Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Drastis



Drastis

0"Denada maksud Mama?" aku bertanya.     

"Oh iya, itu namanya. Denada." ujar mama Zen dengan senyum mengembang di bibirnya, tapi entah kenapa aku merasa senyumnya tidak tulus.     

"Denada lagi ada urusan ke luar negeri. Jadi Faza ga bisa kenalin ke Mama sekarang. Maaf ya."     

Aku melihat raut wajah mama Zen yang berubah drastis menjadi kecewa. Namun kekecewaannya kali ini sepertinya tulus.     

"Nanti kalau Denada udah pulang, Mama bisa minta Zen yang kenalin. Kan Zen bisa ketemu Denada setiap hari kamis pas ada jadwal ngelukis di galeri. Mama juga bisa dateng ke galeri kalau Mama mau, tapi ... Denada punya pacar, Ma." ujarku dengan hati-hati.     

Aku tak tahu kenapa aku mengatakan ini. Memang benar Denada belum resmi putus dengan Petra, tapi aku tiba-tiba merasa mungkin akan lebih baik jika Denada merelakan Petra lebih dulu sebelum menjalin hubungan dengan siapapun. Entah dengan Kyle, Xavier, Zen, mungkin juga dengan orang lain. Aku akan membiarkan Denada yang memutuskannya sendiri.     

Raut wajah mama Zen berubah menjadi lebih buruk. Kerutan halus di wajahnya terlihat jelas saat ini walau masih terlihat cantik. Dan aku kehilangan kata untuk mengatakan apapun hingga aku mengalihkan tatapan ke lapangan basket sambil menarik napas perlahan agar mama Zen tidak menyadarinya.     

Aku melihat Astro dan Zen berjalan mendekat, hanya tinggal beberapa langkah ke arah kami. Aku tak tahu apakah mereka mendengar apa yang kami bicarakan sesaat lalu, tapi Zen masih bertahan dengan sikap dinginnya padaku.     

Astro mengelus puncak kepalaku dan duduk tepat di sisiku, "Kamu ga liat aku masukin bola lagi tadi."     

"Sorry, tadi lagi ngobrol." ujarku sambil membuka tas dan mengambil botol minum.     

Astro mengecup dahiku sambil mengamit botol dari tanganku, lalu meneguk air seolah dia sedang sangat haus. Bulir-bulir air lolos dari bibirnya dan bercampur dengan keringat di tubuhnya.     

Aku mengambil handuk dari tas dan mengelap keringat di wajah dan lehernya, "Capek?"     

Astro menoleh dan memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Kamu serius nanya aku capek atau ga?"     

Aah kurasa aku tahu apa maksudnya....     

Aku tersenyum manis, "Kalau ga capek ga usah aku pijitin ya."     

Astro menatapku tak percaya, "Seriously?"     

Aku mengangguk dengan mantap sambil mengamit botol dari tangannya dan memasukkannya kembali ke tas, "Kalian mau main berapa babak?"     

Astro menatap Zen, "Dua babak, kalau seri nambah satu. Gimana? Aku harus balik ke Surabaya. Jadi ga bisa lama-lama di sini."     

Zen hanya mengangguk sambil meneguk minumannya hingga habis. Aku tahu dia sedang berusaha tak bersikap berlebihan, tapi sikapnya justru membuatku merasa canggung. Bagaimana pun kami masih harus bekerja bersama selama satu setengah tahun ke depan untuk Donny.     

Aku hampir saja memberi Zen semangat, tapi aku menelan kalimatku. Aku benar-benar akan membuat Astro marah jika aku melakukannya.     

"Lanjut?" Reno yang menunggu di tepi lapangan bertanya.     

Astro menatapku penuh arti. Aku tahu dia menungguku menciumnya, tapi ... yang benar saja? Aku belum siap untuk melakukannya ssekarang.     

Aku mendorong bahu Astro untuk membuatnya bangkit, "Sana lanjut main."     

Astro terlihat kecewa dalam sedetik waktu yang terlewat, tapi mengecup pipiku sesaat setelahnya. Lalu beranjak untuk memasuki lapangan kembali, membuat jantungku berdetak sangat kencang. Bahkan kurasa wajahku memerah.     

Aku tak sanggup untuk menatap siapapun, maka aku hanya mengikuti gerak tubuh Astro yang sedang melompat-lompat di lapangan untuk merenggangkan tubuh. Dia terlihat sexy sekali. Aku bahkan bisa membayangkan sedang mengelus otot di perutnya saat ini.     

Astaga ... bisa-bisanya aku berpikir semacam ini?     

Peluit tanda permainan dimulai berbunyi. Kali ini Zen yang merebut bola dan mendribble dengan cepat, lalu segera melakukan shot. Bolanya masuk.     

Entah apakah aku yang membuatnya kesal hingga Zen ingin membalas Astro dengan cepat, tapi senyuman tipis dan dingin di bibirnya mengingatkanku pada Axelle. Walau senyuman Zen saat ini memberikan sensasi menyeramkan.     

Aku bisa mendengar mama Zen berteriak senang saat Zen berhasil memasukkan bola, membuatku menoleh dan tersenyum. Entah kenapa mama Zen terlihat mirip dengan kak Liana saat ini.     

"Kak Liana udah jadi warga Australia ya, Ma, sekarang? Kak Sean warga Australia kan?"     

