Kenangan
Kenangan
Sebetulnya aku ingin sekali mendebatnya. Opa tak mungkin meletakkan kamera di kamar karena itu adalah ruangan pribadi, tapi sepertinya mendebatnya saat ini akan percuma. Aku tahu dia mungkin saja benar dan akan sangat riskan jika mendebatnya di saat seperti ini.
Kyle mengetuk kamar dan mengajak kami sarapan bersama di meja makan di dapur karena ada seorang laki-laki mengantarkan makanan tepat setelah kami mandi. Dapur ini dulunya selalu memiliki aroma yang kusukai dan aku merindukan aroma itu saat ini.
Kami membagi tugas setelah makanan kami habis. Aku dan Astro akan beristirahat di kamar hingga tengah hari, sedangkan salah seorang dari Kyle, Jian dan Rilley akan berjaga bergantian sementara yang lainnya beristirahat. Yang berjaga akan menyisir area ini untuk memastikan keadaan baik-baik saja.
Aku membenamkan wajah di pelukan Astro dan memejamkan mata setelah merebahkan kepala di lengannya. Lengannya nyaman sekali, seperti yang selalu kuingat. Sepertinya kami langsung tertidur sesaat setelahnya.
Aku tak yakin apakah aku bermimpi. Namun aku terbangun tepat saat mataku menangkap keberadaan jam dinding, pukul 13.24. Aku mengelus wajah Astro yang masih tertidur, sepertinya dia benar-benar kelelahan karena menyetir dan terjaga sepanjang malam.
Aku beranjak dari tempat tidur dengan perlahan karena tak ingin membangunkannya, lalu ke luar kamar dan menutup pintu dengan hati-hati. Kyle dan Rilley sedang tertidur di ruang tamu, mungkin Jian sedang berjaga di luar atau menyisir area sekitar rumah.
Aku membuka kamar Danar yang berada tepat di sebelah kamar Ayah. Kamar ini lebih rapi dari bertahun lalu. Dulu, biasanya akan ada banyak mainan berserakan di kamar ini. Aku ingat Bunda akan menghabiskan waktu berjam-jam di kamar ini untuk menidurkan Danar saat malam tiba.
Aku menyentuh semua benda yang berpapasan denganku. Entah kenapa seolah aku bisa mendengar Danar memanggilku "kakak". Aku tahu itu hanyalah kenangan, tapi suaranya terasa nyata di telingaku.
Aku membuka lemari dan mendapati berbagai pakaian Danar yang sudah tua. Aku menyisir tumpukan pakaian itu dan menyadari siapapun yang menjaga dan membersihkan rumah ini adalah orang yang sangat teliti. Pakaian di kamar ini dan di kamar Ayah semuanya masih layak pakai walau menguarkan aroma khas pakaian tua. Aku menduga semua pakaianku dan Fara sepertinya juga bernasib sama.
Perlukah aku mengambil beberapa pakaian peninggalan keluargaku dan membawanya saat aku pindah semester depan? Astro mungkin akan menganggapku aneh walau dia mungkin saja tak akan berkomentar.
Aku berpikir lama sekali dan membiarkan semua pakaian pada tempatnya, lalu beranjak ke luar. Aku menghampiri kamarku dan membuka pintunya perlahan. Aku tak ingin melihat kelebatan kenangan yang terasa sangat nyata, tapi justru terkejut saat melihat ada sebuah easel dan berbagai perlengkapan melukis, juga sebuah kotak berukuran cukup besar dengan sebuah surat di atasnya.
...
Untuk Faza dan Fara,
Ayah tepati janji yang kalian minta. Semoga kalian selalu jadi anak Ayah yang cerdas dan sehat. Ayah juga mau minta janji Ayah ya, kalian udah janji ga iseng lagi ke Danar.
...
Air mataku meleleh dan tubuhku terasa lemas hingga terduduk di tepi tempat tidur. Aku baru ingat aku memang meminta perlengkapan melukis pada Ayah sebelum kami berangkat untuk melakukan perjalanan rutin kami.
Aku mengusap air mata asal saja dengan lengan dan membuka kotak sambil meletakkan kotak di pangkuanku. Ada berbagai perlengkapan penelitian sederhana di dalamnya. Sebuah kaca pembesar, berbagai kuas dan pinset, pisau dan belati, juga berbagai botol kosong dan plastik transparan. Semua benda ini pasti untuk Fara. Mungkin dia memintanya pada Ayah karena tak ingin kalah dariku.
Aku menghela napas sambil memperhatikan berbagai foto yang tertempel di dinding. Foto keluarga kami. Aku mengambil satu foto saat Bunda memamerkan sepasang gaun untukku dan Fara. Gaun itu mungkin masih berada di dalam lemari saat ini.
