Aura
Aura
Aku dan Astro saling bertatapan dalam diam. Astro terlihat tenang sekali, tapi sepertinya aku tahu apa yang sedang dia pikirkan.
Kami membawa Pak Basri menghampiri ruangan yang tadi kami tinggalkan. Kami membutuhkannya untuk menjadi saksi dan perantara antara kami dan keempat perajin itu walau dia belum tahu apa yang sebetulnya terjadi.
Saat kami masuk, mereka semua menoleh dan tersenyum ramah. Seperti tak ada sesuatu yang terjadi. Dari apa yang terlihat oleh pendangan mataku, sepertinya mereka hanya tinggal melakukan beberapa tahap finishing dan semua cincin akan selesai.
Keempat orang itu bernama Alan, Bara, Tia dan Gusti. Aku sudah berpesan pada Astro dan Pak Basri untuk memperhatikan sikap mereka dan menunggu mereka menyelesaikan proses pembuatan cincin lebih dulu, maka kami hanya berkeliling sambil mengamati mereka. Tiba saat mereka satu-persatu memperlihatkan cincin buatan mereka, kami mengajak mereka ke ruangan lain karena aroma berbagai zat kimia masih menguar di ruangan ini.
Aku mengamati sikap mereka dengan lebih seksama saat sedang memperhatikan desain cincin buatan mereka berempat. Mereka terlihat baik-baik saja, bahkan cenderung bersemangat menungguku memberi penilaian.
"Aku ga punya masalah sama desain cincinnya. Semuanya bagus." ujarku.
Mereka semua tersenyum ramah, tapi aku merasakan kejanggalan. Aku memang sudah memberitahu bahwa aku hanya akan memilih satu orang untuk ikut bersamaku ke Surabaya. Namun ekspresi wajah mereka terlihat terlalu ceria, bahkan tak ada tanda-tanda kegugupan apapun. Kecuali satu orang.
"Boleh aku tau kenapa kalian tertarik sama tawaran Pak Basri buat ikut aku ke Surabaya?" aku bertanya.
"Kalau saya emang mau coba kerja ke luar pulau, Non." ujar Gusti.
"Kakak kan bisa keluar pulau sendiri tanpa harus ikut kerja sama aku. Aku baru 18 tahun dan baru mau nyoba masuk ke pasar perhiasan. Aku ga bisa jamin Kakak akan lama kerja bareng aku."
"Itu ga masalah, Non. Di lokasi yang lama juga saya cuma sebentar. Sekitar setahun lebih. Saya ga cocok di sana makanya keluar."
"Kalau Kakak ga ngerasa cocok juga sama aku, Kakak udah pasti keluar nanti ya?"
Gusti terlihat terkejut walau bisa mengendalikan diri dengan baik, "Kalau Nona kayaknya beda, soalnya auranya beda. Walau masih muda, tapi keliatan kok pasti sukses."
Entah harus bagaimana aku menanggapi kalimatnya. Aku hanya bisa tersenyum singkat dan mengangguk, hanya untuk sopan santun. Kemudian mengarahkan tatapan ke Bara dan bertanya hal yang sama.
"Saya mau belajar lebih banyak. Pak Basri bilang kalau Nona punya usaha kerajinan lain yang udah main di pasar luar negri. Saya mau belajar." ujar Bara.
"Tapi kerajinanku bukan perhiasan. Aku crafter barang-barang kerajinan bukan logan mulia. Aku yang harusnya banyak belajar dari Kakak nanti."
Bara terdiam sebelum bicara, "Kalau boleh, nanti kita bisa saling tukeran ilmu?"
Aku tersenyum, "Kalau aku pilih Kakak, bisa."
Bara terlihat bingung dengan jawabanku, tapi tak mengatakan apapun. Sepertinya dia memilih diam, maka aku mengarahkan tatapan pada Tia dan memberinya pertanyaan yang sama.
"Saya belum nikah, jadi mau coba cari pengalaman di tempat lain." ujar Tia. Gesturnya jelas seperti malu-malu, tapi aku merasakan sesuatu yang lain.
"Keluarga setuju kalau Kakak ikut aku pindah ke Surabaya? Kakak kan perempuan. Maksudku ... mungkin Surabaya terlalu jauh kalau Kakak mau sekadar cari pengalaman lain. Di pulau ini ada banyak sentra kerajinan mutiara kalau Kakak mau cari pengalaman yang beda dari tempat yang lama."
Tia melirik ke arah Gusti dalam sedetik waktu yang terlewat, tapi dia kembali menatapku seolah tak ada apapun yang terjadi.
