Take Away
Take Away
"Cuma lagi mikir. Lagian aku ga ngantuk."
Sekarang sudah gelap walau sesaat lalu aku baru saja menatap senja. Aku berpikir tentang banyak hal sambil menatap senja. Jika kami pindah nanti, kami akan membutuhkan waktu berjam-jam hanya berdiam diri di dalam pesawat seperti ini. Kurasa aku harus membiasakan diri.
Astro meletakkan kepalaku di pelukannya dan mengelus puncaknya perlahan, "Mikir apa?"
"Ga penting kok. Ada yang mau dibahas?" aku bertanya sambil mendongkak untuk menatapnya.
"Kamu denger semua obrolan di lab kan?"
Aku hanya mengangguk. Sebetulnya saat berbincang dengan Ayah tadi aku tak terlalu memperhatikan, tapi aku memang mendengar semua pembicaraan mereka.
"Proyeknya bisa jalan sekitar sepuluh bulan, mungkin sampai awal tahun depan. Karena kita jadi pindah, aku mau usahain tiap sebulan dua kali ke lab sebelum kita bener-bener pergi. Aku mau coba bikin progresnya lebih cepet. Aku tau mungkin ga akan selesai sebelum kita berangkat, tapi aku pengen usahain proyeknya selesai sebelum akhir tahun ini."
"Okay." ujarku, karena kurasa hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Aku akan menyesuaikan jadwalku sesuai dengan jadwalnya, itu bukanlah hal yang sulit bagiku.
"Tapi kita akan sibuk banget dan kasus sama ... kamu tau ... belum selesai."
Aku hanya mengangguk. Aku mengerti dengan semua maksud ucapannya, juga ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh. Aku sudah memutuskan untuk mempercayainya, maka itulah yang akan kulakukan. Aku akan membiarkannya membuat keputusan.
"Kalau kamu capek, bilang ya." ujarnya dengan tatapan khawatir.
Aku tersenyum manis dan mengangguk. Aku sungguh-sungguh akan menurutinya kali ini, karena aku tak ingin kelelahan lagi. Tidak sekarang, saat segalanya perlu dipersiapkan dengan sempurna agar rencana kami tak terendus siapapun.
Sejak dua minggu yang lalu, kami sudah melakukan segalanya dengan baik. Kami terlihat natural. Pekerjaan dan segala keperluan untuk urusan pindah kampus pun lancar tanpa ada kendala. Kami bahkan sudah memiliki apartemen baru sebagai tempat tinggal kami nantinya.
Sesuai dengan syarat dari Opa sebagai ganti karena mengikuti rencana kami, Rilley akan menjadi pengawal tambahan kami yang bergerak sendiri. Hingga semua pengawal kami yang lain, kecuali Kyle, tak akan tahu mengenai dia.
Aku sempat melihat Rilley duduk beberapa deret di belakang kami saat kami bersiap akan duduk. Dia bahkan tidak menoleh padaku sekedar untuk berbasa-basi.
Aku membenamkan tubuhku di pelukan Astro dan berdiam diri. Aroma dan hangat tubuhnya membuatku memejamkan mata. Kurasa sejauh apapun kami pergi, kami akan baik-baik saja. Bagaimana pun, dia adalah rumahku.
Kurasa sekarang aku mengerti kenapa Oma selalu menuruti apapun yang Opa katakan. Bertahun-tahun aku hidup bersama mereka, aku tak pernah melihat Oma mendebat ucapan Opa. Oma selalu menurut, bahkan jika keputusan Opa bukanlah keputusan yang Oma sukai. Mungkin itu juga yang membuat bundaku merasa sendiri tanpa seorang pun yang membela.
Bagaimana denganku nanti? Jika aku tak mendebat Astro saat dia melakukan kesalahan, aku mungkin saja menyakiti orang lain. Kenapa pula aku memikirkan ini? Hal itu belum tentu akan benar-benar terjadi, bukan? Aku tak ingin membayangkannya lagi.
"I love you, Honey."
Aku bisa mendengar Astro mengucapkannya dengan lirih, tapi cukup jelas terdengar olehku. Aku hanya menggumam mengiyakan tanpa membuka mata. Pelukan dan hangat tubuhnya nyaman sekali.
Kurasa aku sempat tertidur walau aku tak tahu berapa lama. Astro membangunkanku saat pesawat kami akan mendarat dan aku sama sekali tak mengingat apakah aku sempat bermimpi tentang apapun.
Kami membereskan barang-barang kami dan keluar dari pesawat seperti biasanya. Aku sempat melihat Rilley yang berjarak cukup dekat dengan kami, tapi lagi-lagi dia mengabaikan kami seolah kami memang benar-benar orang asing.
"Mau makan dulu?" Astro bertanya saat kami berjalan melewati berbagai restoran di bandara.
"Take away aja ya."
Astro hanya mengangguk sambil terus menggenggam tanganku. Aku berjalan di sampingnya dalam diam di perjalanan kami menuju parkiran. Sudah ada Rommy menunggu kami di sana.
"Nona sehat?" Rommy bertanya padaku saat kami sampai di dekatnya.
Aku tersenyum sambil membuka pintu tengah sementara Astro dan Kyle menaruh koper ke bagasi, "Aku sehat. Gimana liburannya?"
"Makasih banyak buat cutinya. Orang rumah sampai kaget." ujar Rommy sambil membuka pintu di sebelah kemudi.
