Pundi
Pundi
...
Mayang : Aku kangen, tapi ga enak ganggu kamu. Di grup juga sepi. Faza pasti sibuk
Denada : Jangan bahas Faza dulu, bisa?
Denada : Sorry, May. Aku ga minat bahas Petra juga. Aku lagi pengen sendiri
Denada : Nanti aku VC ya. Aku juga kangen
Mayang : Okay. Aku tunggu ya
...
Mayang : Denada cuma bilang begitu, Za
Mayang : Aku tau dia butuh waktu, tapi aku khawatir
Aku : Kita kasih Denada waktu dulu ya. Setauku Denada di rumah. Dia pasti aman
Mayang : Iya sih. Nanti aku kabarin kalau Denada VC aku ya
Aku : Thank you, May. Aku kangen kalian
Mayang : Aku juga
Aku menghela napas dan memperlihatkan layar handphoneku pada Astro. Astro hanya mengecup dahiku untuk membantuku menenangkan pikiranku.
Kami baru saja selesai makan di salah satu pujasera dekat pantai. Dia yang memilih tempat ini karena belum pernah ke sini. Ada berbagai pilihan makanan di sini. Aku menyukainya karena kami duduk di saung kecil yang terpisah dengan pengunjung lainnya. Variasi makanannya juga enak.
"Udah coba telpon ibu?" Astro bertanya sambil mempererat pelukannya padaku.
Aku menggeleng sambil melirik jam di lenganku, pukul 16.02. Ibu berkata akan ke rumah Denada sore ini, tapi aku tak tahu ibu akan ke sana jam berapa. Aku tak ingin mengganggu percakapan ibu dengan Denada dan kurasa akan lebih baik jika aku menunggu ibu yang mengabariku lebih dulu. Mungkin jika ibu tak mengabari sampai besok, aku lah yang akan menelepon.
Aku menyandarkan kepalaku di bahu Astro dan mendongkak, "Ga mau kasih tau aku kemarin Denada ngomong apa ke kamu?"
Astro menghela napas, "Aku ga akan kasih tau kamu detailnya, tapi kamu bener. Kayaknya Denada marah karena ngira kamu ga berani ngangkat telpon sendiri."
Aku menatapnya dalam diam selama beberapa saat sebelum bicara, "Kamu bilang sesuatu ke Denada? Mungkin Denada tersinggung."
Astro terkejut, tapi dia hanya diam. Sebetulnya aku tak akan menyalahkannya kalaupun memang benar dia membuat Denada tersinggung. Karena saat itu dia pasti sedang begitu khawatir padaku yang menghilang tiba-tiba.
"Honey." ujarku sambil mengelus wajahnya.
"Aku cuma bilang ke Denada kamu sibuk. Aku bilang kamu pasti telpon dia kalau urusan kamu selesai." ujarnya yang entah kenapa tiba-tiba menatapku dengan tatapan bersalah.
Tba-tiba kepalaku terasa berdenyut. Ada banyak arti dari kata sibuk bagi Denada saat itu dan aku tak akan menyalahkannya karena berpikir aku sedang menghindarinya. Aku juga tak bisa menyalahkan Astro karena dia hanya melindungiku. Aku tahu Astro tak akan membeberkan masalah kami pada orang lain.
Astro menghela napas, "I'm sorry. Cuma itu yang kepikiran di otakku waktu itu."
Aku mengecup pipinya, "Kamu ga salah ngomong begitu. Denada mungkin emang cuma salah paham sama maksudnya."
Astro hanya terdiam.
"Pulang yuk. Udah sore."
"Ga mau liat senja dulu?"
Aku tersenyum manis, "Kita liat dari atap workshop aja sambil minum coklat panas. Anak-anak juga sebentar lagi pulang."
Astro mengangguk dan bangkit, lalu mengamit tanganku dan membimbingku untuk berjalan di sisinya menuju kasir untuk membayar makanan kami. Kami berjalan kembali ke parkiran sambil saling menggenggam tangan tanpa mengatakan apapun.
Astro mengelus puncak kepalaku saat baru saja duduk di belakang kemudi, "Kamu tidur aja. Nanti aku bangunin."
