Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Dendam



Dendam

1Aku memeluk pinggangnya dan menyandarkan dagu di bahunya, "Kamu yakin?"     

Astro mengelus puncak kepalaku dan mengangguk, "Kita bisa coba."     

"Pakai cara apa? Dia ga pernah keliatan ngerjain semua urusan kotor sendirian. Lagian dia taunya aku ga tau apa-apa soal keterlibatan dia di kecelakaan jembatan itu. Donny juga pasti nebak hal yang sama."     

"Leave it to me (Serahin ke aku)."     

Aku menghela napas dan membenamkan wajah di bahunya. Entah kenapa ini terasa berat, seolah ada batu menghimpit dadaku dan terasa sesak.     

Aku tak ingin memancing keributan apapun lagi. Aku sangat ingin hidup dengan tenang. Aku akan memilih untuk berpura-pura tak tahu tentang rencana jahat siapapun padaku, tapi sepertinya saat ini aku memang tak bisa menutup mata. Namun haruskah seperti ini?     

Astro melepaskan pelukanku dan menggeser posisi tubuhnya menghadap ke arahku, "Ga usah dipikirin dulu. Nanti aku kasih tau rencanaku kalau udah waktunya."     

Aku mengangguk walau masih menundukkan wajah. Aku tak ingin menatapnya. Aku tak ingin melihat kilat di matanya yang mungkin saja terlihat berbahaya.     

Astro merapatkan tubuhnya padaku dan mengangkat tubuhku untuk duduk di pangkuannya, menghadap dirinya. Dia mengamit daguku dan memintaku menatapnya. Kilat di matanya yang sempat kuduga sesaat lalu ternyata tak ada. Dia justru menatapku dengan tatapan lembut.     

"Aku pikir ... masalah kita dateng karena kamu. Ternyata aku salah." ujarku ragu-ragu.     

Dia hanya menatapiku dalam diam.     

"Andai Abdzar dulu ga suka sama Bunda, mungkin dia ga akan dendam begini dan bikin banyak masalah."     

Astro mengelus wajahku perlahan, "Tapi kalau ga gitu, mungkin kita ga akan ketemu. Kan kamu yang bilang keluarga kita yang bentuk kita jadi sosok kita yang sekarang."     

Dia benar. Aku memang pernah mengatakannya.     

"Apapun yang kejadian dulu dan sekarang, bukan kebetulan kan?"     

Aku mengangguk. Lagi-lagi dia benar.     

"Aku bersyukur ketemu kamu dan aku ga mau kita bahas ini lagi. Kamu istriku sekarang dan masalah kamu jadi masalahku juga. Ini bukan soal siapa yang narik masalah ke kita, tapi gimana kita nanganin semua masalah yang ada."     

Aku terdiam walau mengangguk pada akhirnya. Aku tak mampu mengatakan apapun karena dia benar. Lagi pula membahas hal ini tak akan membawa kami ke mana pun.     

Dia mengamit kedua lenganku dan meletakkannya di bahunya, lalu memelukku lebih erat dan mencumbu bibirku perlahan. Kami baru saling melepaskan diri setelah rasanya selamanya. Wajahnya merah sekali, tapi kurasa aku pun sama.     

"I love you, Honey." ujarnya sambil mengelus bibirku dengan lembut.     

"I love you too."     

"Kita harus kerja kan?" ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.     

Aku mengangguk dan tersenyum. Kupikir dia akan mengajakku bercinta dan aku sudah menyiapkan diri untuk tak menolak.     

"Atau mau dua sesi?"     

Aku tertawa. Dia benar-benar mengerti aku.     

Dia mengecup bahuku dan mengelus punggungku perlahan, membuat bulu halusku meremang dan hasratku naik karena dia menyentuh titik-titik sensitifku. Dia benar-benar mengerti aku.     

Aku mengamit wajahnya dengan kedua tanganku dan menatapnya lekat, "Kamu mau kerja atau mau making love?"     

"Kamu mau kerja atau mau making love?" dia bertanya dengan senyum menggoda yang semakin lebar.     

"Itu pertanyaanku." ujarku sambil mencubit kedua pipinya.     

"Aku terserah kamu."     

"Aku terserah kamu."     

"Itu jawabanku, Honey." ujarnya sambil menggelitiki pinggangku hingga aku kegelian.     

"Hahaha aku terserah kamu. Kan kamu bilang kamu patah hati kalau aku nolak kamu making love. Aku ga mau nolak kamu biar kamu ga patah hati terus."     

Dia menarik tubuhku lebih erat padanya dan menyapu tengkukku dengan bibirnya, "Jangan nyesel ya udah bilang gitu. Aku mau making love sampai aku puas."     

"Seriously?"     

Dia hanya menggumam dan mulai menjelajahi tubuhku. Dia memang lihai sekali merayu hingga aku tak tahu berapa kali kami bercinta di kamar mandi. Dia baru berhenti setelah aku tak sanggup lagi melanjutkan.     

"Aku lupa. Harusnya aku bikinin kamu ramuan penambah stamina dulu tadi." ujarnya sambil menatapku dengan tatapan lembut dan penuh hasrat.     

