Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Mengerti



Mengerti

0Kami menunggu hingga semua proses sidang selesai. Sebetulnya masih akan ada sidang lanjutan minggu depan, tapi kami tak perlu datang. Sepertinya kasus ini akan berlangsung lama sebelum Hakim benar-benar mengambil keputusan.     

Di dalam hatiku, aku ingin sekali menyempatkan diri pulang untuk bertemu Opa dan Oma. Namun aku membatalkannya saat mengingat kemungkinan Opa menyembunyikan Bunda dariku. Aku tidak menyukai kemungkinan itu dan akan lebih baik jika aku menghindari Opa untuk sementara waktu.     

Astro, Kyle dan Jian menemaniku ke makam keluargaku setelah semua proses sidang selesai. Namun Jian memilih untuk menunggu di mobil, sedangkan Kyle mengikuti kami dari jarak yang cukup untuk berjaga-jaga.     

Kunjungan ke sini berbeda dengan biasanya. Biasanya aku akan duduk menatapi makam keluargaku dari susunan batu bata yang dibuat rendah, tapi saat ini aku memilih untuk duduk bersila di tanah menghadap ke lahan kosong di sebelah makam Ayah. Lahan yang seharusnya adalah milik Bunda.     

Keringat dingin mengucur dari tengkuk dan dahiku karena arus sungai tiba-tiba berkelebat memasuki pikiranku. Sepertinya Astro menyadarinya hingga menghentikan aktivitas membersihkan daun-daun jatuh dan rumput liar di sekitar makam Fara. Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku, lalu mengenggam tanganku dan mengecup dahiku lama sekali.     

"I'm okay."     

Astro hanya menggumam dan meletakkan kepalaku di bahunya. Dia tak mengatakan apapun, tapi sepertinya dia sedang memberiku waktu untuk berpikir dan mengelola perasaan.     

Aah, betapa aku begitu beruntung memilikinya.     

"Aku belum ambil keputusan buat tawaran kamu. Nanti aku kasih tau kapan minta tolong sama Kakek." ujarku dengan suara pelan karena ada Kyle sedang berjaga di sekitar kami. Aku tak ingin dia mendengarnya.     

Astro mengangguk dan mengelus rambutku, "Mau sewa orang buat jaga makam ini?"     

"Buat apa? Selama ini area makam ini aman."     

"Buat bantu bersihin makam. Erm, kalau ada orang lain yang dateng ke sini kita bisa tau."     

Aku tahu apa maksudnya, tapi ... haruskah?     

"Gimana kalau Opa curiga?" aku bertanya.     

"Kita bisa bilang orang itu cuma bantu bersihin makam. Kalau kamu mau nanti kita minta pak Deri cari orang."     

Aku mendongak untuk menatapnya, "Menurut kamu itu perlu?"     

"Lebih bagus kalau makam ini bersih terus kan? Kamu juga udah jarang ke sini. Aku pikir opa ga akan curiga."     

Aku berpikir lama sebelum mengangguk.     

Astro mengecup dahiku, "Kasus Zenatta mungkin lama selesainya. Jangan terlalu dibawa stres, okay?"     

Aku mengangguk, "Aku mau fokus ngurusin bisnis perhiasan. Masih banyak yang harus dikerjain. Kayaknya ga akan sempet mikirin kasus Zenatta lagi."     

"Tapi sempetin baca laporan perkembangan kasusnya ya. Kamu pasti butuh informasi itu nanti."     

Aku mengangguk, tapi tak mengatakan apapun. Bersandar padanya selalu membuatku merasa lebih baik. Aroma hangat tubuhnya membuatku menyadari kami akan selalu baik-baik saja. Seperti biasanya.     

Aku mengelus wajahnya sambil menatapi lahan kosong di hadapan kami. Andai Bunda masih hidup, itu adalah hal yang bagus, bukan? Walau ada rasa sesak yang menyusup ke dalam hatiku saat membayangkan Opa yang mungkin menyembunyikan Bunda dariku. Namun aku akan mengambil kesempatan untuk meminta Kakek mencari jejak Bunda. Cepat atau lambat.     

