Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Rindu



Rindu

2"Namanya Friesia. Nona kenal?"     

Jantungku yang hampir berhenti berdetak kembali menemukan iramanya. Aku sempat berpikir Pak Simon akan menyebutkan nama Gerard dalam sedetik waktu yang terlewat.     

"Aku ga kenal, tapi nanti aku coba cari tau. Bapak ada meeting kan sebentar lagi. Aku tutup telponnya ya."     

"Baik, Non."     

Aku menutup telepon sesaat setelahnya dan memasukkan handphone ke saku, lalu menyandarkan punggung ke punggung kursi. Entah kenapa terasa lelah sekali.     

Aku melirik ke jam dinding di dapur, pukul 11.02. Sudah lama berselang sejak Oma berkata akan menelepon. Haruskah aku menelepon lebih dulu?     

Aku berpikir lama sekali. Kurasa aku akan menunggu Oma yang menelepon. Oma tak mungkin lupa pada janjinya.     

Aku menutup semua bar pekerjaanku, lalu mematikan wifi dan laptop. Aku mengamitnya dan membawanya bersamaku ke atap. Kurasa aku akan mengerjakan beberapa desain perhiasan setelah aku melanjutkan lukisan rumah peninggalan Kakek Indra nanti.     

Aku meletakkan laptop di meja dan menghampiri lukisan yang masih kasar di hadapanku. Aku berpikir, ada banyak pelukis yang tak kukenali. Friesia adalah salah satunya. Aku akan mencari tahu tentangnya nanti malam saat menemani Astro bekerja.     

Aku mulai memilih warna dan menggoreskannya ke kanvas. Akan menyenangkan andai aku bisa melukis di galeri, tapi itu tak mungkin terjadi. Tidak sekarang. Saat aku bahkan diminta untuk tak berkeliaran di workshop yang hanya berjarak satu langkah kaki dari kamar rumah rahasia kami. Bahkan kurasa, Astro akan segera mengajakku pulang dari galeri setelah kami mengantar lukisan jika memungkinkan.     

Aku harus mengakui aku merindukan tempat favoritku di dekat jendela galeri yang luas. Mungkin aku juga merindukan Zen yang akan menggangguku sesekali.     

Aku menghentikan gerakan kuasku. Mungkin benar jika aku tak bertemu Astro lebih dulu, aku akan memilih Zen. Namun aku tak menyesali keputusanku. Astro lebih dari segalanya bagiku. Dulu dan sekarang, hingga bertahun-tahun ke depan. Bukan karena aku sudah menjadi istrinya dan aku tak memiliki pilihan lain, tapi karena aku benar-benar mencintainya. Walau dia sangat menyebalkan.     

Ada senyum di bibirku yang sulit kusembunyikan. Di mataku, terbayang sosok Astro saat kami masih anak-anak dulu. Saat dia begitu gigih mengajariku banyak hal, membantuku menyembuhkan trauma tanpa bantuan psikolog atau terapis, bahkan membantuku mengelola segalanya. Iya, segalanya.     

Aku meletakkan kuas yang kupegang dan mengambil handphone dari saku. Aku mencari nama Oma di daftar panggil dan mengetuknya. Terdengar dering telepon beberapa kali sebelum Oma menerimanya.     

"Oma masih sibuk?" aku bertanya setelah Oma menerima telepon dariku.     

"Kangen banget sama Oma sampai ga sabaran begitu?" Oma bertanya, entah kenapa aku bisa membayangkan Oma sedang tersenyum.     

"Iya, Faza kangen. Oma ga kangen ya?"     

"Bukannya Faza mau pulang dua minggu lagi?"     

"Oma tau dari mana? Faza kan belum ngasih tau."     

"Tadi pagi Nia ke rumah. Nia yang ngasih tau."     

"Mm ... Ibu bilang apa?" aku bertanya dengan jantung yang mulai berdetak kencang.     

"Nia nganter kastengel sekalian bilang Faza mau pulang dua minggu lagi. Katanya mau nginep semalem sebelum ke rumah Astro. Katanya ada yang mau didiskusiin."     

"Ibu ga bilang yang lain?"     

"Nanya keadaan Opa soalnya Opa masih di kamar, tapi Nia ga mau ganggu. Ke rumah cuma sebentar karena ada meeting di kota sebelah."     

Aku menarik napas perlahan, "Mm ... Oma ..."     

"Ya?"     

"Bener Opa tambah kurus? Kemarin Ayah bilang Opa kurusan."     

"Opa sehat kok. Dokter tadi bilang Opa sehat."     

Aku terdiam.     

"Faza ga perlu khawatir. Kan ada Oma yang jaga Opa. Opa juga rajin cek up ke dokter." ujar Oma dengan lembut.     

Aku tahu Oma benar. Aku hanya ...     

"Opa punya bisnis baru?" aku bertanya.     

"Bukan bisnis baru, tapi emang lagi sibuk bantu ngurusin proyek kolega. Opa bilang bosen di rumah sejak Faza pindah, ga ada yang bisa diperhatiin."     

Aku hampir saja mendengus kesal. Namun aku menahannya, "Opa udah tua, Oma. Ga perlu ngerjain itu. Kalau perlu biar Faza aja yang bantu."     

