Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Perpustakaan



Perpustakaan

2"Kalian cerdas. Mungkin hanya butuh waktu beberapa bulan kursus bahasa Spanyol. Apa yang perlu dikhawatirkan?" ujar Opa.     

"Tapi kan ..."     

Astro menggeleng padaku dan memberi isyarat untuk berhenti. Aku terpaksa menurutinya karena aku tahu Opa seharusnya sudah beristirahat. Opa memang terlihat sehat seperti biasanya, tapi aku harus mengakui ada tatapan mata yang lelah walau berusaha disembunyikan.     

"Kalian harus bertemu Chandra besok pagi. Kalian harus mulai belajar mengelola perusahaan Opa."     

Itu artinya kepemimpinan perusahaan perakitan senjata milik Opa akan dialihkan padaku dalam waktu dekat. Apakah Opa sudah menyerah mengurusinya seorang diri saat ini?     

"Iya, Opa." ujar Astro.     

Opa mengangguk sambil menepuk tanganku perlahan, "Kyle sudah memberitahu Opa tentang pernyataannya untuk setia pada kalian siang tadi. Kyle juga memberitahu Opa bahwa kalian sudah mengetahui tentang Kyle yang adalah anak asuh Opa."     

Aku dan Astro saling bertatapan dalam diam selama beberapa lama sebelum kembali mengalihkan tatapan kami pada Opa.     

"Tolong bantu Kyle menemukan calon istri ya? Kyle tidak pernah mendengarkan Opa saat Opa memintanya menikah."     

Aku tersenyum, "Kyle juga ga mau dengerin Faza."     

Opa menggumam pelan, "Begitu ya? Memang keras kepala."     

Aku memberi Opa tatapan sebal, "Persis kayak Opa."     

Opa tertawa, dengan susunan gigi yang penuh dan rapi. Opa tampan sekali walau sudah tak muda lagi. Kurasa aku tahu kenapa Oma jatuh hati.     

"Mafaza benar." ujar Opa sambil tersenyum dan menepuk tanganku. "Seperti Mafaza juga. Sepertinya Opa memang menularkan sifat buruk pada kalian ya?"     

Aah....     

"Udah ngobrolnya. Opa harus istirahat." ujar Oma sambil berjalan menghampiri kami dari arah pintu. "Kalian makan dulu ya. Oma udah siapin makanan di dapur"     

Astro mengangguk dan bangkit. Aku tahu dia menunggu Opa melepas tanganku.     

"Ada yang ingin Opa bicarakan besok setelah kalian bertemu Chandra." ujar Opa sambil menggenggam tanganku lebih erat. "Opa tunggu kalian di ruang baca."     

Aku hanya sanggup mengangguk. Aku merasa gamang harus bersikap bagaimana karena Opa tak juga melepas tanganku. Aku tahu Opa ingin aku berada di sisinya lebih lama.     

Aku menggeser tubuhku lebih dekat pada Opa dan memeluknya, "Faza sayang Opa."     

Opa hanya menggumam dan melepas genggaman tangannya padaku, lalu mengusap bahuku perlahan. Opa memang tak mengatakan apapun, tapi kurasa pelukan ini cukup membuat Opa merelakanku.     

Aku melonggarkan pelukanku setelah kurasakan elusan di bahuku berhenti, "Opa istirahat ya."     

Opa hanya mengangguk saat aku benar- benar melepas pelukanku. Aku bangkit dan mengamit tangan Astro, lalu kami beranjak keluar kamar dan menutup pintu. Aku memeluk pinggang Astro saat Astro mengajakku berjalan menuju dapur.     

"Kerjaan kamu nambah." ujarnya.     

Aku menggumam mengiyakan, "Kerjaan kamu juga."     

"Aku ga masalah. Aku kan laki-laki. Kalau kamu, jelas jadi masalah."     

Aku mendongkak untuk menatapnya, "Aku punya waktu beberapa bulan sebelum kita pindah. Aku bisa kok."     

Astro memberiku tatapan sebal, tapi tak mengatakan apapun. Dia mengalihkan tatapannya dariku saat kami sampai di dapur. Sudah ada berbagai nasi dan lauk pauk di meja makan, dengan seteko kecil teh hangat dan dua gelas di sisinya.     

Di jam seperti ini, saat Bu Asih sudah pulang. Opa dan Oma hanya di rumah berdua saja. Mereka menangani sendiri segala hal yang terjadi. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana keadaan saat Opa pingsan minggu malam lalu. Oma pasti langsung menelepon ambulance, sama seperti saat Opa masuk rumah sakit tengah malam bertahun-tahun lalu, saat aku sedang berkutat mengurusi pesanan tiara dan buket bunga artifisial.     

Astro baru saja akan mengambil piring dan mengisinya dengan nasi saat aku mengambil piring itu dari tangannya. Aku mengisinya dengan nasi dan lauk pauk sesuai dengan porsi makannya yang biasanya dan meletakkannya di hadapannya.     

"Aku ga laper. Kamu aja yang makan." ujarku sambil duduk di kursi yang biasa kududuki.     

"Kamu harus makan. Kamu kan belum makan apa-apa dari tadi. Ayo, aaa ..." ujarnya sambil menyodorkan satu suapan padaku.     

