Ketus
Ketus
Hatiku terasa sakit dan tak rela. Aku tahu hal itu terlihat jelas di wajahku dan semua orang pasti menyadarinya karena mereka menatapku dengan tatapan khawatir. Bahkan Putri terang-terangan memberi perhatian lebih padaku. Padahal dia juga sedang mengalami shock karena dia sudah mengetahui kebenaran akun Dara yang adalah akun yang sengaja dibuat oleh mantan kekasihnya.
"Aku ga pa-pa kok. Opa ku masuk rumah sakit jadi aku emang kepikiran." ujarku setelah selesai memberi briefing pagi pada semua partner kerjaku. "Pengennya pulang aja, tapi ga bisa. Aku ga bisa tutup workshop sekarang."
"Sakit apa, Za?" Parti bertanya.
"Kemarin malem pingsan. Dokter bilang kecapekan dan butuh dirawat sebentar. Opaku udah tua, jadi aku khawatir banget."
"Semoga cepet sehat ya." ujar Qori, disambut ucapan serupa dari yang lainnya.
Aku mengangguk singkat, "Makasih. Kita lanjut kerja ya. Kerjaan kita banyak."
Mereka semua saling bertatapan dan mengangguk, lalu kami membubarkan diri ke pos kerja kami masing-masing. Aku membantu semuanya mendapatkan semua bahan yang mereka butuhkan dan mengajak Putri ke atap.
"Kamu punya masalah?" aku bertanya.
Putri menggeleng ragu-ragu, "Bukan masalah yang gimana-gimana, tapi aku emang lagi kesel. Aku minta maaf aku ga ramah sama kamu dari minggu lalu."
"Kamu bisa cerita ke aku kalau kamu punya masalah. Mungkin aku bisa bantu. Mood kerja kamu penting buat workshop ini, kamu tau kan?"
Putri mengangguk dan menghela napas berat. Aku tahu dia pasti sedang merasa bingung bagaimana harus menjelaskan padaku tentang mantan kekasihnya.
"Ga perlu mikirin aku. Aku emang lagi kesel karena ga bisa pulang ketemu Opa, tapi kamu juga penting. Workshop ini penting. Anak-anak di bawah sana itu penting."
Putri menatapku dengan mata mulai berair, "Dara itu ... akun Dara itu ... mantan pacarku yang bikin, Za. Aku minta maaf udah bikin kamu repot kemarin."
Aku hanya diam dan menatapnya. Aku sudah mengetahui tentang hal ini. Ucapan Putri tak lagi mengejutkanku.
"Aku bodoh banget. Aku banyak cerita soal kamu ke dia. Aku ..." kalimat Putri terputus oleh isak tangis yang tertahan. Kurasa aku akan membiarkan dia mengelola emosinya lebih dulu, maka aku hanya menunggu.
Angin semilir mengenai tubuh kami. Sepertinya akan hujan walau awan masih cerah dan sinar matahari masih terasa hangat di kulit.
"Aku cerita semuanya, Za. Aku minta maaf. Aku pikir dia akan tepatin janjinya. Aku baru tau kalau ... dia bisa ... begini."
"It's okay."
Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku. Aku tak memiliki kalimat lain untuk kuutarakan saat ini. Tidak saat aku juga butuh mengelola diriku sendiri. Aku tahu aku sedang memaksakan diri terus mengerjakan segalanya agar berjalan sesuai dengan rencana. Aku juga tahu aku sedang mencoba melawan keinginanku sendiri dan ingin melihat seberapa kuat aku bisa bertahan.
Putri menghentikan tangisannya dan menatapku dengan tatapan memelas, "Kamu pasti kecewa sama aku."
"Aku ga kecewa sama kamu. Aku lebih kecewa sama diriku sendiri."
Putri terlihat serba salah. Aku tahu dia memiliki banyak hal yang ingin dia utarakan padaku, tapi dia tak tahu bagaimana harus menyampaikannya.
"Astro mau aku pecat kamu sebenernya, tapi aku ga bisa." ujarku sambil meneliti ekspresinya dengan seksama. "Aku udah tau siapa yang pakai akun Dara itu dari kemarin. Aku cuma ga tau gimana harus jelasin ke kamu."
Putri terkejut, "Kamu tau?"
Aku mengangguk dan memperlihatkan bekas luka di lenganku yang masih terlihat walau samar, "Aku pernah pingsan dan dapet luka ini waktu nonton kompetisi robot sekolah. Aku ketemu sama orang yang arogan, yang selalu nganggep dirinya lebih superior sampai tega bikin aku luka. Astro bilang akan selalu ada orang-orang yang bersikap kayak gitu dan aku ga perlu terlalu mikirin kenapa. Awalnya aku ga terima. Aku benci banget sama dia walau aku ga pernah bilang itu ke siapa-siapa, tapi Astro bener. Aku emang ga perlu mikirin dia kalau akhirnya justru bikin aku ngerasa berhak nyakitin dia juga."
