Tenun
Tenun
Jian menemani kami di cottage itu, dia sudah memesan dua kamar untuk kami. Sedangkan Eboth dan Lyra mengawasi dari jauh, mereka memesan kamar sebuah resort yang berada tepat di sebelah Cottage Banyu.
Kami memutuskan untuk sarapan di restoran setelah menaruh semua barang-barang kami di kamar. Kami berniat untuk mencari informasi tentang keberadaan Bu Kamalia secara diam-diam.
Sejauh ini kami mengetahui pemilik cottage bernama Permana. Dia juga adalah kepala chef di restoran ini. Kami memperhatikannya berinteraksi sejak pertama kami duduk dan dia terlihat ramah pada semua orang yang datang.
Astro memberi isyarat padaku untuk menunggu sebelum beranjak ke sebuah bar. Dia berbincang pada seorang barista laki-laki. Entah membicarakan apa, aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Namun aku bisa memperhatikan mimik wajah keduanya, mereka berbincang dengan akrab dan mereka tertawa sesekali.
Aku melepas tatapanku dari mereka karena merasa semuanya akan baik-baik saja dan menatap Jian yang duduk tepat di hadapanku, "Kamu tau ada orang lain yang ngawasin kita?"
Jian terkejut, "Orang lain? Maksud Nona?"
Aku menaikkan bahu, "Bodyguard lain?"
Jian menatapku dengan tatapan serius, "Nona pernah lihat salah satunya?"
Aku menggeleng sambil tersenyum, "Aku ga tau makanya aku nanya."
Jian terdiam sambil menatapku lekat.
"Ada yang lapor ke Kakek waktu aku kabur beberapa minggu lalu. Kalau bukan salah satu dari kalian, mungkin Kakek emang bayar orang lain selain kalian buat ngawasin." ujarku pelan.
"Seharusnya Nona ga perlu kabur." ujar Jian, yang membuatku merasa buruk dengan diriku sendiri.
"Aku tau. Aku cuma lagi pengen sendiri."
Jian terdiam selama beberapa lama sebelum bicara, "Lyra lapor ke tuan (Kakek) karena panik. Lyra cerita ke aku."
Aah begitukah?
"Nona dapet masalah dari tuan?" Jian bertanya.
Aku menggeleng, "Cuma diminta lebih hati-hati. Bukan masalah kok."
Jian mengangguk dan tak mengatakan apapun lagi hingga hening di antara kami.
"Ayo." ujar Astro sambil mengamit tanganku dan menggenggamnya. Astro mengajak kami keluar dari bangunan utama, lalu berjalan ke arah pantai dan bertemu dengan barista yang berbincang dengannya beberapa saat lalu. "Ini Faza, istriku. Ini Jian, temenku. Dia Samin, barista yang di resto tadi."
Jian bersalaman dengan Samin sedangkan aku hanya memberinya sedikit anggukan kepala. Kuharap dia mengerti aku tak ingin berjabat tangan dengannya.
"Saya anter ke rumah bu Lia." ujar Samin sambil mengambil langkah di depan kami. "Bu Lia biasanya ga mau ditemuin orang yang ga dikenal dan biasanya jam segini sibuk nenun dan bikin songket, jadi saya ga jamin bu Lia bisa ketemu kalian atau ga. Saya cuma nganter aja."
Aku menoleh untuk menatap Astro. Astro hanya memberiku sebuah anggukan kepala.
Kami mengikuti langkah kaki Samin dalam diam. Kami melewati dua buah penginapan di sisi pantai yang ramai pengunjung, lalu sampai sebuah bangunan yang dikelilingi dinding cukup tinggi. Samin membuka pintu kayu yang terlihat berat dan kami masuk ke area yang terasa lebih hening.
"Ini rumahnya bu Lia." ujar Samin sambil terus melangkahkan kaki.
Sangat kontras dengan rumah milik Pak Jalu yang terlihat sederhana. Rumah ini terlihat mewah walau hanya ada satu bangunan yang tak terlalu besar, tapi rumah yang dikelilingi dinding ini menunjukkan batas area. Aku bisa menilai pemiliknya adalah seorang yang memiliki finansial yang cukup.
Dari jauh kami bisa melihat seseorang sedang duduk di teras depan, dengan sebuah alat tenun kayu tradisional yang bersuara nyaring dan berirama. Mungkinkah itu Bu Kamalia?
Langkah demi langkah terasa cepat. Saat kami sampai di dekat perempuan itu, dia menoleh pada kami dan menatap Samin dengan enggan.
"Bu, ada tamu buat Ibu." ujar Samin sambil menundukkan bahu.