Mama Zen menoleh padaku dengan sisa senyum di bibirnya, "Iya. Katanya akhir tahun ini mau ngajakin Mama ke sana. Waktu acara nikahan kolega Sean."     

Aku menatap mama Zen penuh minat, "Nikahan kolega kak Sean?"     

"Mama lupa namanya. Kalau ga salah calon suaminya orang Indonesia. Sebenernya Mama pengen ke sana cepet-cepet, tapi sekarang belum bisa soalnya Mama lagi sibuk bantu Zen ngurusin kafe."     

Entah kenapa aku mendapatkan firasat yang sedang dibicarakan mama Zen adalah Petra dan Tiffany. Menikah akhir tahun ini katanya? Yang benar saja? Petra bahkan belum lulus kuliah. Perkuliahan S1 nya seharusnya baru berakhir tiga tahun lagi.     

Aku lupa, aku dan Astro juga menikah di usia muda. Kami bahkan baru menyelesaikan semester pertama kami beberapa bulan lalu saat kami menikah di Lombok. Kurasa aku hanya tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Jika benar Petra bisa menikah di usia muda, bukankah dia seharusnya bisa menikah dengan Denada dalam waktu dekat?     

Tiba-tiba kelebatan percakapanku dengan mama Denada muncul di depan mataku. Malam setelah aku kembali ke kamar dari uang baca, aku menelepon mama Denada. Mama Denada berkata dengan jelas mama Denada tak akan mengijinkan Denada menikah muda.     

Kepalaku berdenyut saat memikirkan bahwa mungkin yang menjadi masalah adalah mama Denada, tapi menyalahkan mama Denada adalah hal yang buruk. Bagaimana pun mama Denada memiliki hak untuk memperbolehkan atau melarang Denada menikah di usia muda. Aku yakin mama Denada memiliki alasan kenapa tak menginjinkan Denada menikah di usianya yang sekarang.     

Lalu aku memikirkan opa. Apakah karena opa sudah mengetahui keluarga Astro memang sudah terbiasa menikah muda, hingga mempersiapkan Astro menjadi suamiku sejak menjodohkanku dengannya? Walau aku tahu opa pernah merasa ragu, tapi mempersiapkan segala hal memang terasa seperti tindakan yang akan opa lakukan.     

Aku mengalihkan tatapanku kembali ke lapangan. Astro baru saja melakukan lay up shoot (memasukan bola basket ke dalam jaring yang dilakukan dengan satu tangan). Bola masuk ke ring dengan mudah, disambut dengan bunyi peluit Reno.     

Aku memberi Astro senyum lebar dan tepukan tangan tepat saat Astro menoleh padaku. Namun kepalaku masih dipenuhi dengan berbagai macam hal yang membuat kepalaku terasa berdenyut lebih kencang.     

Aku tak tahu sudah berapa skor yang Astro dan Zen dapatkan sekarang karena aku tak memperhatikan dengan detail setiap gerakan dan poin yang mereka dapatkan. Namun melihat raut wajah Astro yang berseri-seri, kurasa Astro masih memimpin.     

"Mama denger katanya libur semester ini Faza mau ke Jepang ya?" mama Zen bertanya.     

Aku menoleh padanya. Bagaimana mama Zen bisa mengetahui hal itu? Aku lupa, opa pasti mengatakannya saat sesi bermain caturnya bersama Zen.     

Aku mengangguk dan tersenyum, "Tapi belum tau jadi atau ga. Liat nanti aja."     

Aku sengaja mengatakannya untuk menghindari mama Zen mengajakku berangkat ke Jepang bersama. Aku tahu Astro pasti tak akan menyukai ide itu.     

"Gitu ya? Padahal Mama bisa kosongin jadwal buat jadi tour guide Faza kalau emang jadi berangkat. Nanti kabarin Mama ya, Faza jadi ke Jepang atau ga."     

Aku hanya mengangguk. Entah ada apa dengan mama Zen hari ini. Mama Zen terasa berbeda. Sikapnya padaku berubah dengan cepat, secepat perubahan arah pembicaraan kami.     

Bunyi peluit Reno membuatku menoleh ke arah lapangan. Sepertinya mereka sudah selesai bermain.     

Astro dan Zen saling berjabat tangan dan berbincang entah apa. Astro terlihat senang sekali. Sangat kontras dengan Zen yang terlihat kecewa, walau dia memaksakan diri untuk tersenyum. Entah kenapa aku merasa senang dan buruk di saat yang sama.     

"Kayaknya Astro menang." ujar mama Zen.     

Aku menoleh kembali padanya. Ada senyum tipis yang terlihat tulus dan pasrah di saat yang sama.     

"Zen tetep juara buat Mama kan." ujarku tiba-tiba, sambil tersenyum. Kuharap aku memperlihatkan senyum yang terlihat tulus.     

"Iya dong." ujar mama Zen setengah tertawa sambil menepuk bahuku.     

Aku mengalihkan tatapanku kembali ke lapangan. Melihat Astro sedang menatapku dengan senyum menggodanya yang biasanya membuatku merasa gugup. Aku harus menciumnya sekaran atau dia tak akan memaafkanku jika aku melanggar janjiku padanya.      

Astaga ... jantungku berdetak kencang sekali.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.