Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Diamond



Diamond

1"Kenapa kamu kasih aku ini?" aku bertanya sambil memutar master diamond cube (salah satu jenis rubik) berwarna kombinasi yang setengah transparan di tanganku.     

"Kamu kan hobi kebanyakan mikir. Bagus aku kasih kamu rubik itu kan? Biar hobi kamu tersalurkan." ujarnya dengan senyum mengodanya yang biasa sambil mengetik di atas keyboard tanpa melihat.     

Aah laki-laki ini benar-benar....     

Kemarin saat dia pulang dengan satu buket bunga lavender dan sebuah kotak berwarna hijau lumut, rubik ini berada di dalam kotak itu. Aku ingat Astro memang menyebut sesuatu tentang kejutan beberapa hari lalu dan sepertinya ini adalah kejutan yang dia maksud.     

Aku sempat mengira ada sesuatu yang disembunyikan di dalam rubik jika aku berhasil menyamakan semua warna sisi rubiknya, tapi sampai sekarang aku masih belum bisa menyamakan satu pun warna di satu sisi rubiknya. Aku payah sekali.     

Sekarang kami sedang berada di dalam pesawat untuk pulang ke rumah Opa. Jika aku tidak salah perhitungan, seharusnya kami akan mendarat sebentar lagi.     

Aku menoleh untuk menatap ke jendela di sebelahku, sudah gelap sekarang. Saat kami berangkat tadi, senja masih menghiasi langit sepanjang perjalanan kami ke bandara. Malam mulai menjelang saat kami lepas landas, yang entah kenapa meninggalkan rasa tak rela di hatiku.     

Aku mengingat workshop yang kutinggalkan dan sudah kupercayakan pada Cacha besok. Membuatku membayangkan jika kami benar-benar pindah nanti, mungkin akan terasa lebih berat dari ini.     

Astro mengamit wajahku dan mengecup puncak kepalaku, "Jangan bengong. Nanti ada yang nempel."     

Aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Kalimat itu adalah kalimatnya saat pertama kali kami bertemu di toko kain milik Opa bertahun-tahun yang lalu.     

"Iya, kamu yang nempel." ujarku sambil menatapnya lekat.     

Astro tersenyum lebar sekali sambil menatapku seolah tak rela satu ekspresi pun terlepas darinya. Dia tampan sekali.     

"Udah selesai?" aku bertanya karena laptop yang sejak tadi berada di pangkuannya sudah tak ada di sana.     

Astro mengangguk, "Akhirnya selesai sebelum kita landing."     

"Dasar Tuan Gila Kerja."     

"Kan gila kerjanya buat kamu, dasar Nyonya Bawel." ujarnya sambil mencubit pipiku pelan.     

Aku ingin sekali tertawa, tapi aku menahannya. Kami akan menjadi pusat perhatian jika aku melepas tawa dan itu jelas bukan hal yang kuinginkan. Aku mengamit lengannya dan menyandarkan kepala di bahunya. Tubuhnya hangat sekali, dengan aroma green tea yang menguar dari rambutnya. Aku selalu menyukainya.     

Sesuai perkiraanku, kami mendarat sesaat setelahnya. Aku bisa melihat Jian saat kami beranjak keluar dari pesawat, tapi aku tak melihat Rilley di mana pun. Padahal Kyle berkata Rilley akan menjaga kami dari jauh.     

Kami membereskan barang bawaan kami, lalu bergegas ke parkiran dan menemukan Pak Said yang sudah menunggu. Pak Said membantu kami mengangkut koper ke bagasi sebelum memulai perjalanan kami ke rumah Opa. Kami membahas bagaimana kondisi Opa selama beberapa hari ini. Walau Pak Said berkata Opa terlihat sehat, aku merasakan sesak yang tak bisa kujelaskan menyusup ke dalam hatiku.     

"Saya minta maaf, Mbak Faza. Kalau aja dulu saya ga nabrak mobil orang lain, mungkin sekarang bapak (Opa) ga perlu rutin cek ke dokter terus dan ga bikin semua orang panik andai ada apa-apa sama bapak." ujar Pak Said dengan nada bersalah.     

Ingatanku melayang ke dua tahun lalu saat aku dan Astro sedang berada di rumahnya. Saat itu Mbok Lela memberitahu kami bahwa Opa dirawat rumah sakit. Sehari berselang setelah kejadian itu Ayah memberitahu kami bahwa kami bisa saja menikah hari itu, tapi Ayah berusaha mengulur waktu dengan berkata Opa masih sehat dan kami tak perlu terburu-buru.     

"Ga perlu dibahas, Pak. Itu udah lewat. Lagian itu bukan salah Bapak. Faza justru berterimakasih karena Bapak udah kerja sama Opa selama ini." ujarku.     

Pak Said terdiam walau menatapku penuh rasa bersalah dari spion tengah. Entah apa yang sedang dia pikirkan, aku tak akan bertanya.     

Astro mengajak Pak Said berbincang tentang keadaan rumah Opa dan siapa saja yang datang berkunjung, sementara aku hanya diam mendengarkan. Sejauh ini hanya ada Ayah, Ibu, Kakek Arya, dan semua penghuni mansion kecuali Axelle. Juga Paolo, Denada, dan Zen.     

