Reda
Reda
"Aku boleh bawa pulang ga? Aku mau latih dia buat bersihin jendela di lantai dua." ujarku sambil menggerakkan robot gurita untuk mengambil objek di dasar kolam.
Astro menyentil dahiku pelan, "Robotnya ga bisa jalan kalau di darat, Nyonya Astro."
Aku memberinya tatapan sebal, "Kalau gitu bikinin robot baru buat bantu aku bersih-bersih. Hukuman karena kamu manggil aku 'Nyonya'."
"Coba ngomong sama ayah kalau berani. Buat bikin robot ini pakai dana ga sedikit, kamu tau?"
Aah, aku melupakan hal itu.
Aku tersenyum manis, tapi tak mengatakan apapun. Sepertinya Astro mengerti aku baru saja mengucapkan hal bodoh. Dia mengelus puncak kepalaku dan mengecup dahiku.
"Nanti malem temenin aku sampai pagi biar kamu ketularan pinterku ya." bisiknya
Aku baru saja akan mendebatnya, tapi Santoso berjalan mendekat ke arah kami. Dia tersenyum lebar sekali padaku hingga membuatku tak tega untuk tidak membalas senyumnya.
"Ada saran buat robot kita, Nona?" Santoso bertanya.
Sebetulnya mereka sempat memanggilku "Nyonya", tapi aku melarangnya dan meminta mereka memanggil namaku. Namun mereka menolak. Mereka justru sepakat memanggilku "Nona" karena terasa lebih sopan untuk mereka.
"Robot guritanya ga bisa berubah warna kan? Apa ga ganggu biota laut lain nantinya kalau transparan gini?" aku bertanya.
"Gurita asli bisa berubah warna karena sistem pertahanan dirinya. Di robot belum bisa begitu. Kalau masalah ganggu biota lain, nanti kita baru tau gimana efeknya setelah kita tes di laut. Kalau dari suaranya sih, harusnya aman."
Aku mengerti. Gurita memang seperti bunglon yang memiliki sensitifitas untuk menyamakan warna kulit dengan lingkungan sekitar dengan cepat. Robot gurita mungkin akan sulit mengikuti sistem pertahanan diri gurita aslinya.
"Aku boleh ikut kalau kalian tes robot ini ke laut?" aku bertanya.
"Robotnya mau dites tiga hari lagi. Kita udah ada di Surabaya, Honey." ujar Astro.
Astro benar. Kami tak mungkin datang hanya untuk melihat tes robot ini langsung di laut, sementara ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sepertinya aku tak mungkin memaksa.
Aku menggerakkan robot gurita ke permukaan, yang segera diambil oleh Erina. Kemudian menyodorkan remot pada Santoso karena aku sudah cukup puas bermain-main dengan robot ekspedisi bawah laut mereka.
"Kalian keren." ujarku sambil tersenyum manis.
Santoso terlihat malu-malu, "Bikin robot ini kayak mimpi. Saya seneng bisa kerja buat pak Jaya sama Den Astro karena ga pernah kebayang bisa beneran bikin robot kayak gini. Di negara kita masih jarang perusahaan yang mau terbuka sama ide-ide anak muda kayak kita. Saya seneng bisa kerja di sini."
Aku tahu Santoso benar. Negara ini memang sulit mengenali bakat dan lebih sulit lagi membantu bakat berkembang. Tak mengherankan jika banyak anak negeri yang berpotensi lebih memilih ke luar negeri untuk bekerja sesuai bidang mereka. Mereka lebih merasa dihargai di sana.
"Mumpung udah di sini, kalian bisa puas-puasin kembangin passion kan?"
Santoso mengangguk, "Saya sama temen-temen lain beruntung. Semoga ada lebih banyak orang kayak pak Jaya di negara ini."
Aku menoleh pada Astro untuk meneliti ekspresinya. Dia terlihat sedang berpikir serius. Aku kembali menatap Santoso, "Lain kali kalau aku mau liat proyek kalian lagi ya."
