Prank
Prank
Aku berpikir bagaimana kegiatan kami selama ada Kakek Rizal di sekitar kami. Kakek Rizal memang kakekku, tapi kami jarang sekali bertemu. Bahkan aku bisa mengingat pertemuan kami bisa dihitung dengan jari. Yang berputar di kepalaku sejak semalam adalah bagaimana jika Kakek Rizal berpikiran buruk padaku dan Astro selama tinggal bersama kami di Surabaya nanti. Bagaimanapun kegiatan harian kami tak seperti kebanyakan anak muda seusia kami.
Aku menoleh untuk menatap Astro. Dia sedang menggenggam tanganku dan membiarkanku menyandarkan kepala di bahunya. Aroma hangat tubuhnya membelai hidungku. Aku menyukainya.
Aku mengecup pipinya, "Mau pulang sekarang? Kita punya janji ketemu Pak Chandra."
"Sebentar lagi ya." ujarnya tanpa menoleh padaku, tapi tangannya mengelus puncak kepalaku.
Baru kali ini dia yang meminta waktu lebih lama berada di makam ini. Aku tahu dia memang sedang memikirkan sesuatu sejak kami sampai di sini karena dia lebih banyak diam. Entah apa yang ada di otak briliannya sekarang, aku tak akan mengganggunya.
Aku mengalihkan tatapan ke makam ayahku, dengan sebuah lahan kosong yang seharusnya untuk Bunda. Entah kenapa terasa sepi. Bukan karena ini masih sangat pagi dengan kabut yang mengelilingi sekitar kami, tapi jika aku menjadi Ayah yang dimakamkan tanpa Bunda, mungkin memang akan terasa sepi sekali, bukan?
Ayah dan Bunda selalu bersama kapanpun mereka memiliki waktu. Namun sekarang mereka harus berpisah karena tubuh Bunda belum ditemukan di mana pun. Kurasa sekarang aku mengerti kenapa Astro bersikeras meminta satu liang kubur denganku.
Aku menoleh untuk menatapnya dan mengelus wajahnya. Dia menoleh padaku dan tersenyum lembut. Dia tampan sekali.
"Kamu mikir apa?" aku bertanya.
"Abis ngobrol sama ayah."
Aku menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin dia bicara pada ayahku yang sudah meninggal bertahun lalu? Dia pasti bercanda.
"Ayah minta kamu hati-hati kan? Inget terus pesen ayah. Urusan kita sama keluarga Zenatta belum selesai, Honey."
Aku hanya mengangguk. Aku memang pernah memberitahunya tentang kata-kata ayahku yang disampaikan melalui mimpi. Mungkin benar itu adalah pesan yang harus kuikuti.
Astro mengecup bibirku, "Mau pulang sekarang?"
"Yuk. Pak Chandra mungkin udah sampai rumah Opa sekarang."
Astro hanya mengangguk. Kami mengelus makam Ayah dan kedua adikku sebelum bangkit, lalu berjalan menyusuri makam-makam lain dalam diam. Kabut yang meninggalkan sensasi dingin membuat kami berjalan sambil memeluk hingga sampai di motor.
Kami memakai helm dan langsung berkendara pulang menuju rumah Opa. Aku bisa melihat Jian mengawal dengan sebuah motor lain di belakang kami melalui spion. Namun aku tak menemukan Rilley di mana pun.
Aku memeluk Astro lebih erat. Entah kenapa aku merasa aku akan merindukan suasana ini. Kami mungkin tak akan bisa leluasa ke makam keluargaku lagi jika kami pindah nanti. Namun aku tak akan mengeluh, aku memiliki dirinya. Itu cukup bagiku.
Kami sampai di halaman rumah Opa tak lebih dari dua puluh menit karena Astro menggunakan kecepatan sedang. Dugaanku tepat, sudah ada sebuah mobil yang tak kukenali terparkir di halaman. Mungkin itu adalah mobil Pak Chandra.
Kami bertatapan dalam diam sambil melepas helm masing-masing. Kami saling menggenggam tangan dan berjalan memasuki ruang tamu dengan pintu terbuka. Namun tak ada siapapun di sana.
Astro menoleh dan menatapku dengan tanda tanya di wajahnya. Aku hanya menanggapinya dengan menaikkan bahu, lalu mengajaknya berjalan lebih dalam ke ruang tengah. Namun tak ada siapapun.
Ini aneh sekali. Biasanya tamu Opa akan menunggu di ruang tamu, atau ruang tengah jika memang dia adalah orang yang sangat penting. Apakah rumah ini memiliki ruangan rahasia lain selain loteng yang bisa menjadi tempat bertemu?
