Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Hipnotis



Hipnotis

0Aku masih menatap aplikasi peta di handphone dan mengingat-ingat apakah aku pernah ke sana saat aku masih kecil dulu. Jalan besar dan jalan alternatif terlihat tak lagi sama bagiku. Mungkin karena sudah bertahun-tahun berselang sejak aku terakhir tinggal di rumah peninggalan ayahku.     

Rumah peninggalan Ayah berada di sebuah kampung di gunung pasif dengan banyak akses hutan yang sepertinya sekarang sudah banyak diubah menjadi perumahan dan pusat aktifitas, juga pusat perbelanjaan. Sepertinya aku akan kesulitan mengenali area itu lagi jika aku ke sana.     

Astro meletakkan empat lembar pancake dengan potongan buah dan madu di atas piring di hadapanku, "Sarapan dulu. Kalau ada waktu nanti kita ke sana."     

Aku mengangguk dan meletakkan handphone di meja, lalu memotong pancake dan memasukkan satu suapan ke dalam mulutku. Pancake buatan Astro enak sekali.     

Tatapan mata Kyle yang bergetar masih terbayang jelas. Kyle tak biasanya kehilangan kendali dirinya seperti itu. Entah apakah ada sesuatu yang dia sembunyikan atau apakah dia sedang merasa mengkhianati Opa dengan memilih untuk membantuku, yang manapun terasa sama buruknya.     

Kyle menjelaskan, keluarga Zenatta sudah lama berada di Bogor. Jauh sebelum Ayah dan Bunda memutuskan untuk pindah ke area itu setelah mereka menikah.     

Aku mengingat-ingat kalimat Kakek Arya saat menjelaskan tentang keluarga Zenatta setelah resepsi pernikahanku yang berantakan. Kakek Arya berkata Vanessa (nenek Zenatta) adalah anak di luar nikah dari seseorang bernama Jack. Seingatku Vanessa mengikuti jalan hidup yang sama seperti ayahnya saat berada di Inggris dan memiliki anak yang juga diluar nikah. Anak itu adalah Om Neil.     

Kyle menyebutkan dengan rinci semalam. Setelah Vanessa melahirkan Om Neil, Vanessa kembali ke Indonesia dan tinggal di Bogor, lalu menikah dengan seseorang bernama Guevera (seorang pemilik usaha kayu gelondongan) dan memiliki anak lagi, Om Hubert.     

Kyle mengatakan hal yang sama dengan Kakek Arya, bahwa Om Neil pindah ke area ini setelah memiliki Zenatta sebagai anaknya dan mereka memiliki bisnis dengan Abidzar Pranoto. Kyle mengatakan kayu yang Abidzar pakai untuk semua furniturenya, berasal dari kerja sama dengan Om Neil.     

Aku mengingat dengan jelas saat Kakek Arya berkata Kakek Arya mendapatkan informasi itu dari Opa. Aku tak terkejut saat Kyle menjabarkan semuanya padaku karena Kyle pasti mengetahuinya.     

Aku sempat bertanya apakah ayahku pernah berhubungan dengan keluarga Zenatta pada Kyle, tapi sepertinya Kyle tidak tahu mengenai hal itu. Walau begitu, Kyle menawarkan diri untuk mencari informasi. Kyle berkata akan mencari data mengenai itu jika memungkinkan.      

Padahal aku baru saja berpikir untuk mendekati Pak Bruce karena Pak Bruce mungkin saja lebih mengetahui hal itu. Aku tahu ayahku dan Pak Simon memberi laporan langsung padanya.     

Aku baru saja akan mengambil handphoneku, tapi Astro mengambilnya lebih dulu.     

"Abisin sarapan kamu." ujarnya dengan tatapan tenang dan mantap.     

Aku hampir saja mendebatnya, tapi aku membatalkannya. Aku sudah menyadari perbedaan sikapnya sejak kemarin. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika aku bertingkah sekarang dan membuatnya kesal. Aku tak ingin membuat suasana hatinya buruk karena dia memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Terlebih, aku tak ingin dia membatalkan jadwal kencan kami nanti sore.     

Aku tersenyum manis dan kembali berkutat dengan sarapanku. Entah kenapa aku teringat Denada. Apakah Denada makan dan beristirahat dengan baik beberapa hari ini?     

"Aku cuma di kampus sampai jam dua. Nanti aku langsung pulang. Kamu ga usah ke workshop hari ini." ujarnya.     

Astaga ... yang benar saja? Aku baru saja berniat akan menurut padanya hari ini, tapi dia justru bertingkah menyebalkan dengan melarangku bekerja. Aku benar-benar berharap aku baru saja salah mendengar.     

"Okay, Honey?"     

Aku mengedipkan mata beberapa kali sebelum bicara, "Aku kan bisa kerja di workshop sampai kamu pulang."     

Astro menggeleng, "Aku mau kamu istirahat hari ini. Kamu bisa ngelukis kalau kamu mau. Nanti aku minta Jian bawain kanvas baru sama cat. Katanya kamu mau ngelukis rumah peninggalan kakek Indra?"     