Pintu terbuka dan Astro muncul dengan tatapan khawatir, "Aku kira kamu ke luar."
Aku menggeleng sambil berusaha tersenyum, "Sini."
Astro menutup pintu dan duduk di sisiku sambil memperhatikan semua benda di kamar ini, "Kamar kamu kecil banget."
"Iya, ga kayak kamar kamu yang bisa ditempatin lima orang." ujarku dengan tatapan sebal.
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, tapi tak mengatakan apapun. Dia memperhatikan easel dan berbagai perlengkapan melukis, juga sebuah kotak di pangkuanku.
"Kayaknya Ayah pesen barang-barang ini dan harusnya jadi kejutan waktu kita pulang." ujarku sambil menyodorkan surat dari Ayah padanya. "Sayangnya kita ga pernah pulang."
Astro menatapku sendu, "Kamu pulang sekarang."
Aku menggeleng sambil memeluk lengannya, "Rumah ini cuma bangunan, Astro. Kamu rumahku."
Astro mengecup puncak kepalaku, "I know. Kamu laper? Tadi aku liat kulkas udah diisi."
"Oh ya?"
Astro mengangguk, "Mau masak bareng?"
"Okay." ujarku sambil meletakkan kotak ke atas tempat tidur.
Kami ke luar kamar dan mendapati Rilley masih tertidur di ruang tamu. Kyle tak ada di sana dan kami baru menemukannya saat dia baru ke luar dari kamar mandi di dapur dengan wajah basah.
"Kyle pikir kalian masih tidur." ujar Kyle dengan senyumnya yang menawan.
"Kita mau masak. Kamu tau siapa yang ngisi kulkas?" aku bertanya sambil mencuci tangan di wastafel.
"Itu dibawa sama pak Iwan tadi sambil nganter sarapan. Kyle yang beresin ke kulkas. Kenapa? Makanannya kurang?"
"Ga kok. Opa yang minta dia ngurusin rumah selama ini?"
"Yang ngurusin rumah ini namanya bu Dewi. Dia emang Kyle minta bersihin rumah ini sebelum kita dateng."
"Kamu?"
"Iya, Nona. Kyle yang punya tanggung jawab ngurusin rumah ini."
Aku menatapnya tak percaya sambil menyandarkan tubuh di samping wastafel. Aku tak memiliki satu pun kalimat yang akan kulontarkan untuknya. Jika benar Kyle yang bertanggung jawab mengurusi rumah ini, berarti Kyle juga tahu apa yang terjadi pada rumah ini selama bertahun-tahun.
"Dulu Kyle tinggal di rumah ini setelah Nona kecelakaan jembatan. Cuma beberapa bulan sampai tuan nemu orang yang bisa dipercaya buat ngurus semuanya. Kyle juga sering ke sini kalau kebetulan ada tugas di area ini buat ngecek keadaan." ujar Kyle sambil duduk di salah satu kursi.
Sepertinya dugaanku tepat saat berpikir Opa memang sudah mempersiapkannya untukku sejak dulu. Opa tak akan bersikap begiti gegabah dengan membiarkan Kyle mengetahui semuanya dan memberitahuku. Atau mungkin ... sebetulnya Opa sudah memperkirakan hal itu.
"Kamu yang minta Bu Dewi beresin semuanya berarti kamu tau apa aja yang ada di rumah ini kan?"
Kyle hanya mengangguk.
"Kamu tau komputer Ayah ke mana?"
"Ada sama tuan. Dikirim bareng sama komputer dan laptop Danastri yang Nona minta."
Aku sama sekali tak mengingat tentang sebuah komputer yang lain saat komputer dan laptop Bunda diberikan padaku bertahun lalu. Apakah ...
"Dibawa ke Magelang?" aku bertanya untuk memastikan dugaanku.
"Betul."
"Trus kenapa ada easel sama kotak isi peralatan investigasi di kamarku? Kenapa itu ga dikirim sekalian dulu?"
"Tuan yang minta barang-barang itu tetep di sini karena gamau Nona jadi lebih sedih." ujar Kyle dengan tatapan sendu.
Aku ingin sekali mendebatnya, tapi Kyle benar. Aku bahkan mengurung diri di kamar peninggalan Bunda karena merasa begitu sedih karena kehilangan keluargaku. Akan masuk akal jika tak ada benda apapun di sekitarku yang akan memicu kesedihanku bertambah besar.
"Bisa kita jalan-jalan sore ini? Kamu pernah bilang di deket rumah ini ada sungai kan, Honey? Ke sana yuk." ujar Astro tiba-tiba, yang membuat kami menoleh padanya.
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-