Aah Zen....     

Aku sudah lama tak berbincang dengannya sejak Astro melarangku melakukannya. Zen bahkan harus meminta izin padanya lebih dulu jika ingin menghubungiku.     

Aku melirik jam di lenganku saat kami memasuki halaman rumah Opa, pukul 20.32. Seharusnya Opa sudah beristirahat sekarang jika Opa tak ingin terlalu lelah.     

Jian membantu mengangkut koper sementara aku dan Astro menghampiri teras depan. Hening sekali di sini. Aku hampir saja membatalkan niatku untuk mengetuk pintu dan hanya menatapinya dalam diam.     

"Aku langsung jalan ya." ujar Jian yang sampai di sebelah kami dengan koper milik kami di sisinya.     

"Sampaiin salam buat ayah sama ibu dari kita, sabtu sore kita ke sana." ujar Astro.     

Jian hanya mengangguk dan kembali menghampiri mobil. Pak Said akan mengantarnya ke rumah Astro.     

Sebetulnya aku heran sekali. Pak Said adalah penjaga rumah ini yang juga merangkap sebagai supir dan seorang yang membantu mengurus kebun, dengan Bu Asih yang adalah istrinya yang membantu Oma memasak dan membersihkan rumah. Mereka bisa leluasa pergi dengan izin dari Opa san Oma. Siapa yang menjaga rumah ini sebenarnya?     

Aku tahu rumah ini memiliki banyak kamera tersembunyi, bahkan mungkin juga penjaga tersembunyi. Aku hanya tak habis pikir kenapa aku tak pernah menemukan salah satunya.     

"Ga mau masuk?" pertanyaan Astro membuyarkan lamunanku.     

Aku menoleh untuk menatapnya, "Kamu aja yang ngetuk."     

Astro mengelus puncak kepalaku sebelum mengetuk pintu beberapa kali. Tepat setelah ketukan terakhirnya, jantungku berdetak kencang sekali. Seolah akan mampu meloloskan diri dari tubuhku.     

Aku bisa mendengar suara langkah kaki dari dalam. Jika aku tak salah menebak, itu adalah langkah kaki Oma. Saat pintu terayun terbuka, Oma tersenyum lebar sekali dan memeluk kami berdua bersamaan.     

"Oma sehat?" Astro bertanya sambil menyalami dan mencium tangannya, seperti yang biasa kami lakukan.     

"Sehat kok. Emang keliatannya Oma gimana?" Oma bertanya sambil mengelus wajah Astro seperti seorang kekasih yang merindukan kekasihnya.     

Aah kurasa aku baru saja merasa cemburu....     

"Oma ga kangen sama Faza?" aku bertanya.     

Oma tertawa, "Cucu Oma satu ini udah jago ngambek ya sekarang?"     

Aku tersenyum singkat pada Oma sebelum menyalami dan mencium tangannya. Oma memelukku erat dan terdiam lama sebelum melepaskanku.     

"Opa ada di kamar kalau kalian mau ketemu, tapi cuma sebentar ya. Opa harus istirahat." ujar Oma dengan tatapan lembut khas orang tua.     

Aku menoleh pada Astro untuk meminta pendapatnya. Dia hanya mengangguk sambil menarik koper kami memasuki rumah. Dia mengajakku menaruh koper di kamar saat Oma beranjak ke dapur, lalu kami menghampiri kamar Opa dan mengetuk pintu.     

"Masuk." terdengar suara Opa dari dalam.     

Astro lah yang membuka pintu dan mendahuluiku menyalami tangan Opa. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil terus memegangi tangan Opa setelah mencium tangannya, sedangkan Astro mengambil sebuah kursi dan duduk di dekat kami.     

Opa sedang duduk di tempat tidur dengan bersandar pada bantal sambil membaca sebuah buku saat kami masuk. Opa meletakkan buku yang sesaat lalu dibaca dan menepuk tanganku yang menggenggam tangannya beberapa kali. Ada tatapan rindu di matanya saat menatap kami bergantian.     

"Maaf kita ganggu Opa istirahat." ujar Astro.     

"Bukan masalah. Bagaimana dengan rencana kita? Lancar?"ujar Opa. Alih-alih bertanya tentang hal lain Opa justru membahas hal itu.     

"Sejauh ini lancar, Opa. Ayah udah milih negara baru buat kita, tapi ayah ga mau ngasih tau." ujar Astro.     

Opa tersenyum tipis, "Kalau begitu kalian harus menunggu sampai giliran kalian wawancara di imigrasi."     

"Opa juga ga mau ngasih tau?" aku bertanya dan sengaja merajuk.     

"Nanti Opa beri tahu jika sudah waktunya kalian wawancara."     

"Kalau kita disuruh ke Venezuela gimana? Kan kita ga ngerti bahasa Spayol." ujarku yang sengaja memancing Opa memberitahukan negara tempat kami berkuliah semester depan, tapi Opa tersenyum. Senyum khas orang tua yang teduh dan memiliki banyak pengalaman hidup.     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.