Layak
Layak
Opa tersenyum, "Chandra benar."
Aku menyandarkan punggung pada punggung kursi dan memejamkan mata. Elusan jari Astro di jariku yang membuatku masih menyadari aku tak boleh bersikap seperti ini, tapi kepalaku terasa berat sekali.
Seingatku, Ibu pernah berkata padaku bahwa Astro terlihat seperti menyukaiku saat kami bertemu di toko kain bertahun lalu. Opa dan Kakek Arya juga mengakui bahwa kami memang dijodohkan setelah aku bertemu Astro.
Aku tahu aku tak seharusnya memikirkan apapun tentang hal ini lagi karena aku pernah mengalami keraguan karena pertanyaan yang sama. Yang mengantarkanku pada Nino. Dia lah yang membuatku menyadari tak ada kebetulan yang terjadi di dunia ini.
"Opa dan Arya sengaja mengaburkan kenyataan karena Opa khawatir Mafaza akan bersikap seperti Danastri." ujar Opa.
"Berarti Ibu ga tau soal perjodohan Astro sama Faza dari dulu? Ibu taunya kita taunya dijodohin setelah Faza pindah." aku bisa mendengar Astro bertanya dengan jarinya masih mengelus jariku. Aku masih tak sanggup membuka mata. Aku bahkan berniat akan mendengarkan pembicaraan mereka saja untuk sementara.
"Oma juga ga tau." ujar Oma dengan gusar.
Opa menggumam, "Betul."
Aah....
Entah apa yang harus kulakukan sekarang. Merasa seperti umpan dan terjebak pun tak akan berguna saat ini. Bagaimanapun aku sudah memilih Astro. Kami bahkan tak tahu menahu tentang perjodohan rumit ini sejak awal.
Aku membuka mata dan menatap Opa. Opa yang bertahun ini kusayangi dan kujaga dengan baik perasaannya karena aku tak ingin membuatnya sakit jika aku mengatakan hal yang tak pantas, sedang menatapku dengan tatapan lembut. Namun tak ada raut bersalah di tatapan matanya.
Padahal Opa pernah mengakui rasa ragunya pada Astro hingga sempat berharap pada Zen. Aku ingin sekali bertanya, tapi aku tak ingin membuat hati suamiku terluka. Mungkin untuk yang satu ini, aku akan merahasiakannya saja walau Astro memang benar dengan kecurigaannya bahwa Opa pernah ingin memberi Zen kesempatan.
"Opa emang udah niat mau warisin perusahaan rakitan senjata ke Faza dari dulu? Om Chandra tadi bilang begitu." aku memberanikan diri bertanya pada akhirnya.
"Betul."
"Ayah tau soal itu? Maksud Faza, Ayah Faza."
"Abbas tahu."
Aku terdiam sesaat sebelum bertanya, "Bunda tau?"
"Hal ini dirahasiakan dari Danastri. Kesepakatan ini hanya antara Opa, Abbas, dan Arya."
Jantungku berdetak kencang sekarang. Bukankah itu berarti ...
"Ayah Faza tau Faza udah dijodohin sama Astro dari dulu?" aku bertanya.
Opa mengangguk, "Abbas tahu."
Seperti ada batu jatuh ke dasar perutku yang meninggalkan sensasi mual dan berputar. Bagaimana mungkin ...?
"Sejak Abbas menerima modal bisnis dari Opa, kami membuat banyak kesepakatan. Awalnya hanya kesepakatan bisnis saja, tapi sejak Danastri pulang dan menikah dengan Abbas, Opa membuat kesepakatan yang lain. Termasuk siapa saja yang akan mewarisi perusahaan. Abbas berpendapat Mafaza cocok untuk meneruskan perusahaan perakitan senjata karena Mafaza memiliki insting yang baik dan sejak itu Opa berniat menjodohkan Mafaza dengan Astro."
Insting. Gerard juga menyebutkan kata itu di pesan yang dia tinggalkan di balik lukisan rumah peninggalan ayahku.
"Tapi Astro ga pernah ketemu sama ayah Faza. Gimana mungkin ayah Faza setuju gitu aja Astro dijodohin sama anaknya?" Astro bertanya.
"Kami saling berkirim kabar secara berkala. Ga pernah bertemu bukan berarti ga kenal, bukan begitu?" Opa bertanya.
Kurasa itu menjelaskan banyak hal. Betapa aku bodoh sekali. Namun apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku memang mencintai Astro dan kami sudah menikah. Aku hanya harus menerimanya dengan hati lapang.