"Jahat kamu." ujarku sambil berusaha meraih bahunya.     

"Masih sanggup?"     

Aku menggeleng, "Udah ya?"     

"Katanya ga mau nolak?"     

Aku menatapnya sebal, "Kamu mau aku kecapekan lagi? Nanti Om Chandra ke sini aku ga bisa jalan gimana? Kita bisa batal ke arena nembak. Uugh kita juga belum kerja."     

"Fine." ujarnya sambil mengecup bibirku dan tersenyum lebar sekali. "Thank you."     

Aku hanya menggumam mengiyakan.     

"Say you love me (Bilang kamu cinta aku), Honey."     

"I love you."     

Dia tersenyum lebar sekali, "I love you too."     

Aah bagaimana mungkin aku tak mencintai laki-laki semanis ini? Mungkin sebetulnya aku harus berterimakasih pada ayahku karena menyetujui perjodohanku dengannya bahkan sebelum kami saling mengenal satu sama lain.     

Dia membantuku membersihkan diri sebelum membersihkan dirinya sendiri, lalu mengeringkan tubuhku dan membalutnya dengan handuk. Dia mengangkat tubuhku dan membawaku keluar kamar mandi, lalu mendudukkanku di tempat tidur kami.     

"Pakai yang maroon." ujarku saat dia sedang memilih sebuah kaos dari lemari.     

"Ini?" dia bertanya sambil memperlihatkan sebuah kaos maroon miliknya.     

Aku mengangguk dan tersenyum, "Kamu cocok pakai itu."     

Astro tersenyum lebar sekali, "Aku kan cocok pakai baju apa aja."     

Aku hampir saja tertawa, tapi tubuhku terasa lemas hingga merebahkan tubuh sambil memperhatikan Astro memakai pakaian. Dia sexy sekali, dengan otot di tubuhnya yang tak terlalu berlebihan.     

Dia membawakan pakaian untukku dan membantuku memakainya, "Makan lagi ya. Biar kamu punya tenaga."     

Aku menatapnya sebal sambil mencubit pipinya, "Bilang aja kamu pengen aku tambah gemuk."     

"Emang." ujarnya dengan senyum yang lebar sekali.      

Aah laki-laki ini benar-benar....     

Aku mengecup bibirnya setelah dia selesai membantuku memakai pakaian dan menyodorkan kedua tanganku padanya, "Gendong."     

"Manja." ujarnya sambil mengecup bibirku dan mengangkat tubuhku. Dia membawaku menuruni tangga menuju dapur dan mendudukkanku di salah satu kursi, "Aku bikin pasta ya."     

Aku hanya mengangguk sambil memperhatikannya berjalan menuju kulkas. Dia cekatan sekali mempersiapkan semua bahan masakan seolah itu adalah tugasnya yang seharusnya.     

Aku menatap jam di dinding dapur, pukul 08.42. Empat jam lagi Om Chandra akan menjemput kami di workshop. Andai tubuhku tak terasa lemas aku akan membantu Astro menyiapkan makan siang kami saat ini dan kami akan mulai bekerja lebih cepat.     

"Besok Om Chandra pulang kan?" aku bertanya pada Astro yang sedang merebus air untuk pasta.     

Astro mengangguk, "Kayaknya besok sore pulang. Kenapa?"     

"Besok kita latihan nembak lagi?"     

"Kayaknya iya sebelum om Chandra pulang."     

Aku hanya mengangguk. Sebetulnya aku merasa aneh karena kami berlatih menembak setiap hari selama Om Chandra berada di Surabaya. Aku bahkan sempat berpikir kami sedang dipersiapkan untuk menembak musuh jika diperlukan, tapi aku tak pernah mengatakannya pada siapapun termasuk Astro.     

Aku menatapi tanganku dalam diam. Tanganku tak lagi gemetar saat memegang senapan. Bahkan ada beberapa bagian kulit yang mengeras akibat latihan kami menembak selama hampir seminggu ini.      

Kulit yang mengeras itu tak terasa sakit karena aku memang sudah terbiasa mendapatkan tanda kulit seperti itu saat baru mempelajari teknik kerajinan tangan yang baru. Entah kenapa ini justru terasa seperti aku sedang dipersiapkan untuk ahli menggunakan senapan walau tak ada seorang pun yang memberitahukan itu padaku.     

"Kamu pernah nanya kenapa kamu diajarin nembak waktu kamu kecil dulu?" tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari bibirku.     

Astro menghentikan gerakan tangannya yang sedang memotong jamur dan menoleh untuk menatapku, "Aku ga pernah nanya karena aku emang suka. Rasanya keren bisa nembak tepat sasaran walau sebel karena aku ga dibolehin ngasih tau soal latihan nembak ke siapa-siapa."     

Apakah itu berarti dia dilatih secara rahasia? Atau ...     

"Aku tau kok aku emang disiapin buat sesuatu. Aku cuma baru nyadar sekarang kenapa aku diajarin nembak dari dulu." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.     

Kurasa aku tahu apa maksudnya dan aku setuju.     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.