Nama
Nama
Aku tahu dia benar, tapi ...
"Ga harus sekarang. Aku ga masalah nunggu beberapa bulan lagi sampai ada keputusan buat dia. Aku cuma minta kamu percaya sama aku. Aku butuh ngobrol sama dia."
Astro menatapku dalam diam selama beberapa lama sebelum bicara, "Kita liat situasi nanti ya? Aku ga mau bikin kita dapet masalah baru. Aku dapet firasat om Hubert juga ga akan ngijinin kita ketemu Gerard mau gimana pun caranya."
"Okay."
Kurasa aku akan setuju pada pendapatnya. Aku pun tak ingin membuat kami berada dalam masalah lagi. Pekerjaan kami sudah begitu banyak tanpa harus ditambah masalah baru. Walau harus kuakui, masalah dengan om Hubert mungkin tak akan dapat kami tolak.
Aku merayap ke atas tubuhnya dan memeluknya sambil membenamkan kepalaku di bahunya, "Kamu mau ngerjain apa nanti malem?"
"Deadline kampusku ada dua dan harus selesai malem ini. Kamu istirahat aja ya." ujarnya sambil mengelus kepala dan punggungku.
Aku mengangguk, "Kalau kamu butuh apapun, bangunin aku ya?"
Astro hanya menggumam mengiyakan, tapi tak mengatakan apapun. Aroma tubuhnya hangat dan nyaman, membuatku merasa mengantuk.
Aku memejamkan mata sambil mengelus wajahnya, "Good night, Honey."
"Good night, Honey. Aku kerja di sini kok nanti. Aku ada di samping kamu kalau kamu mimpi buruk."
"Aku ga mau mimpi buruk, Astro."
"Aku tau. Aku cuma mau kamu tau, aku ada di sebelah kamu."
Kurasa aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Aku mengecup tengkuknya yang berada tepat di depanku tanpa membuka mata, membuatnya mengerang dengan lirih dan memelukku lebih erat.
"Jangan mancing, Honey. Aku masih bisa manjain kamu sekarang kalau kamu mau."
"Cukup, Astro. Kita harus istirahat." ujarku sambil menjauhkan bibirku dari tengkuknya, tapi senyum di bibirku tak beranjak pergi.
Kurasa aku baru mengingat sesuatu. Saat sesi melukis atau membuat sketsa bersama bunda dan Gerard bertahun-tahun yang lalu, Gerard pernah membuat sketsa aku dan bunda sedang bercanda. Harus kuakui dia memang berbakat. Tak mengherankan dia berkembang pesat hingga sekarang. Terlebih karena ada om Hubert sebagai ayah tirinya.
Sebetulnya aku penasaran sekali bagaimana mungkin kedua orangtuanya berpisah. Mereka terlihat baik-baik saja bagiku, atau apakah saat itu aku masih terlalu muda untuk mengerti?
Belaian tangan Astro di punggungku terkadang meninggalkan sensasi geli. Membuat tubuhku menggeliat, tapi juga membuatku merasa aman.
"Kamu harus istirahat, Honey."
Aku hanya menggumam mengiyakan. Akan lebih baik aku tak menanggapi ucapannya sesaat lalu atau kami akan terus berbincang hingga waktu yang tak kuketahui.
"Sabtu ini ada PAMMITS di kampus. Jojo ngajakin kamu dateng, kamu mau?"
Aku hanya menggumam. Mataku sudah terasa berat dan aku ingin sekali tidur.
"Okay. Nanti kamu bisa bawa alat lukis kamu kalau kamu mau."
Aku tak sanggup lagu menjawabnya walau hanya menggumam. Aku mengantuk sekali. Seingatku Astro masih bicara tentang apa saja yang bisa kami temukan di acara itu, tapi aku tak terlalu mendengarkannya.
Lalu seseorang meraih tanganku, menggenggamnya dan memaksaku berlari melalui hutan bersamanya. Napasku terengah. Siapa yang mengejar kami? Bukan. Siapa yang menarik tanganku?
"Hhh ... hhh ... tunggu!" ujarku dengan napas masih terengah mengikuti irama berlarinya.
Dia tak menoleh sedikit pun. Apakah dia mendengarku?
"TUNGGU!" aku berteriak.
Dia menoleh padaku, "Kita harus buru-buru Faza. Ayo!"
Sial ... aku tak dapat melihat siapa dia.
"Kamu siapa?" aku bertanya.
