Rontgen
Rontgen
Di ruangan itu tak ada makanan apapun. Saat kami melihatnya, cara Tia menelan tak terlihat seperti menelan makanan seperti biasa. Aku tiba-tiba saja langsung berpikir dia sedang menelan mutiara.
Mutiara yang kami letakkan di ruangan memiliki diameter 5-7 mm. Walau itu adalah diameter mutiara paling kecil, tapi saat masuk ke tenggorokan akan tetap membutuhkan usaha lebih untuk menelan. Terlebih jika memang benar Tia melapisinya dengan plastik wrap lebih dulu, secara otomatis ukuran mutiaranya akan menjadi lebih besar.
"Bapak tau soal ini?" aku bertanya pada Pak Basri.
Pak Basri terdiam sebelum bicara, "Saya sama pemilik usaha sentra tempat mereka kerja waktu itu temen lama. Saya sempet mau distribusi hasil mutiara dari sini ke sana, tapi karena waktu itu hasil panen saya gagal, saya batalin kerja sama. Saya emang denger desas-desus selundupan mutiara itu, tapi karena ga ada bukti saya ga bisa salahin mereka. Saya minta maaf karena ada masalah kayak gini di sini. Saya akan lebih hati-hati buat seleksi calon karyawan lagi nanti."
"Pemilik sentra itu yang Bapak bilang mau terima mutiara dari kita?" Astro bertanya.
Pak Basri mengangguk, "Tapi Den Astro minta saya batalin karena Non Faza mau buka usaha perhiasan sendiri. Saya udah sampaiin itu ke dia dan dia terima."
"Aku bisa bikin janji ketemu sama beliau kapan-kapan?" aku bertanya.
"Nanti saya coba bilang dulu. Dia pasti seneng ketemu anak muda yang punya bisnis mutiara, soalnya semua anak-anaknya kuliah di luar negeri dan ga ada yang mau belajar lanjutin bisnisnya."
Aku mengangguk dan menoleh untuk menatap Astro, "Kita harus rontgen Tia. Kasus ini bisa panjang kalau emang bener ternyata dia juga begitu di sentra."
Astro mengangguk dan mengarahkan tatapan ke Bara, "Ada informasi lain yang kamu punya?"
Bara menggeleng, "Kalau ga salah tadi Alan bilang dia dikhianati. Mungkin Den Astro bisa nanya dia."
"Bawa aja dia ke polisi biar dia bikin keterangan di sana. Kita bersikap biasa aja. Jangan sampai dia tau kita punya informasi ini."
"Maaf sebelumnya. Saya ga yakin apa ini sopan, tapi kalau ada kerjaan apapun buat saya, saya mau coba ngerjain. Di sini atau di Surabaya, ga masalah. Jadi tukang bersih-bersih juga ga masalah."
"Bukannya Kakak bilang bapak Kakak sakit? Kalau Kakak ikut aku ke Surabaya, bapak Kakak gimana?" aku bertanya.
Bara terdiam dan terlihat terguncang, hingga membuatku ragu aku harus mengatakan apa. Apakah aku baru saja salah bertanya?
"Bapaknya meninggal lima hari lalu, Non." ujar Pak Basri.
Aah ....
"Nanti aku pikirin dulu sambil liat gimana kasus ini." ujar Astro sambil mengelus jariku yang sejak tadi dia genggam. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku.
Bara mengangguk lemah. Pak Hilman datang tak lama setelah pembicaraan di ruangan itu berakhir, lalu kami berangkat bersama ke kantor polisi dan memberikan keterangan di ruangan yang berbeda atas permintaan Kyle yang juga ikut setelah Astro meneleponnya.
Kami meminta dilakukan rontgen pada tubuh Tia, yang disetujui oleh pihak kepolisian. Dugaan Bara benar, yang membuat Tia tak bisa lagi mengelak.
Dari informasi yang kudapatkan, ternyata Alan adalah salah satu staf yang ikut menjaga tempat menyimpanan mutiara. Dia mengakui, dia akan mengambil satu mutiara per dua atau tiga jam sekali saat ada permintaan dari perajin lain. Kemudian dia akan memberikannya pada Tia secara sembunyi-sembunyi.