"Ssstt ... ga boleh gitu. Opa masih kuat."     

Astaga ... bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada Oma?     

Jika Opa begitu kuat, Opa tak akan mendidikku untuk meneruskan bisnis kain miliknya sejak bertahun lalu. Opa juga tak akan mewariskan perusahaan perakitan senjata padaku beberapa bulan yang lalu. Opa bahkan tak akan mempersiapkan Astro untuk menemaniku mengatur semuanya sejak kami masih anak-anak dulu.     

Aku menggigit bibir bawahku dengan gelisah, "Gimana kalau Faza pindah jauh? Apa Opa mau ambil lebih banyak kerjaan cuma karena alasan ga ada yang bisa diperhatiin?"     

"Faza kan udah jauh dari Opa."     

Aku terdiam sesaat sebelum bicara, "Ayah nyaranin Faza sama Astro pindah ke Jerman semester depan."     

Lalu hening di antar kami. Aku bahkan bisa mendengar detakan jantungku sendiri. Keras sekali.     

Oma menghela napas perlahan, "Opa pernah bilang Opa ga akan ikut campur keputusan kalian kan?"     

Entah bagaimana terasa ada batu besar jatuh ke dasar perutku. Meninggalkan sensasi mual dan berputar. Bahkan kepalaku mulai terasa berdenyut mengganggu.     

Opa memang pernah mengatakannya saat aku dan Astro kembali dari Lombok setelah kami menikah. Tepat setelah Opa berkata akan mewariskan perusahaaan perakitan senjata padaku. Aku hanya merasa tak percaya saat mendengat Oma mengatakannya. Setidaknya, kupikir Oma akan merasa keberatan walau hanya sedikit.     

"Oma ga keberatan?" tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku.     

"Oma bisa apa? Faza yang milih Astro. Faza harus ikut ke mana Astro pergi. Oma ga bisa ngelarang." ujar Oma lirih.     

Hatiku terasa sakit. Seperti ada sayatan yang muncul tanpa bekas luka dan darah.     

"Opa di sana?" aku memberanikan diri untuk bertanya.     

"Ada. Faza mau ngobrol?"     

"Mau."     

Tepat setelah aku mengatakannya terasa ada sesuatu yang terbang dari hatiku. Sebuah beban yang tak terlihat, tapi mampu membuat dadaku terasa lebih lapang dan nyaman.     

"Mafaza sehat?" terdengar suara Opa di ujung sana.     

"Sehat, Opa. Opa denger semua obrolan Faza sama Oma?"     

"Opa dengar."     

Aku menarik napas panjang, "Opa ga ngelarang?"     

"Kenapa Opa harus melarang?"     

"Faza diminta pindah ke Jerman, Opa."     

"Lalu?"     

Aku terdiam. Hanya satu kata dari Opa, tapi membuatku berpikir panjang dan dalam.     

"Jaya pasti punya alasan kenapa pilih negara itu untuk kalian." ujar Opa dengan nada suara yang tenang khas orang tua, yang membuatku rindu sekali bisa bercakap dengan Opa setiap hari.      

"Tapi Faza jadi ga bisa sering pulang ketemu Opa sama Oma. Ga bisa kayak sekarang."     

"Itu resiko yang harus Mafaza ambil, bukan? Mafaza yang memilih Astro."     

Aah....     

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Aku hampir saja lupa aku sedang berada di atap. Aku hanya bisa berharap tak ada seorang pun di atap workshop yang mungkin bisa mencuri dengar percakapanku. Kurasa aku harus meminta Astro untuk meninggikan dinding pembatas atau memasang peredam suara secepatnya.     

Aku melangkahkan kaki ke sofa di bawah kanopi transparan dan bicara dengan suara lebih rendah, "Opa mau serahin keputusan ke Faza?"     

"Betul. Apapun keputusan Mafaza, Mafaza harus bertanggung jawab. Termasuk jika nanti Mafaza sulit pulang."     

"Opa ga kangen sama Faza?"     

Opa terdiam. Entah kenapa aku bisa membayangkan wajah sendu Opa di ujung sana. Wajah khas orang tua yang berkeriput, yang menunjukkan kebijaksanaan dan ketenangan karena tempaan hidup selama berpuluh tahun.     

"Andai Mafaza tahu betapa Opa rindu."     

Air mata meleleh di pipiku. Aku hanya menahan agar tak ada isak yang keluar atau Opa mungkin akan merasa buruk karena membuatku menangis.     

"Mafaza bisa pergi ke mana pun Mafaza inginkan. Lagi pula Mafaza ke sana bersama Astro. Opa ga akan keberatan."     

Aku menyeka air mata di pipi, tapi aku tak sanggup mengatakan apapun. Entah kenapa tiba-tiba terbayang bagaimana beratnya perasaan Opa dan Oma saat jasad bundaku tak ditemukan di mana pun.     

"Opa bisa menahan rindu sebentar sambil menunggu kalian pulang. Oma juga begitu. Betul kan, Oma?"     

Aku tahu aku tak bisa melihat wajah Oma sekarang. Apakah Oma menangis sama sepertiku?     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.