"Kakak punya pacar?" aku bertanya.
Tia terlihat gugup dan mengedarkan tatapan ke tiga orang yang lain, "Saya ga punya pacar."
Aku menatapnya dalam diam sebelum bicara, "Aku sama Astro suami istri. Mm, aku ngasih tau aja kalau kalian belum tau."
"Saya tau kok. Saya sempet ngikutin berita kalian di sosmed karena ada temen yang jadi fans Den Astro." ujar Tia dengan intonasi yang berubah-ubah.
Aku melirik ke arah Astro. Sepertinya dia mengerti maksudku.
"Kamu ga ngefans sama aku juga kan? Istriku galak kalau cemburu." ujar Astro.
Aku ingin sekali mencubit pipinya, tapi aku harus menahan diri. Aku memberi Tia sebuah senyum manis. Aku ingin dia tahu bahwa mungkin saja ucapan Astro sesaat lalu adalah benar.
"Oh, ga kok. Masa saya ngefans sama suami orang. Saya juga punya orang yang saya suka kok." ujar Tia dengan senyum terkembang di bibirnya.
"Kak Gusti maksudnya?" aku bertanya.
Tia terlihat salah tingkah dan baru saja akan menjawab saat Alan bicara lebih dulu, "Jadi bener yang dibilang Vika, kalian emang jadian? Kalian khianatin aku?"
Aku menggenggam tangan Astro lebih erat dan memberi isyarat pada Pak Basri untuk hanya diam memperhatikan. Aku tahu waktunya sudah tiba.
Gusti terlihat kesal, "Siapa sih yang pacaran?"
"Aku udah merhatiin seminggu ini, sikap kalian emang aneh. Kalian bilang mau keluar dari sentra karena mau coba buka warung. Aku kaget juga liat kalian ada di sini padahal aku udah relain aja kalian ga bagi hasil sama aku." ujar Alan.
Gusti terlihat semakin kesal, "Tadinya emang mau buka warung, ta ..."
"Tapi kamu duit itu kamu pakai buat beli motor baru kan?" Alan bertanya sambil mendengkus keras.
Gusti terlihat terkejut, "Motor baru mana?"
Alan menatapnya dengan tatapan kesal, "Vika yang bilang kamu beli motor baru dari duit itu."
Bara terlihat bingung, tapi sepertinya dia tahu sesuatu. Dia hanya memperhatikan pembicaraan kami sejak tadi tanpa mengatakan apapun.
"Udah jangan bahas ini di sini. Ga enak." ujar Tia.
Alan menatap Tia tajam, "Kamu bantu dia jual barang itu di mana? Kalian berencana mau kabur keluar pulau?"
Tia dan Gusti terlihat salah tingkah dan kesal di saat yang sama. Sepertinya aku sudah mendapatkan reaksi yang kubutuhkan.
"Okay, cukup." ujarku untuk mendapatkan perhatian mereka.
"Tia, bisa berdiri sebentar?" Pak Basri bertanya.
"Kenapa ya, Pak?" Tia bertanya, tapi tetap menuruti perkataan Pak Basri. Dia berdiri tepat di depan kursi yang sesaat lalu dia duduki.
Aku menghampirinya dan memberi seulas senyum, "Mau ngasih baik-baik atau aku yang ngambil?"
Tia terlihat gugup, "Ngasih apa ya, Non? Saya ga ngerti."
"Aku tau kok kamu sembunyiin itu di mana."
Tia menatapku tak percaya sambil mengangkat kedua tangannya, "Nona bisa geledah saya kalau mau."
"Kamu mau aku operasi kamu di sini? Asal kamu tau, aku biasa pegang pisau karena lumayan bisa masak, tapi aku ga punya pengalaman operasi anggota badan."
Keringat Tia mulai bercucuran. Dia baru saja akan berjalan cepat menuju pintu saat aku mengamit kedua lengannya dan menguncinya ke belakang punggungnya. Dia terlihat terkejut karena melihat refleks dan kekuatan tubuhku. Tubuhnya meronta dan dia berteriak dengan kencang, membuat Gusti panik dan menatapku dengan bingung. Alih-alih bertanya atau membantu, dia justru beranjak dari duduknya.
"Saya pamit dulu." ujar Gusti sambil berjalan cepat ke arah pintu. Langkah kakinya terhenti saat Astro menghampirinya dan menendang belakang lututnya hingga dia terjatuh.
Astro mengunci tubuhnya dengan menduduki punggungnya dan menahan kedua lengannya, "Aku paling ga bisa toleransi sama pencuri."
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-