa sama Oma harus sehat ya."
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-