Aku menghela napas sebelum menerimanya dan mengunyah dalam diam. Dia menyuapiku sambil menyuapi dirinya sendiri. Dia menambah porsi nasi untuk kami berdua saat merasa belum cukup kenyang. Dia juga yang membereskan segala perkakas bekas makan kami, sedangkan aku hanya menonton.      

Dia mengamit tanganku dan mengajakku duduk di teras belakang. Udara di sini terasa dingin, sepertinya akan turun hujan. Entah berapa kali kami menghabiskan waktu di kursi panjang teras ini sejak pertama kali kami bertemu. Kursi panjangnya bahkan adalah kursi yang sama, yang bertambah tua seiring dengan usia kami.     

Aku menyandarkan kepala di bahunya saat dia merapatkan tubuhnya padaku dan memeluk pinggangku. Tatapanku jauh ke arah pohon yang berderet rapi di ujung sana. Pikiranku melayang pada segala hal sudah terjadi.     

"Ga berasa ya?" suara Astro memecah keheningan di antara kami.     

Aku hanya menggumam mengiyakan.     

"Kamu nyesel?"     

Aku menggeleng, "Buat apa?"     

"Karena kita ga nikah lebih cepet."     

Aah laki-laki ini benar-benar....     

Aku mendongkak dan mendapatinya sedang memberiku senyum menggodanya yang biasa. Alih-alih memberinya tatapan sebal, aku justru mengecup bibirnya.     

"Udah berani?" dia bertanya dengan senyum lebar sekali.     

"Kan kamu yang bilang Opa ga akan keberatan." ujarku sambil tersenyum manis.     

Astro menggumam mengiyakan, "Dulu pertama kita duduk di sini kamu nyebelin banget."     

"Bukannya kamu yang nyebelin? Ngapain ikut aku pulang? Kamu pasti tau kan aku ga mau diganggu."     

"Kamu ga mau diganggu, tapi kamu butuh. Coba kalau aku ga gangguin kamu, kamu mungkin masih ngurung diri di kamar bertahun-tahun dan jadi anti sosial."     

Aku tahu Astro tak menyebutkan apapun tentang Axelle, tapi aku tahu Astro memaksudkan Axelle padaku. Kurasa Astro benar. Mungkin aku akan menjadi seperti Axelle jika saja Astro tak mengikutiku pulang ke rumah ini.     

"Thank you." ujarku sambil mengecup pipinya.     

Astro tersenyum lebar sekali. Seperti tak akan pergi dalam waktu dekat.     

"Aku punya ide buat lahan kamu yang tadinya mau dibangun resto, tapi ga jadi."     

"Yang deket Bandara Juanda?"     

Aku mengangguk, "Kamu ga jadi bikin resto di sana kan?"     

Astro mengangguk, "Sebenernya aku mau bangun komunitas robot di sana. Biar Jojo sama Hasto yang ngurus."     

"Gitu ya?"     

Astro menggumam mengiyakan, "Kamu punya ide apa?"     

"Cuma ... kepikiran bikin perpustakaan atau kafe buku sewaan, tapi kalau kamu mau bikin komunitas di sana kayaknya bisa sekalian aja digabung."     

Astro terlihat berpikir dalam dan matang sebelum bicara, "Nanti kita bahas lagi kalau kita pulang ke Surabaya."     

Aku mengangguk dan mengalihkan tatapanku pada pepohonan yang gelap sambil memeluk pinggangnya lebih erat.     

"Mau ke kamar sekarang? Kamu meluk begini bikin aku pengen."     

Aku mendongkak dan memberinya tatapan sebal, "Cuma begini aja kamu pengen?"     

Astro mengangguk dengan tatapan menderita, "Aku kan sehat banget."     

Astaga ... yang benar saja?     

"Nanti dulu. Aku masih mau di sini." ujarku sambil mengalihkan tatapanku darinya dan menatap langit malam yang berawan gelap. Sepertinya benar akan turun hujan malam ini.     

Astro mengelus puncak kepalaku perlahan dan bicara dengan nada sangat pelan, "Bisa nebak Opa mau ngobrol apa sama kita besok?"     

"I have no idea." ujarku lirih.     

"Aku punya."     

Aku menoleh untuk menatapnya, "Apa?"     

Astro menaikkan bahu, "Pengen punya cicit?"     

Aah laki-laki ini benar-benar....     

Aku mencubit pipinya dengan gemas dan berbisik di telinganya, "Kita udah sepakat mau punya bayi kalau kuliah kita selesai atau kalau aku udah siap."     

"Aku bisa bikin kamu siap." ujarnya sambil menggigit sedikit ujung bibirnya.     

"Jangan macem-macem."     

Astro memelukku lebih erat dan mengecup dahiku lama sekali sambil bicara, "Jangan marah-marah terus. Nanti cepet keriput kayak nenek-nenek."     

Aku hampir saja tertawa saat aku mengingat sesuatu, "Makam Nenek Buyut Prameswari ada di mansion kan?"     

Astro mengangguk, "Kenapa?     

Aku menggeleng, "Aku mau liat. Waktu kita ke sana aku ga merhatiin."     

Astro melonggarkan pelukannya dan menatapku lekat. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang, tapi dia sanggup membuatku merasa aku sedang diinterogasi dalam diam.     

"Apa?" aku bertanya karena aku mulai berpikir berlebihan. Bagaimana jika dia sedang berusaha menghipnotisku sekarang?     

"Aku mau ngundang kakek Rizal ke Surabaya sebelum kita pindah ke luar negeri."     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.