Aku menatapnya tak percaya, "Aku belum minta Teana ambil foto rumah itu."     

"Aku punya. Aku lupa aku pernah ambil foto rumah itu sebelum kita nikah."     

"Kamu ke rumah itu sebelum kita nikah?"     

Astro mengangguk, "Sekalian ngambil beberapa barang. Abis itu aku ke Lombok ngurusin pernikahan kita sambil ngawasin kamu."     

Tunggu sebentar....     

"Jangan bilang yang aku liat mirip kamu itu beneran kamu." ujarku tak percaya.     

Astro tersenyum tipis, "Kalau iya?"     

"Seriously?"     

"Aku kan udah bilang kamu punya firasat bagus. Kenapa kamu ga samperin aku waktu itu?"     

Apa yang baru saja kudengar?     

"Jadi itu beneran kamu?" aku bertanya untuk mendengarnya mengakuinya.     

Astro mengangguk sambil mengunyah sarapannya yang hampir habis. Ekspresinya tenang sekali. Seolah hal itu adalah hal yang biasa saja baginya.     

Aku mengamit garpu dari tangannya dan menatapnya lekat, "Kamu bisa surfing?"     

Astro hanya mengangguk sambil membuka mulut meminta untuk disuapi. Laki-laki ini benar-benar menyebalkan.     

Aku memotong pancake dan menyuapinya sambil memberinya tatapan sebal, "Jelek!"     

Astro menyentil dahiku pelan, "Aku ganteng, dasar Nyonya Susah Diatur. Kamu mana mau sama aku kalau aku jelek."     

Aku menatapnya tak percaya, "Aku ga jatuh cinta sama kamu karena kamu ganteng, Astro."     

"Jelasin kalau gitu."     

Aku terdiam. Selama ini yang lebih sering bertanya tentang hal itu adalah aku dan dia yang selalu berusaha menjawabnya. Sekarang aku merasa seperti sedang diinterogasi. Bagaimana aku harus menjawabnya?     

"Kamu nemenin aku lewatin masa rapuh dalam hidupku. Aku ngerasa bisa ngabisin waktuku bareng kamu karena aku tahu kita akan selalu baik-baik aja." tiba-tiba saja bibirku bergerak dengan sendirinya dan kalimat itu terlontar begitu saja.     

Astro terpana. Bibirnya bergerak, tapi sepertinya dia membatalkan apapun yang akan keluar dari sana.     

"Aku tau kita punya banyak masalah, tapi kita selalu cari solusinya kan?"     

Astro tersenyum tipis dan mengangguk, "Kamu udah janji mau nemenin aku sampai tua kan?"     

Aku mengangguk.     

Astro mengelus puncak kepalaku dan menatapku penuh cinta, "Aku minta maaf aku ga samperin kamu duluan di Lombok sebelum kita nikah. Aku ngarepnya kamu yang nyadar dan nyamperin aku duluan."     

Astaga ... apa yang baru saja kudengar? Mayang dan Denada sedang memaksaku untuk tak memikirkan dirinya saat itu hingga aku mencoba menolak firasatku berkali-kali.     

"It's okay. You are mine now (Kamu punyaku sekarang)."     

Aku menatapnya dalam diam. Aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Rasanya, tatapan matanya sedang menghipnotisku untuk mendengar setiap kata dalam kalimatnya tanpa perlu mengatakan apapun.     

Aku mengedipkan mataku beberapa kali, "Kamu ga lagi nyoba ngehipnotis aku kan?"     

Astro tersenyum tipis dan mengambil garpu dari tanganku, lalu memotong pancake dan memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya sendiri.     

"Astro, kamu ga lagi belajar ngehipnotis orang kan?" aku bertanya sekali lagi untuk memastikan dugaanku.     

Astro hanya menatapku dengan tatapan tenang dan menaikkan bahu. Yang benar saja?     

"Serius?"     

"Aku masih harus belajar lagi. Buktinya ga mempan kan." ujarnya dengan senyum tipis.     

Aku menatapnya tak percaya dan memukul bahunya dengan kencang, "Buat apa kamu belajar hipnotis orang lain?"     

"Iseng aja." ujarnya sambil memberiku senyum menggodanya yang biasa.     

Aku hampir saja berteriak histeris. Namun aku menahannya, "Iseng?"     

Astro mengangguk, "Kamu kan tau aku anak baik. Aku ga akan macem-macem. Aku ga akan pakai ilmu itu buat nyelakain orang."     

Entah aku harus bersikap bagaimana. Aku benar-benar kehilangan jalan pikiranku. Otakku terasa kosong.     

"Bukannya kamu yang bilang kamu akan tarik aku balik kalau aku kelewatan." ujarnya dengan kilat di tatapan matanya.     

Aku hanya sanggup mengangguk.     

"Why so serious (Serius banget sih)? Aku ga akan ngerepotin kok. Tenang aja." ujarnya dengan senyum menggoda yang terkembang semakin lebar.     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.