"Nona bisa dateng kapan aja. Perusahaan ini nanti diwarisin ke kalian kan?"
Aku memberinya senyum singkat, hanya untuk sopan santun. Kurasa akan ada lebih banyak pekerjaan untuk Astro di masa depan. Bertahun-tahun dari sekarang.
"Saya diskusi sama tim dulu ya. Kalau Nona butuh apa aja, bisa minta sama saya."
Aku mengangguk dan Santoso beranjak pergi. Aku menoleh ke arah Astro. Dia masih terlihat sedang berpikir.
"Something bothering you (Ada yang kamu pikirin)?" aku bertanya sambil mengelus pipinya.
Astro menggeleng, "Nanti aja dibahas kalau kita pulang ke Surabaya. Aku ga mau bahas ini di sini."
Sepertinya aku tak memiliki pilihan lain, maka aku mengangguk.
"Kita ke kantor ayah yuk. Kayaknya Ayah sama ibu udah nungguin kita dari tadi." ujar Astro sambil mengajakku beranjak dari laboratorium.
Jarak dari laboratorium ke kantor Ayah sekitar dua puluh lima menit berjalan kaki. Astro menyapa orang-orang yang berpapasan dengan kami sepanjang perjalanan. Entah kenapa aku merasa semakin kagum padanya.
"Kamu pegang proyek ini dari kamu masuk SMA?" aku bertanya dengan suara pelan untuk memastikan dugaanku karena ingat dia sempat menyebut jika aku tahu tentang robot ini sejak tiga tahun lalu mungkin aku akan memintanya menikahiku saat itu juga.
Astro mengangguk, "Kenapa?"
Aku menatapnya takjub, tapi menggeleng. Aku memiliki banyak pertanyaan, tapi aku akan menanyakannya nanti saja jika kami sudah pulang ke Surabaya.
"Kamu tau apa nama robot gurita tadi?" Astro bertanya.
"Apa?"
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku kasih nama Marzia."
Aku menatapnya tak percaya, "Itu kan namaku."
Astro mengangguk, "Tadinya mau aku pakai buat mahar nikahin kamu, tapi ga di bolehin sama ayah."
"Jelas dong ga dibolehin sama Ayah. Itu kan proyek robot penting."
Astro mengamit pinggangku dan memelukku erat, "Kamu lebih penting, kamu tau?"
Sepertinya wajahku memerah sekarang, "Kamu udah kasih semua yang bisa kamu kasih ke aku, Honey. Thank you."
Astro mengelus wajahku dengan lembut, "Kamu tanggung jawabku. Aku emang masih muda banget, tapi kamu percaya sama aku. Itu udah lebih dari segalanya buatku."
"Ada yang kamu mau dari aku?"
Astro terlihat berpikir sebelum bicara, "Tetep begini. Di sebelahku. Aku suka kita begini. Mungkin nanti kita akan berantem lagi, tapi kita selalu bisa inget kenapa kita nikah kan, Honey?"
Aku tersenyum lebar, "Kenapa kamu nikahin aku?"
"Karena aku ga bisa kalau bukan kamu. Kenapa kamu nikahin aku?"
"Karena aku tau kita akan selalu baik-baik aja. Selama ini kita baik-baik aja. Ke depan kita juga pasti baik-baik aja."
"Kita harus selalu inget itu ya?"
Aku mengangguk tanda setuju.
"Aku masih muda. Kamu juga. Kalau kita sama-sama keras kepala, kita selalu bisa cari waktu buat nenangin diri dulu. Kayak kamu minggu lalu. Kamu cari waktu buat nenangin diri dulu. Kalau udah tenang kita bisa ngobrol baik-baik." ujarnya sambil mengelus puncak kepalaku.
"Kamu juga kalau cemburu boleh mukul samsak sampai puas. Nanti balik ke aku udah reda cemburunya, ya?"
"Tapi jangan keseringan bikin aku cemburu. Kalau aku lepas kendali bisa gawat, kamu tau?"
Aku bisa membayangkannya dengan jelas, tapi kenapa aku justru tertawa?
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-