Aku masuk dan duduk sambil menunggu Rommy duduk di belakang kemudinya, "Kalau kamu butuh libur, bilang ya. Aku usahain kamu bisa dapet cuti, tapi mungkin ga sebanyak kemarin. Soalnya beberapa bulan ke depan aku sibuk banget sebelum pindah."
Aku memang memberi Rommy cuti selama seminggu. Astro sempat memprotesku pada awalnya, tapi aku berhasil membuatnya mengikuti rencanaku karena masih ada Lyra dan Eboth yang berjaga di sekitarku.
"Kamu ikut kita pindah?" aku bertanya karena Rommy hanya mengangguk untuk menanggapi kalimatku sebelum ini.
"Ikut, Nona. Tuan udah bilang soal kalian yang mau pindah ke Jerman semester depan."
"Kamu udah dapet basecamp?" Astro yang baru saja duduk di sebelahku bertanya.
"Udah ada basecamp dari Tuan kok. Kyle udah dapet alamatnya." ujar Kyle setelah menutup pintu di sebelahnya. Dia duduk di depan, di sebelah Rommy.
Astro menatapku dan mengangguk singkat. Kurasa aku tahu apa maksudnya, maka aku juga mengangguk.
"Kita mampir sebentar ke resto ya. Aku mau take away." ujar Astro saat Rommy mulai menggerakkan mobil ke luar dari parkiran. Rommy hanya mengangguk, lalu hening di antara kami.
Aku tak berselera untuk membahas apapun sekarang. Sepertinya pikiranku terlalu penuh dengan berbagai rencana. Aku hanya melihat kelebatan-kelebatan cahaya di sekelilingku selama perjalanan pulang kami. Aku bahkan membiarkan Astro memilih apapun yang dia inginkan saat kami memesan makanan, tapi aku sempat mendengarnya memesan untuk Kyle dan Rommy.
Entah berapa lama kami berkendara hingga kami sampai. Aku bahkan terlalu malas untuk melihat ke jam di lenganku.
Aku dan Astro turun di depan gerbang rumah rahasia kami. Aku membantunya membawa makanan kami sementara dia mengangkut koper dari bagasi. Kami masuk ke gerbang saat suara deru mobil yang dikendarai Rommy menjauh.
Aku menghela napas dan menatap rumah besar di hadapanku. Kami akan meninggalkan rumah ini selama empat tahun atau lebih. Menatap rumah yang bergeming di hadapanku ini membuatku mengingat rumah peninggalan ayahku di Bogor. Bagaimana kondisi rumah itu sekarang?
"Jangan bengong. Ini udah malem." ujar Astro sambil menarik tanganku mendekati pintu.
Aku hanya menggumam dan memperhatikannya membuka pintu. Padahal aku sudah merasa nyaman tinggal di rumah ini. Rumah ini terasa lebih seperti rumah bagiku dibandingkan dengan apartemen milik Astro.
"Honey." aku memanggil Astro saat kami sudah berada di dalam.
Astro menoleh padaku sambil mengunci pintu, "Kenapa?"
"Apartemen kamu dijual aja, gimana?"
Astro terdiam sesaat sebelum bicara, "Aku ga bisa jual apartemen itu sebelum kita beneran pindah. Nanti ketauan kalau kita punya tempat tinggal lain."
"Kita kan emang punya tempat tinggal lain. Aku pikir mereka pasti tau kalau kita tinggal di workshop."
"Sial. Harusnya kita masuk dari workshop aja tadi." ujarnya dengan tatapan kesal di matanya.
"Udah lah. Selama ini juga aman kan? Lagian ga ada laporan apa-apa."
"Rrghh mulai besok kita keluar masuk dari workshop."
Aah laki-laki ini benar-benar....
"Okay." ujarku sambil tersenyum manis dan berjalan ke arah dapur. "Kita makan dulu ya. Beresin kopernya besok pagi aja."
Astro mengikutiku dengan enggan. Aku tahu dia masih berkutat dengan pikirannya yang brilian itu. Aku juga tahu dia sedang merasa kesal karena melewatkan detail kecil.
Kami mencuci tangan dan menata makanan di atas meja makan dalam diam. Kami saling menyuapi di sela-sela aktivitas makan kami, yang membuatku mengingat pertama kali kami melakukan ini di salah satu pos saat event AT Project berlangsung. Kalimatnya saat itu tiba-tiba menggema di telingaku : This night will be perfect if I can kiss you, but I can't.
Sial ... aku tersedak. Aku mengamit segelas air di atas meja dan meneguknya perlahan. Diikuti dengan tepukan Astro di bahuku dan tatapan khawatir dan heran di saat yang sama.
"Mikir apa sih kamu?" Astro bertanya.
Aku hanya tersenyum manis sambil meletakkan gelas di atas meja dan mengecup bibirnya, "I'm yours now."
Entah bagaimana, ada binar muncul di matanya yang berwarna coklat gelap. Betapa aku mencintai laki-laki di hadapanku ini. Aku akan pergi ke mana dia membawaku. Dia bangkit dan mengangkat tubuhku di kedua lengannya, membuatku memeluk bahunya karena terkejut.
"Makanan kita belum abis." ujarku dengan tatapan tak percaya.
"Bawel ya? Aku mau makan yang lain. Ga usah protes." ujarnya dengan tatapan lapar yang jelas sekali.
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-