Aku baru saja akan menanyakan hal itu pada Astro, tepat saat terdengar suara tawa dari arah dapur. Suara tawa seseorang yang sepertinya kukenali bertahun lalu. Aku menarik tangan Astro untuk bergegas ke dapur karena aku sangat penasaran dengan suara tawa itu. Aku yakin aku mengenalinya walau samar karena sudah bertahun berselang.
Langkahku terhenti saat melihat seorang pria berusia sekitar 40 tahun sedang berbincang dengan Opa dan Oma. Aku mengenalinya sebagai Om ...
"Om Dwi?"
Pertanyaan itu datang dari Astro, yang membuatku menoleh untuk menatapnya. Aku juga hampir mengatakan hal yang sama, tapi dia mendahuluiku. Rupanya dia juga mengenalinya.
Entah bagaimana tiba-tiba Om Dwi sudah memeluk kami berdua dengan senyum terkembang di bibirnya, "Apa kabar kalian? Maaf ya Om ga dateng di resepsi kalian. Om ada tugas khusus. Kalian udah gede ya. Masih inget sama Om, kan?"
Aku menatap Om Dwi tak percaya, lalu menoleh pada Astro untuk memperhatikan ekspresinya. Astro terlihat sama bingungnya denganku.
"Ah, Om lupa." ujar Om Dwi sambil menepuk bahu kami. "Nama Om : Chandra Dwipa. Kalian taunya nama Om Dwi, kan? Sekarang kalian bisa panggil Om : Chandra."
Aku menatapnya tak percaya. Pria di hadapanku ini kukenali sebagai salah seorang kolega bisnis ayahku. Ayah beberapa kali mengajakku bertemu dengannya di rumahnya. Dia adalah kolektor segala jenis catur. Aku bahkan pertama kali melihat catur shogi saat berada di rumahnya.
Entah kenapa tiba-tiba aku mengingat Zen. Apakah mereka memiliki hubungan kerabat?
"Jangan bengong kalian. Masih pagi ini. Ayo sarapan dulu." ujar Om Chandra sambil menggiring kami menuju meja makan dan mendudukkan kami di kursi.
Aku dan Astro duduk bersisian. Kami saling menatap dalam diam, tapi Astro tersenyum lebar sekali. Dia bahkan hampir tertawa.
"Kamu kenal juga?" Astro bertanya dengan senyum yang mengembang semakin lebar.
Aku mengangguk dan mengalihkan tatapanku ke Om Chandra yang sekarang duduk di hadapan kami, "Om ... Chandra?"
Om Chandra mengangguk dengan senyum mengembang di bibirnya. Namun aku masih menatapnya tak percaya. Jika ayahku mengenalinya dan bahkan pernah mengajakku ke rumahnya, bukankah itu berarti Ayah tahu dia bekerja untuk Opa mengurusi perusahaan rakitan senjata? Atau dia memang menyamarkan diri sebagai orang lain?
"Kaget ya kalian?" Om Chandra bertanya dengan senyum masih terkembang di bibirnya walau dia mengalihkan tatapannya pada Opa. "Mereka kaget, Tuan."
Opa menggumam, "Misi kamu berhasil."
Aku menatap Opa tak percaya. Namun segera menoleh pada Astro saat dia mengelus puncak kepalaku.
"Kita kena prank bertahun-tahun." ujar Astro dengan kilat di matanya. "Kamu kenal Om Chandra di mana?"
"Ayah ngajak aku beberapa kali ke rumahnya. Atau ... rumah kamuflase?" aku bertanya sambil mengalihkan tatapanku ke Om Chandra.
"Pinter." ujar Om Chandra dengan tatapan yang tiba-tiba berubah serius. "Bisa kita bahas soal perusahaan rakitan senjata sekarang? Banyak yang harus kita siapin sebelum kalian pindah ke luar negeri."
Kurasa aku akan mengabaikannya untuk sementara. Hatiku terasa kesal sekali hingga aku menoleh untuk menatap Astro, "Kamu kenal Om Chandra di mana?"
"Om Chandra yang jadi pelatih nembak langganan kakek Arya." ujar Astro tanpa menoleh padaku. Tatapannya lurus ke arah Om Chandra.
Astro memang pernah memberitahuku dia sudah berlatih menembak sejak kecil dengan Kakek Arya. Mungkin saat itu, Om Chandra ada bersama mereka.
Aku menoleh untuk menatap Om Chandra yang sedang menatap kami bergantian dengan tatapan serius. Aku memiliki banyak pertanyaan di kepalaku. Yang mana yang harus kutanyakan lebih dulu?
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-