Aku, Astro, Rommy dan Kyle kembali ke resort saat hari hampir gelap. Astro hampir mengajakku langsung ke kamar untuk beristirahat, tapi aku mengajaknya duduk di bibir pantai karena ingin menatap senja. Sekarang di hadapan kami ada matahari yang menggantung rendah beradu dengan laut yang hampir menelannya.
"Sorry, aku lupa kamu suka liat senja." ujarnya sambil memeluk tubuhku lebih erat.
"Bisa-bisanya kamu lupa." ujarku sambil mencubit pipinya. Sebetulnya aku tak terlalu mempermasalahkannya. Aku hanya sedang ingin menggodanya saja.
Astro mengecup dahiku, "Nanti aku gantiin kamu masak seminggu sebagai permintaan maaf dariku."
Aku menatapnya tak percaya, "Seminggu aja?"
"Kamu mau aku gantiin kamu masak sebulan?"
"Selama-lamanya."
Astro menyentil dahiku pelan, "Aku ga ada selera bercanda sama kamu sekarang. Kita hampir aja ketipu, kamu tau?"
"Hampir."
Astro menatapku dalam diam sebelum bicara, "Kita beruntung hari ini bisa baca situasi. Ada waktunya kita sama sekali ga sadar sama apa yang kejadian di sekitar kita. Kamu harus lebih hati-hati."
"Aku tau." aku mengatakannya dengan jujur. Aku mengerti kekhawatirannya tentang bisnis yang baru saja akan kujalani. Mutiara, emas, dan perak bukanlah komoditas biasa. Akan fatal bila aku memperlakukan bisnis ini seadanya.
Aku mengelus wajahnya dan mengecup pipinya sebelum mengalihkan tatapan untuk menatap matahari yang mulai tenggelam. Menatap senja seperti ini membuat hatiku terasa hangat. Seperti ada sesuatu yang hilang, kembali lagi padaku.
"Kamu mau pilih Bara?"
"Aku belum tau. Aku ga mau ngambil keputusan sekarang. Aku ga mau milih dia karena kasihan." ujarku sambil mengangkat bahu. Namun aku baru saja menyadari sesuatu, maka aku menatap Astro yang sedang menatapku kembali. "Kamu yakin yang kamu rasain ke aku bukan kasihan? Maksudku ... kamu tau aku yatim piatu dari pertama kita ketemu. Kamu juga pernah bilang aku keliatan sedih terus."
Astro mengelus puncak kepalaku dengan lembut, "Aku ngerasa lebih kasihan sama anak-anak yang jualan tisu di pinggir jalan. Aku ga akan repot-repot usaha bikin kamu suka sama aku kalau aku cuma ngerasa kasihan sama kamu."
Apa yang baru saja kupikirkan? Bisa-bisanya aku bertanya hal seperti ini.
"Kamu belum selesai ya?" Astro bertanya sambil mengecup puncak kepalaku.
"Nanti dulu. Nataharinya belum ilang."
"Bukan itu, Honey. 'Dapet' kamu belum selesai?"
Aku menoleh untuk menatapnya, "Ga sabaran banget sih? Ini baru lima hari."
"Lima hari itu lama, kamu tau?"
"Dulu kamu bisa nahan bertahun-tahun. Baru lima hari aja udah ngeluh. Lagi ngode minta aku manjain ya?"
Astro menyentil dahiku, "Aku yang mau manjain kamu. Bukan minta kamu yang manjain aku."
Sepertinya wajahku memerah sekarang. Naif sekali jika aku berkata aku tak merindukan sentuhannya. Aku hanya sedang menahan diri dan berharap dia bisa membantuku menahan keinginan untuk disentuh. Lagi pula, bisa-bisanya dia berpikir tentang hal ini setelah semua hal yang kami lalui hari ini?
"Dua hari lagi selesai kan?" ujarnya sambil mengecup dahiku.
Aah, laki-laki ini benar-benar ....
"Dari pada kita bahas ini, gimana kalau kita bahas soal ruang penyimpananku nanti? Aku ga mau kejadian begini keulang lagi."
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-