Aku hanya mengangguk dan memejamkan mata walau aku sedang tidak mengantuk. Aku hanya merasa mungkin suasana hatiku akan membaik jika aku memejamkan mata dan menenangkan diri lebih dulu.
Aku memang masih meminum vitamin setiap hari, tapi sepertinya aku memang membutuhkan waktu beristirahat sedikit lebih banyak. Aku berpikir, mungkin yang membuatku kelelahan bukanlah segala pekerjaanku. Namun karena aku menganggap segala hal tentang menjadi seorang istri baru dan segala hal yang berkaitan dengan Zenatta sebagai beban untukku. Pikiranku lah yang lelah hingga tubuhku mengirimkan sinyal untukku beristirahat sedikit lebih banyak.
Mimpi-mimpi yang beberapa waktu belakangan ini datang menghampiriku pun sepertinya adalah sinyal kekhawatiran dari diriku sendiri. Mungkin aku memang harus memaksa diri untuk bersenang-senang di sela-sela kegiatanku.
Aku membuka mata dan menatap Astro yang sedang fokus dengan rute perjalanan pulang kami, "Kamu mau kerja jam berapa nanti?"
Astro menoleh padaku, "Jam tujuh. Abis kita makan ya?"
"Kita baru aja makan." ujarku dengan tatapan tak percaya. Astaga ... bukan ini yang ingin kubahas. "Bisa bawa gitar ke atap? Aku mau nyanyi sambil liatin senja bareng kamu. Kita udah lama banget ga nyanyi bareng."
Astro tersenyum tipis dan mengangguk.
Tunggu sebentar....
"Kamu udah lama banget ga nge game. Kamu ga kangen?"
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku kan punya kamu. Game hidup yang ngebales kalau aku mainin."
Sial ... apa yang baru saja aku dengar?
Aku mencubit pipinya dengan kencang, "Coba ngomong lagi. Kamu pikir aku mainan? Seru ya? Bisa ngebales ya?"
"Hahahaha ... tuh kan ngebales." ujarnya sambil tertawa puas sekali.
"Serius, Astro!"
"Hahaha ... aku serius. Ga ada game yang lebih seru dibanding ngobrol atau making love sama kamu."
Aah....
Aku melepas cubitanku di pipinya dan mengelus pipinya perlahan. Aku tahu dia tak akan merasa kesakitan hanya karena aku cubit. Aku hanya merasa bersalah.
Astro menghentikan tawanya dan mengelus puncak kepalaku, "Aku lebih suka ngabisin waktu sama kamu. Biar game jadi pundi-pundi uang buat calon anak kita."
Entah kenapa aku merasa terharu mendengarnya hingga aku mengecup pipinya dan memeluk pinggangnya. Rasanya aku tak akan bisa menggantikan usahanya dengan apapun. Aku tahu betapa dia sudah sangat berusaha, dibandingkan dengan kebanyakan laki-laki lainnya yang hanya menghabiskan waktu tanpa tahu akan melakukan apa untuk hidupnya.
"Thank you."
"My pleasure." ujarnya sambil mengecup dahiku. "Sayang kamu lagi 'dapet'. Kalau kamu ga 'dapet' aku bisa manjain kamu sebelum aku kerja."
"Aku disuruh istirahat sama dokter Alena, kamu tau?"
"Aku tau, tapi kan kamu yang bilang kamu ga keberatan asal aku lembut."
Wajahku memerah sekarang dan aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Kurasa aku akan menggodanya sebentar, "Kasihan. Kamu ga bisa manjain aku sekarang. Aku kan lagi 'dapet', tapi ... aku masih bisa manjain kamu, kamu tau?"
Degub jantungnya mulai berubah menjadi lebih kencang. Saat aku mendongkak untuk menatapnya, wajahnya merona merah sekali. Dia benar-benar menggemaskan.
Aku mengecup tengkuknya sambil menyelipkan sebelah tanganku masuk ke dalam kaosnya untuk mengelus perutnya, "I love you, Honey."
Astro tak mengatakan apapun, tapi dia memacu mobil lebih cepat. Kurasa kami akan sampai di workshop tak lebih dari setengah jam saja.
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-