Aku mengangkat kepala dari bahu Astro, "Yuk."     

"Udah?" Astro bertanya dengan tatapan menyelidik yang persis seperti tatapan Ibu saat sedang menyelidiki sesuatu.     

"Kamu kan bilang kita cuma ke sini sebentar. Kita juga harus jemput Ibu buat ikut kita ke Surabaya."     

Astro menatapku lama sebelum mengangguk, lalu menarikku bangun dan memimpin langkah menyusuri jalan setapak melewati banyak batu nisan. Entah bagaimana, tiba-tiba aku teringat ucapannya yang ingin satu liang kubur denganku bila kami meninggal nanti.     

"Honey."     

Astro menoleh untuk menatapku, tapi tak mengatakan apapun.     

"Kamu takut mati?"     

Astro menghentikan langkah tiba-tiba, "Kamu takut?"     

"Aku ... ga tau."     

Astro tersenyum tipis, "Sama. Aku juga ga tau."     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Sepertinya dia benar saat berkata kami jauh lebih mirip dibandingkan yang selama ini kupikirkan.     

Aku memeluk lengannya sebelum melanjutkan langkah dan mengedarkan pandangan ke deretan batu nisan di sekitar kami. Kami akan berada dibawah batu saat tiba waktunya bagi kami. Entah apa yang akan terjadi jika waktu itu tiba. Aku hanya berharap aku sudah cukup melakukan banyak hal dan tak menyesali apapun yang sudah kulakukan selama hidup.     

Aku mendapati sosok Kyle sedang berjalan menyusuri batu nisan di kejauhan. Dia begitu fokus dengan handphone selama beberapa saat, tapi segera memasukkannya kembali dan bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi.     

Kami memasuki mobil dan berkendara untuk menjemput Ibu pulang bersama kami ke Surabaya. Entah apa yang akan kulakukan nanti saat Ibu berada di sekitarku, tapi bisa kupastikan aku akan menjaga sikap untuk tak selalu bermesraan dengan Astro di semua tempat.     

"Kenapa kamu nervous begitu?" Astro berbisik di telingaku.     

Aku sedang menatap ke luar jendela. Aku bahkan tak menyadari aku terlihat gugup, tapi harus kuakui perutku memang terasa seperti sedang diremas. Aku menoleh padanya dan menggeleng, "Ga pa-pa kok. Emang aku keliatan gimana?"     

"Kayak gini nih." ujar Astro sambil mengerutkan dahi dan menatapku seolah aku adalah benda yang mudah pecah. Anehnya, aku justru tertawa.     

"Hahaha, muka kamu aneh."     

Astro menyentil dahiku, "Muka kamu tadi kayak gitu."     

Aku baru mengingat sesuatu, "Kamu pernah latihan nembak kan?"     

Astro terdiam sebelum bicara, "Dari kecil aku udah sering latihan nembak sama kakek. Aku jarang latihan lagi sejak ketemu kamu."     

Aku menatapnya dalam diam. Kurasa itu menjelaskan kenapa dia begitu lihai memegang pistol saat kami datang ke tempat latihan menembak malam sebelum resepsi diadakan, juga kenapa dia bisa menembak tepat sasaran saat salah satu pengawal Zenatta mengarahkan pistol padaku.     

Aku mengecup pipinya dan tersenyum manis, lalu memeluk lengannya sambil menyandarkan kepala di bahunya.     

Astro mengamit wajahku untuk menatapnya, "Kenapa sih kamu?"     

Aku hanya menggeleng dengan senyum masih terkembang di bibirku. Aku tak akan menjawabnya. Membiarkannya menatapku dengan tatapan bodoh seperti itu terasa menyenangkan. Dia terlihat menggemaskan saat tak mengerti dengan apa yang terjadi denganku.     

Astro mencubit pipiku, "Kamu kenapa?"     

"Ga kenapa-napa. Aku cuma jatuh cinta."     

Rona merah mulai menyebar di wajahnya tepat saat aku mendengar Jian berdeham pelan dari balik kemudi. Namun aku akan mengabaikannya.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.     

Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.