Perempuan itu menatap kami bergantian sambil tangannya terus sibuk menenun. Dia terlihat cantik dan cekatan sekali walau sepertinya usianya sudah lebih dari setengah abad. Dia mengangguk singkat dan Samin menundukkan bahu pada kami sebelum beranjak pergi.
Aku dan Astro saling bertatapan. Entah bagaimana kami akan memulai pembicaraan ini.
Astro mengajakku duduk bersila dekat dengan perempuan itu dan kami menundukkan kepala kami sebagai bentuk sopan santun. Jian juga melakukan hal yang sama walau segera mengambil jarak untuk memberi kami keleluasaan. Dia berjalan menjauh dan telihat begitu tertarik pada seekor burung kakak tua putih dalam sangkar.
"Maaf sebelumnya, saya Astro. Ibu ... betul Bu Kamalia?" Astro bertanya.
Perempuan itu menatap Astro tanpa minat dengan tangan terus bergerak di alat tenunnya, "Kenapa kalian cari Kamalia?"
"Saya minta maaf kalau ganggu Ibu, tapi kalau Ibu bukan Bu Kamalia mungkin sebaiknya kita pergi aja." ujar Astro dengan tatapan tenang.
"Di pulau ini ga ada yang kenal Kamalia. Nama saya Lia." ujar perempuan itu yang tiba-tiba saja menghentikan gerakan alat tenunnya.
Aku menoleh untuk menatap Astro. Aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan sekarang. Aku hanya berharap dia tahu apa yang sedang dia lakukan.
"Kalau gitu saya minta maaf. Mungkin Ibu emang bukan orang yang saya cari." ujar Astro sambil menarikku bangkit.
Yang benar saja? Hanya ini yang akan kami lakukan?
Aku menoleh dan menatap perempuan dibalik alat tenun itu. Dia terlihat sama seperti saat kami datang tadi, menatap kami dengan tatapan tanpa minat.
"Nama saya Mafaza Marzia. Saya biasa dipanggil Faza atau Mafaza, tapi Ibu bisa panggil saya Zia kalau Ibu mau." entah bagaimana kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku sebelum Astro benar-benar mengajakku pergi.
Tatapan perempuan itu berubah. Sedikit terganggu, tapi juga terlihat penasaran. Namun bibirnya mengerucut yang menandakan mungkin saja dia tak menyukai kalimatku.
"Saya istrinya Astro. Kita tadi kebetulan lagi istirahat di Cottage Banyu. Mungkin kak Samin salah ngenalin. Maaf kalau kita ganggu waktu sibuk Ibu. Kita ijin pamit. " ujarku sambil menundukkan bahu dan mengajak Astro beranjak menjauh.
Astro mengelus puncak kepalaku, tapi tak mengatakan apapun. Jian yang melihat kami beranjak pergi ikut mengikuti langkah kaki kami dalam diam.
Entah kenapa, hatiku terasa ringan. Aku tak merasakan kegelisahan apapun. Mungkin memang akan lebih baik jika kami pergi saja. Berbincang dengan seseorang yang tak menginginkan keberadaan kami akan percuma.
Kami kembali menyusuri jalan di samping dinding pembatas rumah dan melewati dua penginapan yang lainnya sebelum sampai kembali di Cottage Banyu. Hari masih pagi dan sebetulnya aku ingin bermain di pantai sebentar, tapi entah kenapa aku justru mengajak Astro kembali ke kamar cottage kami.
"Aku stand by di sini ya." ujar Jian sebelum kami beranjak ke lantai dua. Kamarnya memang berada di bawah kamar kami.
Aku dan Astro hanya mengangguk dan berlalu. Kami memasuki kamar kami dan menguncinya kembali. Aku menghampiri tempat tidur dan merebahkan tubuh dengan posisi tengkurap. Aku tak merasa lelah. Aku hanya sedang ingin melakukannya.
Astro merebahkan tubuhnya di sebelahku, menghadap ke arahku. Dia membelai rambut di ujung dahiku perlahan. Aku hampir saja memejamkan mata karena belaiannya membuatku mengantuk saat aku mendengarnya bicara.
"Kita harus pulang sore ini. Kita ga akan ke sini lagi sampai libur semester."
"Bukannya kita mau ke Jepang?"
Astro mengangguk, "Kita ke sini pulang dari Jepang. Atau kamu mau langsung pulang ke Surabaya?"
Aku hanya terdiam.
"Atau mau pulang ke rumah opa?"
Aku menatapnya lama sekali sebelum bicara, "Aku ikut ke mana kamu pergi, Honey. Kamu kan ga bisa ke mana-mana tanpa aku."
Astro tersenyum lembut padaku. Aku tahu aku benar.
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-