"Itu ... luka waktu aku sama Sari dateng ke rumah pertama kali kan?"
Aku mengangguk, "Sehari sebelum kalian ke rumah aku dapet luka ini."
Putri terdiam. Aku memang tak pernah membahas apapun tentang bagaimana aku bisa mendapatkan luka itu padanya atau Sari.
"Aku tau akan ada orang yang ga suka sama aku walau aku ga pernah ganggu siapapun. Jadi akun Dara atau mantan pacar kamu, kita ga perlu mikirin kenapa mereka begitu. Kita cukup selesaiin masalah yang mereka bikin. Itu aja."
"Tapi aku banyak ngasih tau dia tentang kamu Faza."
"Aku ngerti. Masalah yang dia bikin sama workshop kita udah selesai kan? Kalau dia bikin masalah lagi aku bisa tuntut karena aku punya bukti. Sementara dia ga bikin masalah lagi, kita anggap dia ga ada. Okay?"
Putri mengangguk ragu-ragu.
"Kamu nyesel pacaran sama dia?"
"Nyesel banget. Aku pikir dia orang baik. Aku ..." kalimatnya tercekat dan dia tak mampu melanjutkan apapun yang sesaat lalu akan dia katakan padaku.
"Kamu harus lepasin dia. Aku butuh kamu di sini. Aku butuh Putri yang penuh dedikasi yang aku kenal. Kamu ga akan bisa fokus kerja kalau kamu masih nyimpen dendam. Percaya sama aku. Aku pernah di fase itu dan semua kerjaanku berantakan."
Putri hanya menatapku dalam diam. Aku tahu betapa dilemanya dia saat ini. Raut wajahnya memberitahuku segalanya yang perlu kuketahui.
"Aku tau kamu butuh waktu. Kamu bisa pulang dulu kalau kamu mau. Biar aku yang handle kerjaan di sini sementara waktu."
Putri menggeleng gusar, "Mana bisa aku ninggalin kamu? Aku tetep di sini. Kerjaan kita banyak. Aku ga bisa biarin kamu kerjain itu sendiri. Kamu kan juga punya banyak kerjaan lain, Faza."
"Aku ga bisa biarin kamu kerja kalau mood kamu kayak gitu. Mending kamu pulang aja. Kamu bisa ke sini lagi kalau mood kamu udah mendingan."
"Ngomong apa sih? Kamu tuh terlalu baik sama karyawan. Mana ada bos biarin karyawannya pulang buat benerin mood?"
"Ada. Aku."
Putri mendengus keras dan bangkit, "Ayo kerja. Aku ga ada waktu ngurusin mood. Kerjaanku lebih penting."
Aku menatapnya dalam diam selama beberapa lama sebelum mengangguk dan bangkit. Aku tahu entah bagaimana caranya Putri akan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik seperti biasa. Ada sedikit senyum mengembang di bibirku saat menatap punggung Putri yang berjalan mendahuluiku menuruni tangga. Aku beruntung bertemu dengannya. Namun saat kami sampai di lantai dua, hanya ada Bara, Qori, dan Parti.
"Umar di bawah. Ada calon pelanggan." ujar Qori seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. "Tadinya mau manggil kalian, tapi kalian kayaknya lagi ngobrol penting. Jadi kita percayain sama Umar karena kemarin dia keliatan bagus waktu gambar sketsa buat bu dokter."
Aku hanya mengangguk dan memberi Putri isyarat untuk mulai mengerjakan pekerjaannya. Aku beranjak menuruni tangga untuk menyusul Umar dan mendapati Umar sedang duduk di salah satu meja dengan satu laki-laki dan satu perempuan yang sepertinya adalah pasangan kekasih.
"Hai." ujarku sambil duduk di satu kursi yang tersisa. "Inget aku?"
Laki-laki yang duduk tepat di seberangku tersenyum, "Kamu kerja di sini?"
"Semacem itu. Udah dapet desain yang kalian mau?" aku bertanya sambil mengedarkan tatapanku pada sepasang kekasih itu. Namun sang perempuan menatapku dengan tatapan campuran terkejut, bingung, dan gamang menjadi satu. "Aku Faza. Aku sempet ketemu sekali sama Sato di jalan."
Satoru tersenyum dengan tatapan takjub padaku, tapi perempuan di sebelahnya menatapku dengan tatapan tak ramah. Sangat tidak ramah.
"Aku tau kamu siapa. Aku ga mau kalau kamu yang ngelayanin. Manager atau ownernya aja, ada?" perempuan itu bertanya dengan ketus.
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-