Dia menoleh, tapi aku masih tak dapat melihat wajahnya. Sinar matahari terik sekali dan sebagian rambutnya yang dibiarkan tumbuh sepanjang bahu menutupi wajahnya saat dia menoleh.
"Kita mau ke mana?" aku bertanya.
Dia mengacuhkanku. Ini benar-benar terasa menyebalkan. Ganggaman tangannya di tanganku pun mulai terasa sakit.
Aku menghentakkan lenganku dengan kencang hingga tanganku terlepas darinya. Namun tubuhku roboh dengan lutut mengenai tanah lebih dulu, lalu disusul dada dan daguku.
"Kamu sih, kenapa lepasin tanganku? Kan jadi jatuh."
Kepalaku masih terasa berputar, lutut dan daguku terasa perih. Namun aku memaksa tubuhku bangkit. Sial ... lututku terluka.
Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan beberapa plester sebelum memasukkannya kembali, "Nanti aku obatin, tapi kita harus bersihin lukanya dulu. Di sana ada sungai."
Aku mencari ke mana arah tangannya menunjuk, tapi aku tak mendapati sungai yang dia maksud.
Dia berjongkok dengan arah membelakangiku, "Ayo naik. Aku gendong."
Aku memperhatikannya dengan penuh minat. Jika dia adalah orang asing, aku tak mungkin bersedia diajak berlari olehnya, bukan? Kurasa aku akan menurutinya saja, maka aku memeluk bahunya saat dia mengangkat tubuhku di punggungnya.
Tunggu sebentar ... berapa usia kami sekarang?
"Kamu siapa?" aku bertanya tepat di samping telinganya.
"Aku siapa? Kamu ga amnesia kan? Bunda kamu bisa ngamuk kalau tau aku bikin anaknya lupa ingatan." ujarnya dengan panik.
Aku menyeka rambut yang menutupi sebagian wajahnya ke belakang telinga, "Kamu siapa?"
"Aku Dio. Aduh gawat kalau kamu bener-bener lupa ingatan."
Nama yang terdengar familiar untukku. Kurasa aku tak begitu merasa waspada lagi terhadapnya.
"Kita mau ke mana?" aku bertanya.
"Aku bisa dilaporin ke polisi kalau kita pulang."
"Aku serius. Kita mau ke mana?"
"Ck ... kita mau ke jalur kereta deket gedung apartemen yang lagi dibangun."
"Kita mau ngapain ke sana?"
"Katanya kamu mau cari pohon bunga warna ungu yang kemarin aku bawa ke rumah? Apa ya nama bunganya?"
"Lavender?"
"Ah itu dia! Eh kamu ga amnesia kan? Kamu inget nama bunganya." ujarnya yang tiba-tiba tersenyum lebar dan hampir tertawa.
Aku tak mengingat apapun tentang lavender yang dia sebutkan. Kapan dia membawanya ke rumah? Untuk apa?
"Kamu bawa lavender ke rumah buat apa?" aku bertanya.
"Buat ngerayu bunda kamu biar ngasih aku brownies lebih banyak." ujarnya sambil tertawa.
Aku menepuk dadanya dengan kencang, tapi dia tetap tertawa. Anak laki-laki ini benar-benar aneh. Dia tak seharusnya merayu bundaku seperti itu. Aku akan melaporkannya pada ayah saat aku pulang nanti.
Kami sampai di sungai yang tadi dia sebutkan. Dia menurunkan tubuhku dengan hati-hati dan membantuku membasuh lutut dan daguku yang terasa perih. Dia mengeluarkan plester dari sakunya dan menatapnya ragu-ragu sebelum menatapku.
"Bukannya kamu selalu bawa salep? Sini aku liat di ransel kamu." ujarnya sambil meraih sesuatu dari punggungku.
Kapan aku membawa ransel? Aku sama sekali tidak menyadarinya.
Aku menatap Dio dalam diam. Dia sedang membuka resleting ranselku dan merogoh di semua tempat sebelum mengeluarkan salep dari sana. Dia mengoleskan salep itu ke luka di lutut dan daguku.
"Tadi kamu bilang nama kamu siapa?" aku bertanya.
"Dio, Faza. Aku Dio."
Aku menatapnya ragu-ragu, "Nama lengkap kamu?"
Dia terdiam dan meneliti ekspresi wajahku sesaat sebelum bicara, "Gerardio Evano. Kalau kamu udah dewasa nanti, kamu mau jadi istriku?"
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-