Aku menghela napas perlahan dan menoleh pada Astro. Dia sedang tersenyum lembut padaku dan kurasa dia sama sekali tak keberatan dengan fakta bahwa kami sudah dijodohkan sejak kami belum saling mengenal.
Astro mengalihkan tatapannya dariku dan menatap Opa, "Kalau gitu berarti Opa udah sengaja siapin Astro dari Astro kecil dulu?"
"Opa mempersiapkan kalian berdua, tapi Opa membuang ego. Opa membiarkan kalian yang memilih jalan kalian sendiri, Opa hanya menjembatani. Yang Opa persiapkan pada kalian jauh berbeda dengan yang Opa persiapkan pada Danastri."
Aku tahu Opa adalah perencana yang sangat teliti dan sabar. Aku hanya tak sanggup membayangkan Opa merencanakan sesuatu sejauh itu. Menjodohkan kami sejak kami belum saling mengenal terasa seperti tindakan yang gegabah bagiku.
"Opa minta maaf karena semua perusahaan harus ditangani oleh Mafaza sekarang. Seharusnya Mafaza hanya akan mewarisi perusahaan rakitan senjata saja. Opa akan banyak merepotkan kalian berdua kedepannya."
Astro mengelus puncak kepalaku, "Kita bisa. Ya kan, Honey?"
Aku hanya sanggup mengangguk. Memangnya pilihan apa lagi yang kumiliki?
"Ada yang ingin Mafaza tanya pada Opa?"
Aku menatap Opa dalam diam. Aku memiliki banyak pertanyaan. Sangat banyak. Aku hanya tak yakin yang mana yang akan kutanyakan lebih dulu. Terlebih, aku tak tahu yang mana yang paling aman kutanyakan saat ini.
Jika Opa memiliki banyak kesepakatan dengan ayahku sejak Ayah menerima modal bisnis darinya, bukankah itu berarti ...
"Opa punya kesepakatan apa sama Zen? Faza tau Opa bantu Zen buka kafe. Zen yang ngasih tau Faza." kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku tanpa bisa kutahan.
Opa terlihat berpikir sebelum bicara, "Zen anak baik dan Opa melihat ada bibit pebisnis di diri Zen. Opa hanya membantu menyalurkan keinginan Zen yang ga disetujui orangtuanya. Orangtuanya berpendapat memulai bisnis adalah hal yang merepotkan dan membutuhkan banyak dana. Orangtuanya lebih setuju Zen menggeluti seni yang memang sejak dulu Zen sukai."
Tunggu sebentar ...
Zen tak pernah menyebut apapun padaku tentang larangan orangtuanya tentang apapun. Kupikir selama ini aku cukup dekat dengannya, tapi aku bahkan tak tahu tentang hal ini.
"Bukan karena Opa sempet ngarep Faza milih Zen?" tiba-tiba aku mendengar Astro bertanya, yang membuatku menoleh padanya karena terkejut.
"Itu juga betul."
Tatapanku beralih untuk menatap Opa tepat setelah kalimat itu terdengar di telingaku. Aku berharap aku sedang salah mendengar, tapi aku tahu pendengaranku berfungsi sangat baik. Teramat sangat baik.
Opa menatap kami berdua dengan tatapan bersalah dan khawatir di saat yang sama. Tatapan itu juga kudapatkan dari Oma, yang membuatku menoleh untuk menatap Astro. Astro tersenyum lebar sekali. Entah ada apa dengannya. Kupikir dia akan tersinggung atau merasa kecewa karena dugaannya selama ini terjawab tepat di depan matanya. Namun dia justru tersenyum.
"Opa sama Oma nyesel Astro yang jadi menantu dan bukan Zen?" Astro bertanya dengan senyum lebar yang masih mengembang di bibirnya, yang justru membuatku bergidik ngeri.
"Opa yang sejak awal menjodohkan kalian, bagaimana mungkin Opa menyesal?" aku mendengar Opa bicara, yang membuatku menoleh pada Opa. Opa sedang menatap kami dengan tatapan pasrah khas orang tua. "Mafaza sudah memilih Astro, bukankah menyesal pun akan percuma? Lagi pula Astro sudah menjaga Mafaza bertahun-tahun, bukankah itu cukup untuk membuktikan Astro layak menjadi menantu?"
Hatiku bergetar. Hampir saja ada air mata meleleh di pipiku, tapi menghilang entah ke mana saat aku mendengar Astro bicara.
"Astro ga akan ngecewain Opa sama Oma. Selama ini Astro selalu berusaha pegang janji dan Astro akan berusaha bikin Faza bahagia. Astro cuma penasaran, apa yang bikin Opa tertarik sama Zen?"
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-